Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.592

Improving the Ability of Teachers to Assist Students Positively in Kediri Regency


Peningkatan Kemampuan Guru Mendampingi Siswa Secara Positif Di Kabupaten Kediri

Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya
Indonesia
The Role of Teachers as Student Companions Positive Youth Development

Abstract

The role of teachers in schools for the development of students who are at the stage of adolescent development is very important. This is because school is the second environment after the family where students grow as individuals. Teens to be able to develop positively need direction and guidance. Teachers in schools are important figures for students as sources of information, knowledge and behavior models. In the context of developing adolescents positively, unfortunately the teacher still does not have the ability as a companion. This activity aims to improve the ability of teachers to assist students by providing teachers with knowledge and abilities to develop students with the principles of positive youth development which consists of the following abilities: competence, confidence, relationships with others (connection), character (character) , and a sense of care / concern and sincerity (caring and compassion). This activity will be attended by junior and senior high school teachers in Kediri Regency. Activity methods are lectures, discussions, and role play.

Pendahuluan

Remaja sebagai individu maupun sebagai tahap perkembangan dalam konteks Indonesia menjadi penting karena pada periode 2015 hingga 2025 adalah periode dimana penduduk Indonesia lebih banyak didominasi oleh penduduk usia muda (Kompas, 13 Juli 2017). Penduduk berusia muda ini dianggap sebagai kelompok penduduk yang produktif. Jumlah penduduk Indonesia yang produktif dalam periode tersebut juga dinyatakan lebih besar dari dua kelompok penduduk yang lain yaitu kelompok penduduk anak-anak dan lanjut usia (lansia). Kondisi dimana penduduk usia produktif yang lebih besar dari penduduk yang berusia anak-anak dan lansia ini yang dikenal dengan sebagai bonus demografi. Bonus demografi tersebut akan berlangsung sampai tahun 2030 dan kemudian menurun karena memasuki usia tua. Indonesia diperkirakan akan memasuki puncak bonus demografi antara tahun 2020-2030. Pada saat itu, 100 penduduk usia produktif akan menanggung 44 penduduk usia tidak produktif (anak-anak di bawah 15 tahun dan warga lanjut usia di atas 65 tahun). Ketika masa bonus demografi tersebut berlalu, penduduk lansia akan melonjak dan akan memberi beban baru bagi pembangunan Indonesia.

Sikap dan perilaku yang positif yang dibangun remaja akan menjadi modal bagi perilaku remaja yang produktif. Karakteristik perilaku sendiri dalam perspektif psikologi perkembangan mencapai titik krusialnya pada tahap perkembangan remaja. Remaja dengan karakteristik positif dengan demikian diharapkan lahir dari perkembangan remaja yang positif [5]. Upaya untuk menciptakan sumber daya manusia dengan kualitas yang baik tidak mudah karena remaja sendiri secara psikologis dianggap sebagai tahap perkembangan yang beresiko (Eichas, Montgomery, Meca, & Kurtines, 2017). Remaja dianggap sebagai tahap perkembangan yang beresiko karena remaja belum memiliki kapasitas yang cukup untuk mampu mengatasi potensi-potensi negatif serta pengalaman-pengalaman negatif dan menyusahkan (adverse live experience) yang mungkin dihadapi remaja pada tahap perkembangannya [4]. Perspektif yang memandang remaja sebagai tahap perkembangan yang berciri ketidakmampuan remaja, besarnya resiko dan potensi negatif adalah perspektif yang lebih menekankan pada aspek kekurangan, ketidakmampuan, atau dengan kata lain perspektif yang memandang remaja sebagai tahap perkembangan yang defisit [2].

Perspektif tentang remaja yang berbeda dari perspektif yang defisit memandang remaja adalah tahap perkembangan yang dicirikan sebagai kapasitas, dipenuhi kesempatan-kesempatan lebih memandang remaja sebagai suatu potensi dan kekuatan. Perspektif ini berpendapat bahwa, meski remaja dalam tahap perkembangannya, tidak memiliki berbagai kemampuan orang dewasa dan harus menghadapi berbagai resiko yang dapat mengarahkan remaja menjadi mengalami pengalaman-pengalaman hidup yang negatif, namun remaja tetap harus dipandang sebagai individu yang memiliki kapasitas dan kekuatan [6];[7]. Perspektif terhadap remaja yang lebih memandang aspek kapasitas dan kekuatan remaja ini yang dikenal sebagai pendekatan yang menekankan pada aspek-aspek positif remaja. Oleh karena itu pendekatan ini juga dikenal sebagai pendekatan Perkembangan Remaja Positif (Positive Youth Development) / PYD [3];[7];[8].

PYD merupakan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi karakteristik remaja yang mampu mengalami tahap perkembangannya secara positif. Salah satu pendekatan dalam PYD yang cukup dikenal adalah pendekatan 5 C (Five Cs Model of PYD). Pendekatan 5 C menyatakan bahwa remaja yang mengalami tahap perkembangan remaja positif menunjukkan lima kemampuan yang kemudian dikenal sebagai 5C tersebut yaitu: kompetensi (competence), kepercayaan diri (confidence), hubungan dengan orang lain (connection), karakter (character), dan rasa peduli/kepedulian dan kesungguhan (caring and compassion).

Sekolah dan guru memiliki kedudukan yang penting dalam mendampingi remaja mengembangkan diri secara positif. Pertama karena sekolah adalah lingkungan kedua setelah keluarga yang menjadi tempat remaja mengembangkan diri. Siswa Indonesia di sekolah rata-rata menghabiskan waktu delapan jam di sekolah selama lima sampai enam hari. Guru di sekolah dengan demikian juga berperan penting bagi perkembangan remaja karena dengan mereka remaja menghabiskan waktu di sekolah setiap hari.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi program Peningkatan Kemampuan Guru Mendampingi Siswa Secara Positif di Kabupaten Kediri. Partisipan diajak untuk mengikuti program peningkatan kemampuan guru mendampingi siswa secara positif di Kabupaten Kediri. Sebanyak 40 guru se-Kabupaten Kediri berpartisipasi pada pengabdian masyarakat ini (Laki-laki=16; Perempuan=24). Partisipan merupakan guru dengan mata pelajaran yang beragam seperti Bahasa Indonesia (N=4), Bahasa Inggris (N=6), Bimbingan Konseling (N=3), IPS (N=6), IPA (N=4), PPKn (N=4), Matematika (N=4), Seni Budaya (N=3), Pendidikan Agama Kristen (N=1), Bahasa Daerah (N=4), Penjaskesor (N=1).

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Efikasi Guru dalam Mengembangkan Kemampuan Positif Siswa. Skala tersebut memiliki item sebanyak 20 item. Skala tersebut diberikan kepada partisipan setelah menerima materi. Analisis data deskriptif dan kategorisasi partisipan berdasarkan penormaan kelompok dilakukan dengan bantuan program SPSS 22.00 for Windows.

Hasil dan Pembahasan

Sebanyak 40 guru peserta pengabdian masyarakat diberi skala efikasi guru. Hasilnya, rata-rata efikasi guru peserta pengabdian masyarakat sebesar 69,1 (SD=7,79809). Nilai tertinggi efikasi guru peserta pengabdian masyarakat adalah sebesar 80, sedangkan nilai terendah adalah sebesar 51. Adapun nilai Skewness menunjukkan skor mendekati 0 yakni sebesar 0,352. Nilai Skewness yang negatif menunjukkan persebaran data miring ke arah kanan yang berarti peserta cenderung memiliki skor efikasi guru yang tinggi, akan tetapi data yang diperoleh memiliki distribusi yang normal. Hal ini dapat ditunjukkan pada Table 1.

Keterangan Nilai
N 40
Range 29
Minimum 51
Maximum 80
Mean 69,1
Std. Deviation 7,79809
Skewness -0,352
Std. Error 0,374
Kurtosis -0,598
Std. Error 0,733
Table 1. Statistik Deskriptif Skala Efikasi Guru

Untuk mengetahui kedudukan relatif peserta pengabdian masyarakat, penulis menggunakan tabel penormaan. Penormaan berfungsi untuk mengkategorisasikan peserta kedalam beberapa golongan atau kategori. Penentuan golongan pada penormaan ini dibuat berdasarkan posisi skor responden pada skala terhadap perhitungan yang menggunakan rata-rata dan standar deviasi teoritik yang digolongkan menjadi 5 kategori tertentu. Berikut ini disajikan tabel jumlah subjek berdasarkan penggolongan kelompok menurut Azwar [1]:

Kategori Frekuensi
Sangat Tinggi 0
Tinggi 13
Sedang 15
Rendah 10
Sangat Rendah 2
Table 2. Kategori Peserta Berdasarkan Norma Kelompok Efikasi Guru

Mayoritas peserta pengabdian masyarakat memiliki nilai efikasi guru yang sedang yaitu sebesar 37,5% atau sebanyak 15 orang. Sedangkan peserta yang berada pada kisaran kategori tinggi terdiri dari 13 orang, dan nilai rendah sebanyak 10 orang.

Kesimpulan

Hasil penelitian di atas memberikan wacana baru mengenai peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru mendampingi siswa secara positif. Program peningkatan kemampuan guru mendampingi siswa secara positif di Kabupaten Kediri menghasilkan efikasi guru yang tinggi dalam mengembangkan kemampuan positif siswa. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai skewness data yang menunjukkan angka negatif. Skewness negatif menunjukkan bahwa data penelitian mayoritas memiliki nilai yang tinggi / positif. Dengan kata lain, skor efikasi guru dalam mengembangkan kemampuan positif siswa mayoritas berada pada skor yang tinggi.

Ucapan Terimakasih

Universitas Airlangga khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Mts Ar Rahmah Kabupaten Kediri yang terbuka menjalin kerjasama dengan Universitas Airlangga. Guru SMP dan MTs di beberapa wilayah di Kabupaten Kediri yang terlibat dalam kegiatan. Seluruh team pelaksana kegiatan pengabdian masyarakat yang telah membantu kegiatan penyampaian materi.

References

  1. Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  2. Conway, R. J., Heary, C., & Hogan, M. J. (2015). An evaluation of the measurement properties of the five Cs model of positive youth development. Frontiers in Psychology, 6, 1941.
  3. Geldhof, G. J., Bowers, E. P., Gestsdóttir, S., Napolitano, C. M., & Lerner, R. M. (2015). Self‐regulation across adolescence: Exploring the structure of selection, optimization, and compensation. Journal of research on adolescence, 25(2), 214-228.
  4. Holsen, I., Geldhof, J., Larsen, T., & Aardal, E. (2017). The five Cs of positive youth development in Norway: Assessment and associations with positive and negative outcomes. International Journal of Behavioral Development, 41(5), 559-569.
  5. Larson, R. W. (2000). Toward a psychology of positive youth development. American Psychologist, 55(1), 170.
  6. Lerner, R. M., Almerigi, J. B., Theokas, C., & Lerner, J. V. (2005). Positive youth development a view of the issues. The Journal of Early Adolescence, 25(1), 10-16.
  7. Lerner, R. M., Lerner, J. V., Almerigi, J. B., Theokas, C., Phelps, E., Gestsdottir, S., ... & Smith, L. M. (2005). Positive youth development, participation in community youth development programs, and community contributions of fifth-grade adolescents: Findings from the first wave of the 4-H study of positive youth development. The Journal of Early Adolescence, 25(1), 17-71.
  8. Mahoney, J. L., Larson, R. W., Eccles, J. S., & Lord, H. (2005). Organized activities as developmental contexts for children and adolescents. Organized activities as contexts of development: Extracurricular activities, after-school and community programs, 3-22.