Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.593

Overcome Stress during the Covid-19 Pandemic by Surah Al-Insyirah: Harmonization between the Koran and Clinical Neuroscience


Atasi Stres saat Pandemi Covid-19 dengan Menadabburi Surah Al-Insyirah: Harmonisasi antara Alquran dan Neurosains Klinis

Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya
Indonesia
Covid-19 Stres Surah Al-Insyirah Tadabbur Alquran Neurosains

Abstract

The uncertainty regarding the spread of Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) makes people have to carry out various activities from home and stay alert. However, on the other hand, this condition actually creates new problems that trigger mental health issues, one of the most felt is stress during the Covid-19 pandemic. Various day to day stressors keep coming, ranging from anger, disappointment, frustration, fear, boredom, negative stigma, financial problems, to work problems. If this condition persists, it will actually worsen the individual's mental state and allow changes in the body's condition in a negative direction. Therefore, good stress management is needed. The aim of this study is to see the impact of transcribing the Al-Insyirah surah to reduce stress during a pandemic (Covid-19) and its harmony with the clinical neuroscience approach. The method in this research is literature review. The findings of this study indicate that the Al-Insyirah surah is a definite parable to describe the problems faced by humans and also comprehensively explains the steps to deal with stress through three stages, namely, positive thinking, positive act, and positive expectation which also have an impact. on brain growth, as well as the formation and strengthening of new synapses in the prefrontal cortex (PFC).

Pendahuluan

Stres Di Kala Pandemi Covid-19

Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 pertama kali di konfirmasi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir Desember 2019 lalu [26] . Virus ini langsung menarik perhatian dunia dan secara cepat menyebar ke berbagai negara di dunia. Kemudian, pada 11 maret 2020 World Health Organization menetapkan bahwa status Covid-19 sebagai pandemi [25]. Melihat penyebaran virus corona yang tidak dapat diprediksi, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menetapkan berbagai protokol kesehatan seperti social distancing, physical distancing, work from home(WFH), bahkan school from home (SFH). Namun, kegiatan ini malah menimbulkan permasalahan baru. Semua kegiatan yang sebelumnya dilakukan secara langsung seperti bekerja dan sekolah, beberapa masih harus dibatasi dan dilakukan secara daring sampai batas waktu yang belum ditentukan. Akibatnya, permasalahan terkait mental mulai bermunculan, berbagai riset melaporkan dampak dari pembatasan tersebut memicu terjadinya distres seperti kecemasan, marah, kecewa, frustasi, takut, bosan, finansial, dan stigma [6];[7];[23];[27] .

Stress merupakan tekanan psikologis yang serius yang dirasakan oleh seseorang dalam fase kehidupan. World Health Organization [25] menjelaskan bahwa stres yang muncul pada saat pandemi Covid-19 berupa rasa takut dan cemas akan kesehatan diri dan orang-orang terdekat, perubahan pola makan dan tidur, kesulitas fokus dan konsentrasi, hingga pemakaian obat-obatan terlarang. Zhang dan Ma [27] juga memaparkan bahwa kondisi pandemi saat ini meningkatkan stres terhadap perkerjaan dan beberapa mengalami stress karena finansial.[5]

Stress Dalam Sudut Pandang Neurosains Klinis

Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Rangsangan yang berasal dari luar maupun dari dalam diri akan diteruskan kepada sistem limbik yang berfungsi sebagai pusat pengatur adaptasi. Sistem limbik meliputi thalamus, hypothalamus, amygdala, hippocampus dan septum. Hypothalamus memiliki efek yang sangat kuat pada hampir seluruh sistem viseral tubuh. Kemudian, dari hubungan yang terjadi, hypothalamus merespon rangsangan psikologis dan emosional tersebut. Peran hypothalamus terhadap stres meliputi empat fungsi spesifik yaitu menginisiasi aktivitas sistem saraf otonom, merangsang hipofise anterior memproduksi adrenocoricotrophic hormone (ACTH), memproduksi ADH atau vasopressin, dan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroksin [20]. Respon stress dalam tubuh melalui beberapa jalur. Adapun jalur yang melibatkan hypothalamusatau disebut jalur HPA (hyphotalamus-pituatry-adrenal). Aktivasi jalur HPA melalui neuron dalam nukleus paravestibular di hipotalamus yang menghasilkan CRH (corticotropin-releasing hormone). Hormon ini akan memacu hipofisis anterior (bagian depan dari kelenjar pituitari) melepaskan adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol [24] .

Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan rasio sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hipotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon kortisol, sedangkan bagian medula kelenjar adrenal akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin [24]. Hormon lain juga dikeluarkan adalah antidiuretik hormon (ADH) dari pituitari posterior dan aldosteron dari korteks adrenal. ADH dan aldosteron mengakibatkan retensi atrium dan air [19] .

Figure 1.Schematic Presentation of Major Components of Limbic System, Modulating Neurotransmitters, And Their Interplay With Two Major Neurotransmitter Systems That Mediate Stress Response

Selain mengeluarkan hormon epinefrine dan kortisol, pada orang yang mengalami ketakutan dan stress yang berat juga ada abnormalitas dari hormonserotonin yang diproduksi oleh dorsal raphe nucleus, hormon noreprinefrin yang diproduksi oleh locus coeruleus, serta hormon dopamin. Keabnormalitasan ketiga jenis hormon tersebut menyebabkan gangguan bowel movement sehingga penderita tidak nafsu makan, menjadi susah konsentrasi, meningkatnya rasa ketakutan (ansietas), dan munculnya gangguan mood (penderita lebih mudah marah, tersinggung, iritabilitas). Kemudian, stres melalui sistem neural yang melibatkan saraf simpatik. Sistem saraf ini berfungsi menggerakkan tubuh manusia untuk aktif, dan sebagai motorik otonom yang keluar dari sistem saraf pusat di daerah lumbar (bagian belakang tubuh yang paling sempit, daerah pinggang) dan daerah dada (thoracic) di sumsum tulang belakang. Jika seseorang dalam keadaan stres, maka sistem saraf simpatik akan mengaktifkan berbagai bagian tubuh untuk bereaksi seperti meningkatnya gula darah, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya aktivitas otot-otot dan memengaruhi metabolisme tubuh [8] .

Stres juga di laporkan mempengaruhi aktivitas neuron dopaminergik dan serotonergik sentral. Selain itu, stress juga menyebabkan interaksi antara serotonin dan CRF di berbagai bagian otak. Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa penurunan yang signifikan pada kadar serotonin meningkatkan daya tanggap terhadap stress [13];[21];[22] . Kemdudian, stres yang bersifat konstan dan terus menerus juga turut mempengaruhi kerja kelenjar adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon adrenalin, tiroksin, dan kortisol yang kemudian akan naik jumlahnya dan berpengaruh secara signifikan pada sistem homeostasis tubuh [1] . Jika kondisi tersebut dibiarkan, stres dapat memicu berbagai permasalahn fisik akibat dari interaksi antar otak, sistem saraf, dan hormon yang memungkinkan terjadinya hipertensi bahkan samapai stroke.

Stres Dalam Sudut Pandang Alquran

Nurlaila [16] dalam kajiannya memaparkan bahwa kata stres disebutkan dalam Alquran melalui kata kallafa-yukallifu (beban/membebani), hazina-yahzanu (sedih), dho’ifun (lemah), dan khoufun (takut) yang termaktub dalam berbagai surah dan ayat, beberapa diantaranya. Pertama, melalui kata kallafa-yukallifu, Allah berfirman “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir” (Q.S. Al-Baqarah: 286)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya sebagai bukti dari kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan Allah. Melalui ayat ini Allah juga menjelaskan bahwa janganlah Engkau membebankan kepada kami amal-amal yang berat, meskipun kami sanggup melakukannya, seperti amal yang Engkau syari’atkan kepada ummat-ummat terdahulu sebelum kami, seperti rantai dan belenggu yang mengikat mereka. Dan Engkau telah mengutus Nabi-Mu sebagai Nabi Rahmat, dengan dibebaskannya beban berat tersebut [16] . Kedua, melalui kata sedih dan lemah salah satunya terdapat dalam surah Ali-Imran ayat 139 yang berbunyi “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman” (Q.S. Ali-Imran: 139).Ketiga, yaitu berkeluh kesah yang termaktub dalam dalam surah Al-Ma’arij ayat 19 sampai 23 yang berbunyi 19Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. 20Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. 21Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir. 22Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. 23Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya” (Q.S. Al-Ma’arij: 19-23).

Ayat ini sebagaimana menjelaskan bawha Alla mengabarkan kepada manusia serta tabiat yang telah ditetapkan kepadanya berupa akhlak yang rendah. Selain itu, menurut Al-quran stress juga bisa terjadi karena kehilangan, seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 155-157 dengan makna bahwa manusia sejatinya tidak memiliki konsep kepemilikan dan kehidupan karena semuanya semata-mata milik Allah dan akan Kembali kepadanya. Sehingga, ketika seseorang mencemaskan hal-hal yang sebenarnya bukan miliknya tersebut di dunia ini, sungguhlah sia-sia dan merugi yang kemduian akan berujung pada stres [16] . Penolakan akan kebenaran dalam hidup ini juga disebutkan oleh Alquran sebagai peenyakit “Di dalam hati mereka (orang-orang munafik) ada penyakit maka Allah tambahkan penyakit ke dalam hati mereka dan bagi mereka ada adzab yang pedih disebabkan kedustaan mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 10)

Ketika menolak pada apa yang terjadi pada diri sendiri, kondisi tersebut akan membentuk berbagai konflik di dalam hati dan pikiran dimana kondisi tersebut akan menimbulkan perubahan pada kondisi tubuh kita. Pikiran dengan berbagai neurotransmitternya akan mengirimkan sinyal dari stimulus yang diterima dari luar kemudian mengirimkannya ke sistem limbik yang akan mensekresi berbagai hormon dengan output seperti peningkatan detak jantung, keringat, bahkan tremor [16]. Selanjutnya, stres dalam pandangan Islam juga merupakan hasil dari beberapa faktor yaitu a) takut yang berlebihan dan mencoba melihat dan mengendalikan takdir; b) Kerugian, bahkan kehilangan orang dan hal-hal yang kita sayangi dalam hidup dan ketidakmampuan kita untuk memulihkan kerugian tersebut; c) Konflik batin hati dan pikiran antara apa yang dikenal sebagai kebenaran dan kegagalan kita untuk menerimanya sebagai kebenaran. Penerimaan kebenaran mungkin memerlukan perubahan kebiasaan dan cara hidup yang terkadang terasa sulit untuk beberapa alasan, seperti kesenangan, kegembiraan, rasa, kebanggaan ras atau kebangsawanan [16] .

Nor dan Safe [15] menjelaskan bahwa stres berasal dari hati yang jauh dari Allah. Jauhnya hati dengan Allah melemahkan hubungan antara makhluk dengan penciptanya yang menyebabkan hidupnya menjadi sulit, seolah-olah tidak ada lagi jalan keluar dari setiap masalah yang didapatkan. Alwi dalam Nor & Safe, [15] mengatakan bahwa hati memiliki unsur yang sangat halus, ketuhanan, dan kerohanian. Oleh karena itu, manusia mengenal Allah melalui hatinya, bukan badan karena badan hanyalah pengikut saja. Dalam Ilmu Tasawuf jika seorang hamba mengenal Allah yang sebenar-benarnya Allah, maka akan semakin mantap jiwa/roh dalam dirinya, akan semakin dekat dia dengan Tuhannya. Karena hati akan merasa bahagia jika selalu dekat, dan akan merasa kecewa jika jauh dari Tuhannya. Berat ringannya stresor yang ada pada setiap orang itu relatif. Munculnya stres pada dasarnya seringkali diakibatkan oleh beban hidup yang dipikul dan ketidakdekatannya dengan sang pencipta. Namun, Allah telah jelas menetapkan dalam firmannya bahwa dia tidak akan memberi suatu masalah atau beban diluar kemampuan seseorang.

Tadabbur Surah Al-Insyirah Untuk Mereduksi Stres: Harmonisasi Antara Alquran Dan Neurosains Klinis

Tadabbur adalah perenungan yang menyeluruh untuk mengetahui maksud dan makna dari suatu ayat atau surah dalam Alquran secara komprehensif [10]. Makna dari tadabbur Alquran yaitu berpikir dan memperhatikan secara mendalam sebagai upaya memahami, mengetahui, hikmah, dan maksudnya untuk dijadikan pelajaran. Seperti yang sudah termaktub dalam Alquran [12] . “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka menadaburi (memperhatikan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shad: 29). Penelitian ini berfokus pada makna dari Surah Al-Insyirah, surah ini merupakan surah ke-94 dalam Alquran yang terdiri dari 8 ayat dan termasuk ke dalam golongan surah-surah Makiyyah. Surah Al-Insyirah menjadi perumpamaan yang pasti untuk menggambarkan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hasan,[9] menjelaskan bahwa surah Al-Insyirah telah digunakan untuk menggambarkan stres secara jelas yaitu dengan menggunakan kata beban. ”Dan Kami telah menghilangkan daripada-mu (Muhammad) bebanmu. Yang memberatkan punggungmu" (Q.S. Al-Inyirah: 1-3).

Ayat ini, dalam pemaparannya telah menggunakan perumpamaan dari prinsip mekanika beban, dimana punggung merupakan daerah yang mendapatkan tenaga, dan daerah yang mendapatkan tenaga, dalam prinsip mekanika beban disebut stres [9] . Selain penjelasan mengenai stres, di dalam surah ini juga secara detil menjelaskan bagaimana solusi untuk menghadapi stres yaitu dengan memaknai aspek psikologis yang terkandung di dalamnya, meliputi sabar, optimis, ketenangan hati, ikhtiar, dan tawakal [3] . Menadabburi surah Al-Insyirah secara empirik juga telah diketahui memiliki tingkat ke efektifan yang besar dalam mereduksi stres [3] . Tadabbur pada surah Al-Insyirah ditujukan untuk memanipulasi kognitif yang semula negatif menjadi lebih positif dan optimis dengan harapan mampu untuk membantu kita bertahan disituasi pandemi Covid-19 seperti ini. Keyakinan terhadap janji Allah dalam surah Al-Insyirah mampu ditingkatkan dengan memahami, memaknai, menghayati, dan mengambil ibrah dari apa-apa yang terkandung di dalamnya sehingga pikiran-pikiran negatif yang timbul akibat pandemi bisa digantikan dengan pikiran-pikiran positif melalui penghayatan yang mendalam mengenai aspek-aspek psikologis yang terkandung di dalam surah Al-Insyirah [3];[9] (Ansyah et al., 2019; Hasan, 2008).

Adapun pemaknaan tersebut sebagai upaya untuk mereduksi stres, terbagi ke dalam tiga tahap. Ayat 1 sampai 6 selaras dengan anjuran untuk senantiasa optimis dan berpikir positif [4];[9] (Benedictus, 2018; Hasan, 2008). 1Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?, 2dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu, 3yang memberatkan punggungmu, 4dan Kami tinggikan sebutan nama(mu) bagimu, 5Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, 6sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan(Q.S. Al-Insyirah: 1-6). Ibnu Katsir [4];[11] menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai janji Allah bahwa setiap masalah manusia selalu ada jalan keluarnya. Sehingga kita tidak perlu khawatir dan senantiasa bersabar serta optimis di tengah masalah.

Kemudian, dalam sudut pandang neurosains tentang optimisme yang selaras dengan bunyi ayat 1 sampai 6 dalam surah Al-Insyirah dijelaskan bahwa ketika seseorang membayangkan peristiwa masa depan yang positif the rostral anterior cingulated cortex (RACC) dan amygdala kanan akan jauh lebih aktif daripada orang yang pesimis. Semakin kuat RACC yang aktif, semakin tinggi pula tingkat keoptimisan seseorang. Amygdala sendiri merupakan penghubung antara emosi dan fungsi otak yang lebih tinggi seperti fungsi eksekutif yang meliputi memori dan pengambilan keputusan. Kontribusi amigdala dimoderatori oleh RACC, wilayah yang sebelumnya terkait dengan tindakan refleksi diri, seperti memikirkan preferensi, harapan, atau impian. RACC membantu kita membayangkan peristiwa masa depan dengan menilai dan merangkum emosi dan pengalaman masa lalu. Tetapi hal itu memberikan putaran positif pada berbagai hal dan menurunkan respons emosional negatif dari amigdala. Berkat RACC, masa lalu kita mungkin tertulis, tetapi masa depan kita adalah lembaran kosong di mana kita dapat dengan senang hati menjauhkan diri dari pengalaman negatif dan bergerak menuju pengalaman positif [18] .

Kemudian, pikiran bahagia dan pemikiran positif secara umum juga mendukung pertumbuhan otak, serta pembentukan dan penguatan sinapsis baru, terutama di prefrontal cortex (PFC), yang berfungsi sebagai pusat integrasi semua fungsi otak-pikiran, PFC tidak hanya mengatur sinyal yang dikirimkan neuron ke bagian otak lain dan ke tubuh, tetapi juga memungkinkan untuk memikirkan dan merefleksikan apa yang kita lakukan secara fisik. Secara khusus, PFC memungkinkan untuk mengontrol respons emosional melalui koneksi ke sistem limbik otak. Orang yang memiliki disposisi lebih ceria dan optimis umumnya memiliki aktivitas yang lebih tinggi terjadi di PFC kiri. PFC ini adalah satu-satunya bagian otak yang dapat mengontrol emosi dan perilaku serta membantu untuk fokus pada tujuan apa pun yang ingin dipilih untuk dikejar. Ini akan membantu kita tumbuh sebagai manusia, mengubah apa yang ingin diubah, dan menjalani hidup sesuai keputusan kita [17] , bagian dari korteks frontal juga membantu kita untuk mengontekstualisasikan apa yang kita lihat dan memilah artinya [2] .

Memang tidak bisa dipungkiri, kondisi pandemi Covid-19 ini menimbulkan berbagai stimuli negatif dan perbuahan kebiasan/aktivitas dalam kehidupan kita, akibat dari kondisi tersebut memicu terjadinya stres dan perilaku-perilaku irasional. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk selalu optimis dan senantiasa berpikir positif, hal itu akan sangat membantu kita dalam mengdapi situasi pandemi seperti ini. Allah dalam firmannya dalam surah Al-Insyirah ayat 1 sampai 6 juga telah menjelaskan bahwa bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan. Selain itu, dengan pikiran yang optimis dan positif tentunya akan memudahkan kita untuk bisa berfungsi secaara baik sebagai manusia, menentukan dan membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup kita saat ini. Hasan, [9] juga menjelaskan bahwa berpikir postif dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis, memberikan korelasi positif terhadap proses penyembuhan penyakit dan kesejahteraan. Beripikir positif juga mampu meningkatkan hormon endorfin yang melepaskan pain blocked dan feeling of euphoria sehingga mampu mengimbangi hormon adrenalin dan kortisol yang bisa memicu peningkatan detak jantuk, tekanan darah, gula darah, dam penurunan imun.

Selanjutnya, pada ayat 7 dapat kita pahami bahwa ayat ini selaras dengan anjuran untuk positive act[4]. “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”(Q.S. Al-Insyirah: 7). Ibnu Katsir kemudian menafsirkan ayat tersebut yaitu manusia perlu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya melalui perilaku yang nyata dan positif (ikhtiar) [4];[11] . Ayat ini merupakan anjuran dari Allah agar manusia terus berikhtiar, tidak putus asa, dan tidak menyerah dalam menghadapi setiap situasi yang sulit. Allah juga menasihati manusia untuk mencari bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka. Terakhir adalah ayat 8, ayat ini yang selaras dengan pengharapan positif [4] . “dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S. Al-Insyirah: 8). Ayat ini kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Katsir bahwa manusia harus berdoa dan bersujud kepada Allah atas hasil dari segala upaya yang telah dilakukan (tawakal).

Ayat 6 dan 7 menjelaskan mengenai ikhtiar dan tawakal. Kedua konsep ini memang tidak terpisahkan alias satu kesatuan, tawakal ada ketika ikhtiar sudah gugur dilaksanan, yang berarti tanpa ada ikhtiar tidak mungkin ada tawakal. Di saat pandemi seperti ini, ikhtiar menjadi komponen yang sangat penting agar bisa terhindar dari ancaman virus yang mematikan tersebut, berusaha semampu mungkin untuk menjelankan semua protokol-protokol yang ada, kemudian barulah bertawakal atau berserah diri kepada Allah agar terhindar dari ancaman virus tersebut. Perlu digaris bawahi, bahwa ikhtiar itu berupa perbuatan dan tawakal itu letaknya di hati. Neurosains memandang hati sebagai bagian dari otak manusia. Berdasarkan beberapa persamaan fungsional seperti sama-sama menerima informasi, kecerdasan ruhaniah/qalbiah, spiritual, pengendali/pusat koordinasi tubuh, dan emosional. Neurosains juga memandang konsep hati menurut Al-Ghazali, menurunkan lima unsur yang sama yakni pengendali tubuh, pengetahuan, emosi, dan spiritual [14].

Kesimpulan

Surah Al-Inshirah secara komprehensif menjelaskan secara sistematis bagaiamana cara atau langkah-langkah untuk mengatasi stres yang didukung dengan penjelasan selaras pada kajian neurosains. Hal tersebut membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan pengobatan yang sempurna bagi segala penyakit fisik dan jiwa, penyakit dunia, dan akhirat [10] . Alquran adalah sains di atas sains yang kebenarannya mutlak adanya, sehingga menjadikan Alquran merupakan obat yang ampuh dalam menghadapi berbagai permasalahn hidup dan penyakit hati.

References

  1. Adientya, G., & Handayani, F. (2012). Stres pada kejadian stroke. Jurnal Nursing Studies, 1(1), 183–188.
  2. Allen, S. (2019, February). Positive Neuroscience. John Templeton Foundation by the Greater Good Science Center at UC Berkeley, 1–62.
  3. Ansyah, E. H., Muassamah, H., & Hadi, C. (2019). Tadabbur surat Al-Insyirah untuk menurunkan stres akademik mahasiswa. Jurnal Psikologi Islam Dan Budaya, 2(1), 9–18. https://doi.org/10.15575/jpib.v2i1.3949
  4. Benedictus, R. A. (2018). Occupational stress and coping strategy harmony between scientific theory and islamic teachings and practice. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 7(1), 51–61.
  5. Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., & Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. The Lancet, 395(10227), 912–920. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30460-8
  6. Galea, S., Merchant, R. M., & Lurie, N. (2020). The mental health consequences of COVID-19 and physical distancing. JAMA Internal Medicine, 180(6), 817. https://doi.org/10.1001/jamainternmed.2020.1562
  7. Giallonardo, V., Sampogna, G., Del Vecchio, V., Luciano, M., Albert, U., Carmassi, C., Carrà, G., Cirulli, F., Dell’Osso, B., Nanni, M. G., Pompili, M., Sani, G., Tortorella, A., Volpe, U., & Fiorillo, A. (2020). The impact of quarantine and physical distancing following covid-19 on mental health: study protocol of a multicentric italian population trial. Frontiers in Psychiatry, 11(533), 1–10. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2020.00533
  8. Hapsari, I. I., Puspitawati, I., & Suryaratri, R. D. (2014). Psikologi Faal. PT. Remaja Rosdakarya Offset.
  9. Hasan, A. B. P. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. PT. Rajagrafindo Persada.
  10. Hayyi, A. (2012). Fiqh al Islam wa Adillatuh. Cakrawala.
  11. Indirawati, E. (2006). Hubungan antara kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 3(2), 69–92.
  12. KEMENEG RI. (2020). Qur’an KEMENEG. https://quran.kemenag.go.id/
  13. Kumar, A., Rinwa, P., Kaur, G., & Machawal, L. (2013). Stress: Neurobiology, consequences and management. Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences, 5(2), 91–97. https://doi.org/0.4103/0975­7406.111818
  14. Nasruddin, M., & Muiz, A. (2020). Tinjauan kritis neurosains terhadap konsep Qalb enurut Al-Ghazali. Syifa Al-Qulub, 4(2), 70–87.
  15. Nor, A. yunus bin mohd, & Safe, S. noorshafenas. (2016). Pengurusan Stres Menurut al-Qur’ān dan Hadith Stress Management According to the Qur’ān and the Hadith. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/307639750_PENGURUSAN_STRESS_MENURUT_AL-QURAN_DAN_HADITH
  16. Nurlaila, N. (2016). Kompensasi beban dalam persfektif psikologi islam. Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(1).
  17. Reynolds, S. (2011). Happy Brain, Happy Life. Psychology Today.
  18. Sharot, T., Riccardi, A. M., Raio, C. M., & Phelps, E. A. (2007). Neural mechanisms mediating optimism bias. Nature, 450(7166), 102–105. https://doi.org/10.1038/nature06280
  19. Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, volume 1 (W. A. et. Al. (ed.); 1st ed.). EGC.
  20. Subramaniam, V. (2015). Hubungan antara stres dan tekanan darah tinggi pada mahasiswa. Intisari Sains Medis, 2(1), 4–7.
  21. Temel, Y., Helmy, A., Pinnock, S., & Herbert, J. (2003). Effect of serotonin depletion on the neuronal, endocrine and behavioural responses to corticotropin-releasing factor in the rat. In Neuroscience Letters. https://doi.org/10.1016/S0304-3940(02)01392-7
  22. Texel, S. J., Camandola, S., Ladenheim, B., Rothman, S. M., Mughal, M. R., Unger, E. L., Cadet, J. L., & Mattson, M. P. (2012). Ceruloplasmin deficiency results in an anxiety phenotype involving deficits in hippocampal iron, serotonin, and BDNF. Journal of Neurochemistry. https://doi.org/10.1111/j.1471-4159.2011.07554.x
  23. Venkatesh, A., & Edirappuli, S. (2020). Social distancing in covid-19: what are the mental health implications? BMJ, 1. https://doi.org/10.1136/bmj.m1379
  24. Wardhana, M. (2011). Psikoneuroimunologi di bidang dermatologi. MDVI, 38(4), 175–180.
  25. World Health Organization. (2020). Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak. who.int/docs/default-source/coronaviruse/mental-health-considerations.pdf?sfvrsn=6d3578af_16
  26. Wuhan Municipal Health Commission. (2020). Timeline of China releasing information on COVID-19 and advancing international cooperation. National Health Commission of the People’s Republic of China. http://en.nhc.gov.cn/2020-04/06/c_78861_2.htm
  27. Zhang, Y., & Ma, Z. F. (2020). Impact of the COVID-19 pandemic on mental health and quality of life among local residents in Liaoning Province, China: A cross-sectional study. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(7), 2381. https://doi.org/10.3390/ijerph17072381