Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.595

Islamic Counseling to Increase Self-Acceptance of Foster Children at Darul Hadlonah 1 Boyolali Orphanage


Konseling Islami Untuk Meningkatkan Penerimaan Diri Anak Asuh Panti Asuhan Darul Hadlonah 1 Boyolali

Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Self-Acceptance Islamic Counseling Traumatic Events

Abstract

A traumatic event such as the death of the father allows the child to blame himself and feel that he is different from other people. Losing a father figure also affects children in terms of courage to take risks, lack of initiative, and tend to experience anxiety. The purpose of this study is to establish a diagnosis based on in-depth information analysis and the application of appropriate interventions so that problems can be resolved. This study uses a qualitative approach, namely the intrinsic case study type. The research subjects were selected purposively with the characteristics of adolescents aged 11-19 years, male sex, living in the Darul Hadlonah 1 orphanage, Boyolali. To obtain detailed and in-depth data, data collection was carried out by in-depth interviews, non-participant observation, and psychological tests, namely graphic tests (DAP, BAUM, HTP), WAIS, Wartegg, SSCT, and EPPS. The data were then analyzed using data collection techniques, data reduction, data display, and conclusions. The results of the analysis show that effective Islamic counseling can increase the subject's self-acceptance. Quantitatively, the pre-test self-acceptance scale showed a score of 17 which was classified as a bit low and after Islamic counseling the subject's self-acceptance score increased by 7 points. Qualitatively, the subject experienced changes both cognitive, affective, and behavior. It can be concluded that Islamic counseling can increase the subject's self-acceptance.

Pendahuluan

Data dari Kemensos RI tahun 2010 menunjukkan sebanyak 5,4 juta jiwa merupakan anak asuh Panti Asuhan. Anak-anak tersebut merupakan anak terlantar atau sudah tidak memiliki orang tua. Panti asuhan sendiri merupakan lembaga yang membantu mengasuh anak yati, yatim piatu, ataupun anak duafa. Anak-anak yang tinggal di Panti datang dari latar belakang keluarga dan permasalahan yang berbeda-beda. Berbagai permasalahan muncul ketika anak tinggal di panti seperti masalah interaksi sosial, masalah penyesuaian diri, masalah dalam hal belajar, dan masalah kebutuhan hidup [14]. Masalah-masalah tersebut muncul karena anak asuh mengalami peristiwa yang melatar belakangi seperti peristiwa kehilangan orang tua. Peristiwa kematian orang tua dapat menjadi pengalaman traumatis bagi anak asuh. Selain itu, anak yang kehilangan orang tua seperti kehilangan ayah mempengaruhi kehidupan anak. Figur ayah sangat penting bagi perkembangan anak namun mereka kehilangan figur tersebut sehingga mereka cenderung kurang berani mengambil resiko, cenderung mengalami kecemasan, dan kurangnya inisiatif [7].

Data awal juga menunjukkan bahwa adanya keluhan dari salah satu anak asuh yang kehilangan ayahnya. Kejadian yang dilihat secara langsung oleh anak tersebut membuatnya trauma. Ia berpikir bahwa peristiwa kematian ayahnya adalah salahnya dan sangat merasa bersalah. Kehilangan figur ayah juga mempengaruhi ia dalam pengambilan keputusan sehari-hari diman ia cenderung ragu-ragu, kurang percaya diri, dan kurang mandiri. Selain itu, ia juga merasa minder dan merasa berbeda dengan teman-teman yang lain. Kondisinya yang harus tinggal di panti dan kehilangan salah satu orang tua membuat ia merasa berbeda.[12] Dampak dari pengalaman traumatis tersebut didukung dengan pernyataan dari Taylor [16] dimana pengalaman traumatis dapat menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri dan merasa takut akan ditinggalkan. Anak asuh yang berharap bahwa mereka mendapatkan sosok pengganti orang tua dari pengasuh pada kenyataannya mereka cenderung tidak mendapatkannya. Pengasuh tidak dapat menjalankan peran tersebut secara maksimal karena harus mengasuh dan memperhatikan beberapa anak yang ada di Panti.[4] Hal tersebut menjadi salah satu penyebab anak asuh merasa semakin berat dalam hidup baik secara sosial, emosional, dan fisik karena trauma masa lalu, kekacauan, dan stress hidup [16]. Akibatnya beberapa anak asuh lebih memilih menjadi tertutup dan membatasi dunianya dari dunia luar serta membuat mereka merasa berbeda dari individu seusianya, hal ini akan mempengaruhi penerimaan diri individu. [6];[11];[13]

Anak yang kehilangan salah satu figur orang tua mengalami masa dimana mereka akan merasa rendah diri, perasaan tidak kompeten, dan tidak produktif.[3] Pada fase ini dibutuhkan orangtua, agar bisa membantu anak dalam mengembangkan energi untuk memperoleh pengetahuan sebanyak banyaknya.[8];[17] Namun berbeda bagi anakanak yang hidup di panti asuhan. Mereka harus rela berbagi perhatian pengasuh dengan anak yang lainnya. Hal ini bisa menyebabkan berkembangnya perasaan rendah diri pada anak karena merasa tidak kompeten atau tidak bermanfaat bagi orang lain.[15] Subjek penelitian ini adalah remaja. Alasannya dikarenakan pada usia remaja mereka sedang mangalami perubahan baik secara fisik, kognitif, dan psikososial [9]. Remaja dalam mengalami perubahan-perubahan tersebut akan sangat membutuhkan perhatian dalam proses perkembangan. Jika perhatian kurang diberikan maka bisa jadi seseorang akan gagal melewati tahap perkembangannya. Kegagalan tersebut dapat membuat anak asuh mengalami perasaan rendah diri dan menjadi ragu dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu penelitian ini memiliki tujuan untuk membantu anak asuh dengan intervensi yang tepat sehingga dapat melewati tahapan perkembangan dengan baik, tidak merasa rendah diri, merasa yakin dan dapat menyelesaikannya masalahnya secara mandiri.[10]

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekataan kualitatif yakni studi kasus jenis intrinsic case study. Subjek penelitian dipilih secara purposive dengan ciri anak remaja berusia antara 11-19 tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggal di panti asuhan Darul Hadlonah 1 Boyolali. Untuk mendapatkan data secara rinci dan mendalam maka pengumpulan data dilakukan denganwawancara mendalam, observasi non-partisipan, skala penerimaan diri, dan tes psikologi yakni.tes grafis (DAP, BAUM, HTP), WAIS, Wartegg, SSCT,dan EPPS. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak berjenis kelamin laki-laki berusia 18 tahun. Subjek merupakan anak asuh Panti Asuhan Darul Hadlonah 1 Boyolali. Subjek sudah tinggal di Panti selama ± 3 tahun.[1]

Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala penerimaan diri untuk pre-test dan post-test. Skala diadaptasi dari self acceptance scale milik Berger sebanyak 36 aitem dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari 5 alternatif jawaban. Semakin besar skor yang diperoleh menunjukkan semakin besar tingkat penerimaan diri individu, begitupun sebaliknya semakin kecil skor yang diperoleh maka semkain rendah pula tingkat penerimaan diri.[2] Skala peneriman diri terdiri dari 9 karakter yaitu yang pertama nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritik dan saran subjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain, dan tidak mau atau rendah diri [11]. Data selanjutnya dianalisis dengan teknik pengumpulan data, reduksi data, display data, dan kesimpulan. Hasil data digunakan untuk menegakkan diagnosis dan menjadi dasar pemilihan intervensi yang tepat. Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria DSM V. (Maslim, 2013). Intervensi yang diberikan yaitu Konseling Islami yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan diri subjek [5]. Konseling Islami dilakukan sebanyak 13 sesi dalam 3 pertemuan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian dapat ditegakkan diagnosis bahwa subjek mengalami masalah penerimaan diri. Penerimaan diri subjek dapat dikategorikan rendah, sehingga Konseling Islami diberikan kepada subjek. Setelah diberikan intervensi dengan 13 sesi dalam 3 pertemuan subjek mengalami perubahan secara kuantitatif dan kualitatif.

Hasil Kuantitatif

Hasil dari proses intervensi ini dapat dilihat perubahannya berdasarkan pre tes dan post tes menggunakan skala penerimaan diri. Skor pre tes subjek 17. Setelah melakukan intervensi, subjek memperoleh skor post tes 24 yang artinya terjadi peningkatan sebanyak 7 angka yang berarti subjek saat ini mengalami peningkatan penerimaan diri.

Hasil Kualitatif

Secara kualitatif menunjukkan beberapa hasil perubahan dari 3 aspek yang di kelompokkan yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek perilaku. Berikut tabel hasil intervensi:

Kategori Sebelum Intervensi Setelah intervensi Keterangan
Aspek kognitif Subjek memiliki pemikiran bahwa kematian ayahnya disebabkan oleh dirinya.Subjek sering memikirkan masa lalu (hampir setiap malam).Subjek berpikir bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.Kepercayaan diri akan kemampuan rendah.Subjek rau-ragu menghadapi masa depan. Subjek menerima bahwa kematian adalah takdir Allah.Pemikiran negatif subjek mengenai masa lalu sedikit demi sedikit berkurang.Subjek lebih merasa yakin akan kemampuannya.Subjek menyadari bahwa setiap manusia diciptakan pasti dengan kekurangan dan kelebihan.Subjek sudah memiliki perencanaan tentang masa depan. Ada perubahan
Aspek afektif Subjek merasa bersalah dan sedih terhadap kematian ayahnya.Subjek merasa minder di lingkungannya. Subjek menjadi lebih sabar dan lapang dada menghadapi keadaan.Subjek menjadi lebih percaya diri dalam berteman. Ada perubahan meskipun belum signifikan terlihat
Aspek perilaku Subjek lebih sering diam ketika berada dalam lingkungannya. Perilaku subjek mulai mengalami perubahan. Ada perubahan meskipun belum signifikan terlihat
Kesimpulan : Secara umum intervensi berjalan lancar. Perubahan subjek paling menonjol dari aspek kognitif. Sementara dari segi afektif dan perilaku masih membutuhkan bimbingan dan komitmen lebih dari subjek untuk terus mengubah diri menjadi lebih baik.
Table 1. Hasil Intervensi

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Konseling Islami tebukti efektif untuk meningkatkan penerimaan diri subjek. Peningkatan penerimaan diri dapat terlihat dari perubahan skor yang mengalami peningkatakn sebanyak 7 skor. Selain itu, juga didukung dengan adanya perubahan dari aspek kognitif, afektif, dan perilaku. Peneliti menyadari masih terdapat keterbatasan dalam proses penelitian. selama proses intervensi lebih banyak disebabkan karena pengaruh kondisi eksternal seperti pada saat intervensi kondisi lingkungan kurang kondusif. Hal ini mempengaruhi efektivitas intervensi yang dilakukan maka peneliti menyarankan kepada peniliti selanjutnya untuk lebih memperhatikan pemilihan tempat yang kondusif sehingga intervensi dapat berjalan dengan lancar.

Ucapan Terimakasih

Peneliti menyadari bahwa dalam menyelesaikan artikel ilmiah ini melibatkan banyak bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Setia Asyanti, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku pembimbing dalam penyusunan artikel ilmiah ini, segenap pengurus Panti Asuhan Darul Hadlonah 1 Boyolali yang telah bersedia memberi kesempatan untuk melakukan penelitian, subjek penelitian yang telah bersedia mengikuti serangkaian proses penelitian, segenap rekan sejawat yang telah mendukung peneliti dalam proses penyusunan artikel ilmiah.

References

  1. Chaplin. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
  2. Denmark, K. L. (2007). Self Acceptance and Leader Effectiveness. Journal of Extension , 6-12.
  3. Feist, J., & Feist, G. J. (2014). Teori Kepribadian (7 ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
  4. Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
  5. Komariah. (2016). Efektivitas Bimbingan dan Konseling Islam untuk Meningkatkan Penerimaan Diri pada Penyandang Tunanetra (Studi Eksperimen pada Mahasiswa Difabel Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga). Tesis: UIN Sunan Kalijaga.
  6. Lail, A. H., Tasmin, & Darwati, Y. (2017). Penerimaan Diri Remaja dengan Orang Tua Tunggal. Happiness, 1 (2), 75-87.
  7. Lerner, H. (2011, November 27). Losing a Father Too Early. Dipetik Desember 17, 2019, dari The Dance of Connection: www.psychologytoday.com
  8. Millon, T. G., Millon, C., Meager, S., & Ramnath, R. (2004). Personality Disorders in Modern Life (Second Edition). John Willey & Sons. New Jersey: Inc.
  9. Mota, C. P., & Matos, P. M. (2013). Peer Attachment, Coping, and Self-Esteem in Institutionalized Adolescents: The Mediating Role of Social Skills. European Journal of Psychology of Education , 28 (1), 87-100.
  10. Nugraha, A. D., & Purwanto, Y. (2012). Pengaruh Pemberian Pelatihan Manajemen Perilaku Kognitif terhadap Penerimaan Diri Penyandang Tuna Daksa di BBRSBD Surakarta. Tesis: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  11. Putri, R. K. (2018). Meningkatkan Self Accaptance (Penerimaan Diri) dengan Konseling Realita Berbasis Budaya Jawa. Prosiding SNBK, 2 (1), 118-28.
  12. Rahmandani, A., & Subandi, M. A. (2010). Pengaruh Terapi Pemaafan dalam Meningkatkan Penerimaan Diri Penderita Kanker Payudara. Jurnal Intervensi Psikologi, 2 (2), 141-172.
  13. Rizkiana, U. (2008). Penerimaan Diri pada Remaja Penderita Leukimia. Tesis: Universitas Gunadarma Bandung.
  14. Sari, E. P., & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan Diri pada Lanjut Usia Ditinjau dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi (2), 73-88.
  15. Setyowati, N., & Hasanah, U. (2016). Pengaruh Intervensi Kognitif Spiritual terhadap Penerimaan Diri pada Klien Stroke Iskemik. Jurnal Ilmu Kesehatan, 5 (1), 19-27.
  16. Taylor, D. A. (2013). Social Penetration: The Development or Interpersonal Relationship. New York: Holt, Rinehart & Winston.
  17. Widiantoro, F. W. (2015). Meningkatkan Pemahaman Penerimaan Diri melalui Permainan "Menggambar Jari" sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Warga Binaan. Seminar Psikologi & Kemanusian , 131-135.