Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.601

Social Emotional Learning (SEL) to Reduce Student Academic Stress during the COVID-19 Pandemic


Social Emotional Learning (SEL) untuk Mengurangi Stres Akademik Siswa di Masa Pandemi COVID-19

Universitas Islam Indonesia
Indonesia
Universitas Islam Indonesia
Indonesia
Social Emotional Learning Academic Stress COVID-19

Abstract

The pandemic COVID-19 has made many changes to life community systems. The educational system is one of its. The effect of the pandemic, made the schools must use the online system. The online system has been the worst effect, such as a stress academic. Strategy to solve that problem is appliying the social-emotional learning (SEL) method to reduce a number of academic stress. This study aims to give a solution to face an online learning system during the COVID-19 pandemic. This study used a literature review to get some journals about social-emotional learning (SEL). The result found that social-emotional learning has been contributed to learning activities by appliying the five components of social-emotional learning (SEL) are meliputi self-awereness, social-awareness, self-management, relationship skill dan responsible decision making. Therefore, the teachers, students, and parent important to have a deeper understanding of social-emotional learning (SEL) 

Pendahuluan

Stres akademik merupakan kondisi umum yang terjadi saat seseorang mengalami tekanan yang bersumber dari kegiatan akademik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu, dkk [17] mengungkapkan bahwa penyebab seseorang mengalami stres akademik adalah ujian, minimnya prestasi, prokratinasi, pekerjaan rumah, sistem pembelajaran yang kurang mendukung serta motivasi dalam internal siswa. Selain itu, menurut Alvin [1] stres akademik juga disebabkan oleh pola pikir, kepribadian, jam pelajaran yang padat dan tugas yang banyak serta keterampilan belajar. Biasanya stres akademik sering terjadi pada momen-momen tertentu, seperti halnya mendekati tengah semester ataupun ujian akhir. Akan tetapi, sistem daring yang saat ini tengah dilakukan akibat pandemi COVID-19 menjadikan siswa rentan terkena stres akademik. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh KPAI pada 20 provinsi dan 54 kabupaten menunjukkan bahwa 79,9% anak mengalami stres diakibatkan pembelajaran sistem daring [13].

Sistem pembelajaran dengan metode daring yang saat ini dilakukan mengakibatkan terjadinya peningkatan beban pembelajaran yang memicu stres akademik pada siswa [25]. Lebih jauh, Pujiastuti [25] pun menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh atau daring membuat peserta didik menjadi bosan yang dikarenakan tidak bisanya peserta didik beriteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Pernyataan tersebut selaras dengan temuan Agus [9] bahwa pembelajaran jarak jauh yang dilakukan membuat siswa perlu waktu untuk beradaptasi dan hal tersebut berimbas pada kemampuan murid menyerap pelajaran, hal tersebut dikarenakan siswa sudah terbiasa melakukan pembelajaran tatap muka yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan teman dan gurunya. Padahal interaksi yang sering dilakukan oleh siswa bersama dengan teman dan gurunya akan dapat meningkatkan capaian prestasi akademik siswa (Gehlbach, Brinkworth, Hsu, King, Mclntyre & Rogers, 2016).

Seperti yang dipaparkan di atas, bahwa kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan secara daring atau jarak jauh meningkatkan kerentanan stres akademik yang dialami oleh siswa. Stres akademik yang tidak segara ditangani akan berdampak pada kinerja siswa dan berpengaruh negatif secara langsung pada keberhasilan pendidikan siswa juga pada bagaimana kondisi emosional siswa [8]. Lebih jauh, Dhia [10] mengatakan bahwa stres akademik yang terjadi di masa pandemik ini juga didorong karena ketidakmampuan siswa dalam mengolah emosinya yang disebabkan oleh keharusan untuk menjaga jarak, mengurangi aktivitas di luar rumah yang akhirnya membuat siswa cepat bosan dan berdampak pada kondisi emosional mereka yang rentan cemas, gelisah, dan mudah marah. Oleh karena itu, penting adanya strategi guna menurunkan tingkat stres akademik yang terjadi pada siswa saat ini.

Dhia [10] mengatakan bahwa salah satu metode pembelajaran yang tepat dan dapat digunakan dalam situasi seperti ini adalah Social Emotional Learning (SEL), ini dikarenakan metode SEL membantu siswa untuk meningkatkan motivasi dan resiliensinya dalam melakukan pengelolaan emosi. Penyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Helaludin dan Alamsyah [12] bahwa Social Emotional Learning atau SEL adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang secara sengaja melibatkan anak-anak dan orang dewasa secara bersamaan agar saling memahami baik dari segi emosi, tujuan serta dapat membangun empati dan menjalin hubungan yang positif serta bertanggung jawab. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khilmiyah (2013) yang menunjukkan bahwa penggunaan metode SEL dalam pembelajaarn Pendidikan Agama Islam dapat menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial pada anak jika dilakukan secara holistik. Selain itu, penelitian terdahlu yang dilakukan oleh Greenberg, dkk [11] menunjukkan bahwa siswa dengan kompetensi sosial dan emosional yang baik dapat hidup lebih sehat dan memiliki performa yang lebih unggul dibandingkan dengan yang tidak. Oleh sebab itu, penting untuk mengoptimalkan komponen-komponen dalam SEL guna meminimalisir terjadinya stres akademik siswa. Lebih jauh, penulisan ini bertujuan untuk memberikan solusi tentang bagaimana SEL berperan dalam mengurangi stres akademik memalui pengaplikasian komponen-komponennya.

Hasil dan Pembahasan

Social Emotional Learning

American Association Psychology [2] mendefinisikan social emotional learning (SEL) adalah salah satu metode pembelajaran yang memberikan pengalaman dalam hal menjaga hubungan kerja sama, membuat keputusan yang bertanggung jawab, mengelola emosi, memecahkan masalah dan membangun empati kepada orang lain. Masih dilansir dari laman APA (2020) dikatakan bahwa SEL merupakan metode pengajaran yang menitikberatkan pada kolaborasi antara guru, siswa dan orangtua. Lebih dulu, CASEL atau Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning [7] mendefisinikan SEL sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengaplikasikan pengetahuan, mengembangkan keterampilan sosial dan emosional guna membangun interaksi yang lebih postitif dan menumbuhkan empati dalam diri anak. Tidak jauh dari definisi sebelumnya, Usakli (2018) juga memaparkan bahwa SEL adalah metode yang memungkinkan anak dalam mengasah keterampilan, kepercayaan dan kemampuan pengelolaan emosinya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa SEL adalah metode pengajaran yang berfokus pada pengembangan diri individu baik secara emosional maupun sosial.

Sel pada hakikatnya adalah sebuah metode yang ditawarkan kepada siswa, guru dan orangtua dalam hal mempersiapkan anak-anak menuju masa depan yang lebih baik , dan untuk mencapai tujuan tersebut CASEL [7] memaparkan terdapat beberapa komponen yang terdapat di dalam Social Emotional Learning (SEL) yaitu:

  1. Self-awareness, adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan, pikiran dan dampak dari perilaku yang dilakukannya.
  2. Social-awareness, adalah kemampuan untuk mengolah perspective taking, membangun empati dan kemampuan untuk beradaptasi sesuai dengan norma dan perilaku sosial, sehingga tercipta hubungan yang kooperatif dan positif.
  3. Self-management, adalah kondisi di mana seseorang mampu mengatur pikiran, perasaan dan perilakunya dalam situasi yang berbeda-beda. Termasuk dalam komponen ini adalah kemampuan seseorang dalam melakukan manajeman stres serta mampu mengkspresikan emosi yang dirasakan secara tepat.
  4. Relationship skill, merupakan kemampuan dalam hal membangun dan mengembangkan hubungan yang baik dan sehat serta kemampuan seseorang dalam menyelesaikan konflik.
  5. Responsible decision making, adalah keterampilan seseorang dalam membuat suatu keputusan yang membangun tanpa menjatuhkan orang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa SEL memiliki lima komponen yaitu, self awereness, social awareness, self management, relationship skilldan responsible descision making.

Strategi Social Emotioanal Learning (SEL)

Secara umum, CASEL [7] menjabarkan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengimplikasikan SEL ke dalam kegiatan belajar dan mengajar. Beberapa pendekatan tersebut antara lain (1) menyisipkan SEL ke dalam mata pelajaran, (2) membuat kurikulum yang memuat cakupan SEL, (3) menciptakan lingkungan sekolah yang dapat mendukung pengembangan sosial dan emosional siswa, (4) menjadikan SEL sebagai salah satu mata pelajaran tersendiri.

Selanjutnya menurut Doughan (2015) pendekatan yang dapat digunakan dalam mengimplikasikan SEL adalah (1) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (2) membangun komunikasi yang sehat dan interaktif antara siswa dan peserta didik, (3) memberikan kesempatan untuk peserta didik melakukan refleksi dan evaluasi diri, (4) menciptakan suasana belajar yang kooperatif dan saling mendukung, (5) membangun komunikasi dua arah, (6) menciptakan kurikulum yang memuat minat dan bakat siswa, (7) memperhatikan individual differences dalam penyampaian pembelajaran, (8) membangkitkan rasa ingin tahu siswa, (9) mengembangkan sistem pembelajaran yang kolaboratif, (10), mendesain gaya belajar yang dapat melatih siswa dalam melakukan pengolahan emosi.

Stres Akademik

Goveaerts dan Gregoire (2004) menyebutkan bahwa stres akademik merupakan kondisi di mana seseorang merasa tertekanan akibat proses belajar-mengajar dan segala yang kaitannya degan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu, Heiman dan Kariv [14] menjabarkan bahwa stres akademik disebabkan oleh academic stressor dalam kegiatan belajar-mengajar. Lebih lanjut, Rahmwati [27] mengatakan bahwa stres akademik merupakan kondisi kesenjangan antara kemampuan siswa dan lingkungannya. Pernyataan tersebut sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:

Setiap jiwa, baik yang beriman atau kafir, pasti akan merasakan mati di dunia ini. Dan di dunia ini Kami mengujimu -wahai manusia- dengan berbagai kewajiban, kenikmatan dan kesengsaraan. Kemudian setelah wafat, kalian pasti akan kembali kepada Kami, bukan kepada selain Kami, lalu Kami memberikan balasan atas amalan kalian.”(QS. Al-Anbiya: 35).

Berdasarkan firman tersebut, jelas dikatakan bahwa Allah memberikan ujian dalam bentuk kebaikan dan keburukan. Salim Muttaqin [19] memaparkan bahwa ujian kebaikan dapat berupa rizki, kecerdasan, keindahan, pangkat dan golongan, sementara ujian keburukan adalah kondisi yang tidak diinginkan seperti sakit, wabah, kecelakaan, bencana hingga kehilangan kerabat. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres akademik adalah tekanan akibat stressor yang bersumber dari kegiatan ataupun proses belajar dan mengajar yang dilakukan siswa. Alvin [1] mengemukakan umumnya stres akademik yang terjadi biasanya disebakan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi stres akademik adalah pola pikir, keperibadian dan keyakinan, sedangkan faktor eksternalnya meliputi pelajaran, sistem pengajaran, tekanan untuk berprestasi tinggi, dorongan status sosial, banyaknya kegiatan yang dilakukan dengan waktu yang terbatas. Selain itu Strak, White, Rotter dan Basu [28] juga memaparkan bahwa harapan dan tuntutan orangtua terhadap capaian akademik siswa di masa pandemi COVID-19 turut menjadi faktor yang mempengaruhi stres akademik pada siswa.

Biasanya seseorang yang mengalami stres akadmik menurut Hardjanah dalm Angraini [4] ditandai dengan dengan terjadinya perubahan pada keadaan fisik dan sosial emosional, seperti menarik diri dari lingkungan, gelisah, cemas, mudah menangis, hingga dapat ditandai dengan adanya perilaku impulsif. Lebih jauh Nurmaliyah [21] mengatakan bahwa stres akademik yang tidak dapat dikendalikan akan dapat mempengaruhi bagaimana siswa menyelesaikan tugas sekolah dan berdampak juga pada keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

Social Emotional Learning (SEL ) dan Stres Akademik Siswa

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa sistem pembelajaran daring mengakibatkan guru dan siswa harus melakukan kegiatan belajar dan mengajar dari rumah. Perubahan sistem tersebut akhirnya berdampak pada pola interaksi antara sesama siswa ataupun siswa dengan gurunya. Dhia [10] mengatakan bahwa tak sedikit guru yang salah mengartikan bahwa kegiatan belajar dan mengajar daring adalah memindahan waktu dan beban belajar ke rumah yang tak jarang akhirnya membuat siswa sibuk, sehinga harus memisahkan diri dari keseharian keluarga.

Kesibukan karena mengerjakan tugas sekolah dan jarangnya waktu bermain membuat siswa akhirnya rentan mengalami stres akademik. Stres akademik pada siswa jika tidak segera ditangani maka akan berpengaruh terhadap performa siswa dalam mengikuti pelajaran, mengakibatkan penurunan motivasi belajar, dan dapat berdampak pada ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan internal yang akhirnya berpotensi mengakibatkan kegagalan dalam berprestasi [23]. Lebih jauh, dikatakan bahwa jika stres akademik yang tidak dapat dikendalikan atau diatasi siswa akan mempengaruhi pikiran, perasaan, reaksi fisik, dan tingkah lakunya ke arah negatif [21]. Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi guna mengatasi permasalahan tersebut. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Insyirah ayat 5-6 yang bunyinya:

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6)

Berdasarkan firman di atas, diketahui bahwa setiap masalah pasti memiliki jalan keluar, begitupun dengan permasalah stres akademik tersebut. Oleh sebab itu, salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres akademik pada siswa di tengah pandemi COVID-19 ini adalah memberikan pengajaran dengan pendekatan atau metode Social Emotional Learning. Metode ini dirasa tepat untuk mengatasi stres akademik siswa di tengah pembelajaran daring. Hal ini dikarenakan komponen-komponen yang ada pada SEL dapat membantu siswa dalam mengolah pikiran, perasaan, tingkah laku bahkan cara bersosial siswa. CASEL [7] menjabarkan terdapat beberapa komponen dalam SEL antara lain adalah self awereess, self management, social wareness, relationship skill dan responsible decision making, yang di mana komponen-komponen tersebut dapat mempersiapkan serta mengarahkan anak ke arah yang lebih baik jika diaplikasikan secara optimal. Senada dengan ungkapan tersebut, penelitian yang dilakukan Weissberg, Dymnicki, Taylor, dan Schellinger (2011) mengemukakan bahwa SEL terbukti dapat meningkatkan academic outcomes siswa, seperti: (1) 23% meningkatkan keterampilan siswa, (2) 9% meningkatkan sikap untuk pribadi dan lingkungan, (3) 9% meningkatkan perilaku prososial, (4) 9% mengurangi perilaku bermasalah, (4) 10% mampu mereduksi emosi negatif, dan (5) 11% meningkatkan skor tes siswa.

Akan tetapi, kondisi daring saat ini mengakibatkan perlu adanya modifikasi model pembelajaran SEL dalam kegiatan belajar dan mengajar. Selama masa pandemi ini kebanyakan komunikasi guru dan siswa harus dilakukan melalui media elektronik seperti zoom, whatsapp group, skype, maupun e-mail. Keadaan itu pada akhirya membuat siswa harus menggunakan komputer dan internet setiap hari. Purna [26] mengatakan saat kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara daring perlu adanya beberapa modifikasi dalam menggunakan metode SEL. Masih dilansir dari Purna [26] mengatakan dalam memanfaatkan media teknologi dan informasi dalam memperbaiki mutu pembelajaran dibutuhkan beberapa hal antara lain (1) siswa dan guru harus memiliki akses yang sama dalam hal media yang digunakan (2) guru harus mempersiapkan bahan ajar yang berkualitas dan beorientasi budaya serta (3) guru, siswa dan orangtua harus memiliki keterampilan dalam menggunakan media untuk mencapai standar pendidikan.

Kegiatan belajar-mengajar secara daring ini seharusnya dapat memberikan manfaat yang positif bagi kehidupan guru dan siswa. Hal ini dikarenakan media teknologi dan informasi dapat menyuguhkan sistem pembelajaran yang lebih menyenangkan sebagai upaya mengembangkan keterampilan sosial dan emosional siswa [26]. Pengaplikasian SEL dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok belajar yang terdiri dari beberapa siswa dengan latar belakang yang berbeda. Keadaan tersebut sengaja diciptakan agar terjadi interaksi antarsiswa, sehingga terjadi komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran budaya, komunikasi untuk pemecahan masalah dan dapat membangun diskusi terkait isu-isu yang sedang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut disinyalir dapat membantu siswa dalam mengaplikasikan komponen-komponen dalam SEL. Setelah kelompok siswa tersebut tercipta, guru dapat menyampaikan materi melalui animasi, mindmap ataupun film-film. Iaosanurak, Chanchalor dan Elizabeth [15] melakukan penelitian dengan metode tersebut dan hasilnya menunjukkan bahwa pengaplikasian SEL melalui media digital dapat meningkatkan motivasi siswa serta memudahkan proses transfer ilmu dan menjadikan kegiatan belajar-mengajar menjadi hal yang menyenangkan serta menurunkan stres akademik yang dialami siswa.

Sederhananya pengaplikasian komponen-komponen SEL dapat dilakukan dengan membangkitkan semangat siswa terlebih dahulu melalui berbagai metode yang dapat menimbulkan berbagai pertanyaan. Dikutip dari Belfield, Bowden, Klapp dan Levin [5] guru dapat menjelaskan konsep dengan kata-kata, vidio, audio, gambar atau kombinasi dari semuanya. Kemudian, setelah itu siswa memperaktikkan konsep dengan pengembangan keterampilan diskusi kelompok, penulisan individu ataupun projek. Lalu setelah itu barulah siswa diajak bermain peran untuk menyelesaikan permasalahan, sebelum akhirnya siswa diajak untuk merefleksikan permasalahan yang telah diselesaikan. Namun, dalam konteks pembelajaran daring terdapat beberapa tambahan yang dapat dilakukan guru yaitu mengirimkan berbagai macam materi pembelajaran kepada siswa untuk kemudian dikerjakan bersama keluarga mereka dan memeriksa pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan [16].

American Association Psychology [2] menyatakan bahwa dalam mengaplikasikan metode SEL pada masa pandemi saat ini penting untuk melibatkan orangtua. Hal ini dikarenakan anak lebih sering menghabiskan waktu mereka di rumah dan agar komponen yang terdapat dalam SEL dapat diimplikasikan dengan optimal. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Luo, Deng dan Zhang [18] yang menemukan fakta bahwa stres akademik yang dialami oleh siswa dapat ditekan apabila mereka merasa bahwa orangtua memberikan keghangatan secara emosional. Oleh kerena itu, dalam hal ini keterlibatan orangtua sangatlah penting. Komponen social awareness dalam SEL dapat dilatih melalui interaksi antara komunikasi anak dan orangtua dengan cara orangtua membagi waktu bersama anak-anak tidak hanya saat belajar, melainkan juga melalui percakapan yang positif, permainan dan tetap menjalin komunikasi dengan keluarga jauh melalui sosial media [22]. Peran orangtua dalam memberikan pendidikan sebenarnya adalah hal yang wajib, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

Hai orang-orang beriman, jauhkanlah diri kalian, istri-istri kalian, dan anak-anak kalian dari api neraka dengan mentaati perintah Allah dan menjauhi kemaksiatan. Api neraka itu dinyalakan dengan jasad orang-orang kafir dan bebatuan yang membara. Yang mengazab para penghuninya adalah para malaikat yang bengis dan perkasa, dan tidak menyelisihi perintah Allah.” (QS. At-Tahrim: 6) Pernyataan di atas secara implisit menejelaskan mengenai tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya. Bersamaan dengan hal tersebut, banyak hadist yang mengisyaratkan mengenai tanggung jawab orangtua terdapat pendidikan anaknya, diantaranya ialah:

”Telah bercerita kepada kami 'Abdul Malik bin 'Umair aku mendengar 'Amru bin Maimun Al-Audiy berkata: Sa'ad biasa mengajarkan anak-anaknya kalimat-kalimat (bacaan do'a) sebagaimana seorang guru mengajarkan anak-anak kecil menulis dan berkata; "Sesungguhnya Rasulullah Saw berlindung dengan membaca kalimat-kalimat tersebut pada akhir Sholat (yaitu): "Allahumma Innii A'uudzu Bika Minal Jubni Wa A'uudzu Bika An Uradda Ilaa Ardzalil 'Umuri Wa A'udzu Bika Min Fitnatid Dunya Wa A'uudzu Bika Min 'AdzaabilQobri" ("Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada serendah-rendahnya usia (pikun) dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa qubur") Lalu aku ceritakan hal ini kepada Mush'ab dan dia membenarkannya.” (HR. Bukhari No. 2610).

Berangkat dari firman Allah SWT dan hadist di atas, maka digambarkan dengan sangat jelas bahwa orangtua berperan penting dalam memberikan pendidikan untuk anak-anaknya. Arief dalam Nurhadi [20] mengatakan bahwa orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya, karena dari merekalah anak mulai menerima didikan. Pernyataan tersebut sangat sesuai dengan kondisi saat ini, di manadengan sekolah diliburkan dan mengharuskan anak untuk belajar di rumah, membuka kesempatan lebih luas bagi para orangtua untuk terlibat lebih jauh dalam pendidikan anak-anaknya. Pernyataan tersebut berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown, Doom, Peria, Watamura dan Kopples [6] yang menemukan fakta bahwa kontrol dan dukungan orangtua merupakan intervensi yang baik untuk mengurangi tingkat stres anak di masa pandemi COVID-19. Tidak hanya itu penelitian yang dilakukan oleh Prime, Wade, dan Browne [6];[24] menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua yang menekankan pada kepercayaan, hubungan dekat dan ketersediaan orangtua kepada anak dapat menurunkan tingkat stres anak dalam menghadapi situasi yang serba menekan di tengah pandemi COVID-19.

Keterlibatan orangtua dalam pengaplikasian komponen SEL tersebut dapat dimulai dengan keikutsertaan mereka dalam mendampingi anak-anak belajar di rumah. Dhia [10] menyebutkan bahwa kondisi yang mengharuskan untuk menjaga jarakmerupakan waktu yang tepat untuk membangun keintiman dan bounding antara anak dan orangtua, sehingga diharapkan dengan adanya kolaborasi antara anak dan orangtua akan dapat membuat anak lebih tangguh dalam menghadapi stres di masa pandemi COVID-19. Dilansir dari situs American Psychological Asociation [2] dikatakan juga bahwa selama pandemi COVID-19 ini orangtua hendaknya lebih aktif dalam membangun hubungan yang hangat, dikarenakan di masa pandemi anak-anak kurang melakukan interaksi dengan orang luar. Lebih lanjut masih dilansir dari AmericanPsychological Association [3] orangtua juga harus lebih mengerti kondisi emosional dan menaruh empati pada anak, serta mengajarkan anak untuk lebih bersyukur dan memaknai hidup. Berdasarkan pemaparan di atas dan bukti-bukti penelitian terdahulu, diharapkan dengan menerapkan seluruh komponen metode SEL secara optimal dan dilengkapi dengan penggunaan media digital dapat meningkatkan motivasi dan semangat siswa dalam kegiatan belajar mengajar, yang pada akhirnya dapat meminimalisir tingkat stres akademik yang dialami siswa-siswi di tengah pandemi COVID-19 yang saat ini sedang melanda Indonesia bahkan dunia.

Kesimpulan

Pandemi COVID-19 membuat sistem belajar mengajar berubah dari luring menjadi daring. Perubahan tersebut berdampak pada tingkat stres yang dialami oleh siswa, sehingga perlu adanya satu cara untuk meminimalir peningkatan angka persentase stres akademik. Oleh karena itu, melalui penerapan model pembelajaran SEL dalam aktivitas belajar-mengajar siswa diharapkan dapat menekan angka stres akademik siswa. Oleh sebab itu, guru diharapkan dapat menyisipkan program SEL di dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan serta menggunakan media-media interaktif yang dapat mendukung suasana belajar menyenangkan. Sementara itu, orangtua pun penting untuk ikut terlibat di dalam kegiatan belajar anak, sehingga dapat mengerti kondisi dan tantangan yang harus dihadapi anak sebagai seorang siswa.

Ucapan Terimakasih

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak Prodi Magister Psikologi Profesi UII yang telah memberikan pendanaan dalam proses penulisan ini sejak awal hingga akhir. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Hariz Enggar Wijaya selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama proses penulisan paperini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak yang terlibat yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

References

  1. Alvin, N. (2007). Handling Study Stress: panduan agar anda bisa belajar bersama anak-anak anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
  2. American Psychological Association (2020). Fostoring children’s emotional well-being during covid-19. Diakses 20 September 2020, dari APA: https://www.apa.org/topics/covid-19/parenting-caregiving/academic-progress-covid-19
  3. American Psychological Association (2020). What is social-emotional learning. Diakses 20 September 2020, dari APA: https://www.apa.org/ed/schools/teaching-learning/top-twenty/badges/social-emotional-learning
  4. Angraini, D. V. (2018). Faktor Penyebab Stres Akademik pada Siswa. Yogyakarta: Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
  5. Belfield, C., Bowden, B., Klapp, A., & Levin, H. M. (2015). The economic value of social and emotional learning. Journal of Benefit-Cost Analysis, 6(3), 508–544.
  6. Brown, S. M., Doom, J. R., Peria, S. L., Watamura, S. E., & Kopples, T. (2020). Child abuse and neglect. Elsevier, xxx(XXXX), 1-14.
  7. CASEL. (2015). Effective Social and Emotional Learning Programs. Chicago: CASEL.
  8. Chee, C. L., Shorty, G., Sharon, E., & Kurpius Robinson. (2019). Academic stress of native amarican undergraduates: the role of ethnic identity, culture congruity, and self- belief. American Psychological Assosiation: Journal of Diversity in Higher Education, 12(1), 65-73.
  9. Dewi, W. A. F. (2020). Dampak covid-19 terhadap implementasi pembelajaran daring di sekolah dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 55-61.
  10. Dhia, D. (2020). Gsm ajak guru dan orangtua pahami emosi anak ketika di rumah. Diakses 19 September 2020, dari Gerakan Sekolah Menyenangkan: https://www.sekolahmenyenangkan.org/gsm-ajak-guru-dan-orang-tua-pahami-emosi-anak-ketika-di-rumah/
  11. Greenberg, M. T., Weissberg, R. P., O’Brien, M. U., Zins, J. E., Fredericks, L. & Rensik, H., Elias, M. J. (2003). Enhancing social and emotional learning school-based prevention and youth development thorough coordinate social, emotional, and academic learning. American Psychological Association: American Psychologist, 58(6/7), 466-474.
  12. Haleludin & Alamsyah. (2019). Kajian konseptual tentang social-emotional learning (sel) dalam pembelajaran bahasa. Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan, 11(1), 1-16.
  13. Harsono, F. H. (2020). Survey kpai: belajar di rumah selama covid-19 bikin anak stres dan lelah. Diakses 18 September 2020 dari Liputan 6: https://www.liputan6.com/health/read/4251622/survei-kpai-belajar-di-rumah-selama-covid-19-bikin-anak-stres-dan-lelah
  14. Heiman & Kariv. 2005. Task-Oriented versus emotion oriented coping srategies: the case of college students. College Student Journal, 39 (1), 72-89.
  15. Iaosanurak, C., Chanchalor S. & Elizabeth M. (2015). Social and emotional learning around technology in a cross-cultural, elementary classroom. Educ Inf Technol DOI 10.1007/s10639-015-9406-4. Diakses 3 Oktober 2020, dari Reseach Gate: https://www.researchgate.net/publication/277349492_Social_and_emotional_learning_around_technology_in_a_cross-cultural_elementary_classroom
  16. Is, W. I., & Matters, W. I. (2019). Social-emotional learning. USA: Committee for Children.
  17. Liu, X., dkk. (2005). Brief reports: an epidemiologic survey of the prevalence of sleep disorder among children 2 to 12 years in Beijing. Pedriatrics, 115(1), 266-268.
  18. Luo, Y., Deng, Y., & Zhang, H. (2020). The influences of parental emotional warmth on the association between perceived teacher-student relationship and academic stress among middle school students in China. Elsevier: Children and Youth Services Review, 114(105014), 1-8.
  19. Muttaqin, H. (2017). Pengalam Hidup Manusia. Skripsi : Fakultas Dakwah Universitas UIN Walisongo.
  20. Nurhadi. (2019). Pendidikan keluarga perspektif hadist Nabi Muhammad SAW. Insania, 24(1), 1-34.
  21. Nurmaliyah, F. (2014). Menurunkan stres akademik siswa dengan menggunakan teknik self-instruction. Jurnal Pendidikan Humaniora, 2(3), 273-282.
  22. Osofsky, J. D., Osofsky, H. J. & Mamon, M. Y. (2020). Psychososial and social impact of covid-19. American Psychological Association: Psychological Trauma: Theory, Research, Practice and Policy, 12(5), 468-469.
  23. Papalia, D. E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human development. Jakarta: Kencana.
  24. Prime, H., Wade, M., & Browne, D. T. (2020). Risk and resilience in family well-being during the covid-19 pandemic. American Psychological Association: American Psychologist, 75(5), 631-643.
  25. Pujiastuti, S. (2020). Dampak covid-19 terhadap pendidikan anak. Diakses 18 September 2020, dari SurveyMeter: https://surveymeter.org/id/node/568
  26. Purna, R.S. (2020). Pengembangan social emotional learning (sel) di sekolah. e-Jornal Mercubuana, 1(1), 409-416.
  27. Rahmawati, W. K. (2017). Efektivitas Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Menangani Stres Akademik Siswa. Jurnal Konseling Indonesia, 2(1), 15-21.
  28. Strak, A. M., White, A. E., Rotter, N. S., & Basu, A. (2020). Shifting from survival to supporting resilience in children and families in the covid-19 pandemic: Lessons for informing u.s mental health priorities. American Psychological Association: Psychological Trauma: Theory, Reseacrh, Practice and Policy, 12(S1), 133-135.