Mental health problems in Indonesia are still not widely handled. Students are considered to be a segment that is prone to mental health problems because they are experiencing various changes and role transitions towards maturity. Untreated mental health problems will result in decreased productivity and barriers to achieving their potential, both for sufferers and their families. One of the things that affects the management of mental health problems is the behavior of seeking psychological help, in which many people do not know where to get psychological help and there are various psychological barriers to seeking help. This study aims to determine the behavior of seeking psychological assistance among students of the Sultan Agung Islamic University class of 2018, a total of 692 people obtained through cluster sampling. This research instrument is a questionnaire which aims to find out 1) what is done for the first time when facing a problem, 2) a figure who is asked for help when facing a problem, 3) knowledge of where to meet a psychologist, and 4) a willingness to tell a problem to a psychologist. The results of the descriptive analysis showed that 38.1% of respondents tried to solve the problems themselves, the figures who were asked for the most help were family, close friends, and Allah / ustadz, 67.3% of respondents did not know where to find a psychologist, and 43% of respondents hesitated to share the problem with a psychologist.
Hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan gangguan jiwa di Indonesia sejak tahun 2013 lalu. Prevalensi nasional skizofrenia/psikosis adalah 7% per mil, dengan prevalensi tertinggi adalah 12,3% yaitu di Propinsi Bali, sedangkan untuk depresi adalah 6,1%, dan gangguan mental emosional adalah 9,8%, di mana dari seluruh penderita depresi yang mendapatkan pengobatan hanya 9% saja (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2018[6]. Data ini menunjukkan cukup tingginya masalah kesehatan mental di Indonesia dan rendahnya angka mereka yang mencari bantuan psikologis. Penelitian lain menunjukkan bahwa hanya 30-35% orang dengan masalah kesehatan mental yang mencari bantuan dari tenaga profesional. Bantuan informal seperti dari keluarga, teman, dan figur keagamaan juga sering menjadi pilihan tapi tidak banyak diteliti. Dari seluruh subjek, sekitar 40,1% mencari bantuan formal yang mana tiga per empatnya telah mencari bantuan informal juga, 33,6% hanya mencari bantuan informal, dan 26,3% tidak mencari bantuan. Setelah mengontrol variabel non klinis, tingkat keparahan, depresi, pikiran bunuh diri, keberfungsian dan lama gangguan berhubungan dengan pencarian bantuan formal daripada informal. Lebih lanjut, usia dan etnisitas mempengaruhi pilihan sumber informal. Orang yang lebih muda cenderung mencari bantuan informal dan orang yang lebih tua cenderung mencari bantuan dari keluarga [7].
Individu muda (remaja dan dewasa awal) seringkali berada dalam kondisi yang sulit dalam kaitannya dengan mencari bantuan untuk kesehatan mental. Hal ini karena dalam tahap perkembangan ini mereka masih bergantung pada orang dewasa tetapi pada saat yang sama mencari kebebasan, sehingga tidak ingin orangtua mereka mengetahui masalah yang mereka alami. Secara spesifik individu dalam tahap perkembangan ini cenderung mengalami emosi-emosi negatif seperti kecemasan, takut, atau malu tetapi di saat yang sama mereka kurang memiliki kompetensi emosi, mereka tidak tahu di mana bisa mencari bantuan, dan hal ini mengurangi kemauan mereka untuk mencari bantuan [18] . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku pencarian bantuan terhadap masalah psikologis yang dialami oleh mahasiswa. Hal ini penting untuk diketahui mengingat mahasiswa berada dalam tahap perkembangan dewasa awal yang merupakan tahap perkembangan unik di mana terjadi transisi antara remaja menuju ke dewasa, [5]. Mahasiswa merupakan segmen yang rentan mengalami masalah psikologis karena terjadinya transisi terhadap kehidupan di universitas dan perubahan peran dalam keluarga [16] . Lebih lanjut, penelitian menunjukkan bahwa masa dewasa awal merupakan puncak dari onset terjadinya gangguan jiwa, di mana individu yang akan mengalami gangguan jiwa akan mengalami onset pertamanya sebelum usia 25 tahun [11] . Penelitian lain menjelaskan bahwa lebih dari setengah mahasiswa mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental pada masa awal dan tindak lanjut dan mereka yang mengalami masalah kesehatan mental kurang dari setengah mendapatkan penanganan [21] . Lebih lanjut, sepertlima (20,3%) mahasiswa memiliki gangguan selama 12 bulan menurut DSM-IV/CIDI, di mana 83,1% terjadi pada onset sebelum kuliah, dari semua mahasiswa yang mengalami masalah psikologis hanya 16,4% yang mendapatkan penanganan medis untuk masalah kesehatan mentalnya [2].
Berbagai penelitian di atas menunjukkan bahwa tingginya masalah kesehatan mental pada mahasiswa tidak dibarengi dengan perilaku mencari bantuan psikologis profesional. Hal ini karena mencari bantuan bukanlah proses sederhana yang sekedar menggambarkan seseorang yang mengalami masalah psikologis lalu mencari bantuan. Meskipun kesadaran akan masalah merupakan titik awal, gejala gangguan kesehatan mental memainkan peran yang lebih kecil dalam membuat seseorang memutuskan akan mencari atau tidak bantuan psikologis [18] . Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pencarian bantuan seperti kesediaan mencari bantuan dan norma sosial yang mendorong perilaku tersebut, akses terhadap layanan, dan memilih sumber bantuan [20]. Penelitian tentang perilaku mencari bantuan psikologis telah dimulai sejak lama. Sikap mencari bantuan psikologis didefinisikan sebagai berikut (a) persepsi pengakuan kebutuhan akan bantuan psikologis profesional, (b) toleransi terhadap stigma yang berhubungan dengan pencarian bantuan psikologis, (c) keterbukaan seseorang terkait permasalahan yang dialami, (d) kepercayaan terhadap kemampuan layanan psikologi profesional untuk memberikan bantuan [9];[10].
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2018 dari seluruh fakultas yang ada di Universitas Islam Sultan Agung. Jumlah populasi adalah 2756, kemudian dari masing-masing fakultas diambil 30% dari jumlah total mahasiswa melalui metode cluster proportionate sampling sehingga didapatkan jumlah responden yang adalah 800 orang. Kuesioner dengan empat buah pertanyaan yaitu 1) Hal yang dilakukan pertama kali saat menghadapi permasalahan dengan pilihan jawaban: a) mencoba menyelesaikan sendiri, b) meminta bantuan pada keluarga/teman dekat, c) berdoa (diizinkan memilih lebih dari 1), 2) Figur yang dimintai bantuan saat menghadapi permasalahan dengan pilihan jawaban: a) profesional psikiater/psikolog, b) ustadz/kiyai, c) lainnya (boleh memilih lebih dari 1), 3) Apakah mengetahui di mana dapat bertemu psikolog (jawaban ya dan tidak, jika ya sebutkan di mana), dan 4) Kesediaan menceritakan masalah pada psikolog (pilihan jawaban a) ya, b) tidak, dan c) ragu-ragu). Analisis data yang dilakukan adalah analisis statistik deskriptif
Terdapat 692 mahasiswa angkatan 2018 yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Keterangan | Jumlah | |
Usia | ||
15-20 | 664 | |
21-25 | 28 | |
Jenis Kelamin | ||
Perempuan | 486 | |
Laki-laki | 206 | |
Fakultas | ||
Ekonomi | 192 | |
Bahasa dan Ilmu Komunikasi | 45 | |
Ilmu Keperawatan | 44 | |
Kedokteran | 92 | |
Kedokteran Gigi | 28 | |
Hukum | 93 | |
Keguruan dan Ilmu Pendidikan | 40 | |
Teknologi dan Informasi | 42 | |
Agama Islam | 49 | |
Teknik | 67 | |
Tempat Tinggal | ||
Tidak menjawab | 10 | |
Asrama | 19 | |
Kontrak | 38 | |
Kos | 376 | |
Rumah sendiri | 210 | |
Pesantren | 6 | |
Lainnya | 33 | |
Total | 692 |
Berdasarkan hasil analisis data didapatkan hasil sebagai berikut:
Jawaban | Frekuensi | Persen (%) |
Mencoba menyelesaikan sendiri dan berdoa | 264 | 38,1 |
Mencoba menyelesaikan sendiri | 152 | 22,0 |
Mencoba menyelesaikan sendiri dan meminta bantuan pada keluarga/teman dekat | 111 | 16,0 |
Meminta bantuan pada keluarga/teman dekat dan berdoa | 81 | 11,7 |
Berdoa | 35 | 5,1 |
Meminta bantuan pada keluarga/teman dekat | 39 | 5,6 |
Mencoba menyelesaikan sendiri, meminta bantuan pada keluarga/teman dekat, dan berdoa | 6 | 0,9 |
Tidak menjawab | 4 | 0,6 |
Jawaban | Frekuensi | Persen (%) |
Lainnya | 405 | 58,5 |
Ustadz/kiyai | 103 | 14,9 |
Psikiater/psikolog | 86 | 12,4 |
Psikiater/psikolog dan ustadz/kiyai | 35 | 5,1 |
Ustadz/kiyai dan lainnya | 31 | 4,5 |
Psikiater/psikolog dan lainya | 17 | 2,5 |
Tidak menjawab | 15 | 2,2 |
Jawaban | Frekuensi | Persen (%) |
Sumber keagamaan | ||
Allah | 48 | 9,1 |
Beribadah (doa, sholat) | 10 | 1,9 |
Konsultasi pada ustadz | 1 | 0,2 |
Total | 59 | 11,2 |
Teman | ||
Teman | 93 | 17,7 |
Teman dekat | 94 | 17,9 |
Pacar | 5 | 1,0 |
Orang terdekat | 20 | 3,8 |
Total | 212 | 40,4 |
Keluarga | ||
Keluarga | 118 | 22,5 |
Orangtua | 116 | 22,1 |
Kakak | 5 | 1,0 |
Saudara | 11 | 2,1 |
Keluarga dekat | 4 | 0,8 |
Total | 254 | 48,4 |
Jawaban | Frekuensi | Persentase |
Ya | 212 | 30,6 |
Tidak | 466 | 67,3 |
Tidak menjawab | 14 | 1,9 |
Jawaban | Frekuensi |
Fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, rumah sakit jiwa, klinik) | 73 |
Fakultas psikologi/sekolah (BK) | 27 |
Aplikasi/daring(halodoc, riliv, ibunda, lift up) | 18 |
Biro psikologi | 18 |
Jawaban | Frekuensi | Persentase |
Ya | 319 | 46,1 |
Ragu-ragu | 298 | 43 |
Tidak | 69 | 10 |
Tidak menjawab | 6 | 0,9 |
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku mencari bantuan pada mahasiswa. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa pada Tabel 2, hal pertama yang akan dilakukan subjek saat memiliki permasalahan adalah mencoba menyelesaikan sendiri dan berdoa, kedua mencoba menyelesaikan sendiri, dan ketiga juga mencoba menyelesaikan sendiri dan meminta bantuan pada keluarga/teman dekat. Setelah itu, pada urutan keempat hingga keenam adalah adalah meminta bantuan pada keluarga/teman dan berdoa. Dari sini dapat dilihat bahwa pilihan pertama subjek saat menghadapi masalah adalah mencoba menyelesaikannya sendiri. Hal ini mungkin terjadi akibat tahap perkembangan subjek yang berada dalam tahap dewasa awal, di mana otonomi atau kemandirian menjadi isu sentral. Lebih lanjut, secara spesifik, dua kriteria utama transisi ke masa dewasa menurut banyak penelitian adalah menerima tanggung jawab bagi diri sendiri dan membuat keputusan secara mandiri. Kedua hal ini menggambarkan karakter utama dewasa awal yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri [4]. Dalam kaitannya dengan pencarian bantuan untuk kesehatan mental, hal ini perlu menjadi pertimbangan di mana layanan kesehatan mental perlu memperhatikan kebutuhan akan kemandirian ini, terutama dalam hal kebebasan menentukan perilaku mencari bantuan dan memilih sumber bantuan yang tersedia.
Di sisi lain, meski kemandirian di masa dewasa awal ini merupakan karakter utama, dalam konteks pencarian bantuan psikologis, hal ini bisa dianggap sebagai hambatan untuk mencari bantuan psikologis. Ada banyak alasan mengapa remaja dan dewasa awal berpikir mereka tidak memerlukan bantuan, salah satunya adalah pikiran bahwa mereka bebas mandiri, tidak bergantung pada bantuan profesional. Pikiran bahwa bahwa mereka bisa atau harus menyelesaikan masalah mereka sendiri menjadi hambatan penting bagi remaja dan dewasa awal untuk mencari bantuan psikologis [18]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan kemandirian yang lebih tinggi berhubungan dengan rendahnya niatan mencari bantuan kesehatan mental profesional [21] .
Selanjutnya, dapat dilihat bahwa berdoa juga menjadi salah satu pilihan bantuan utama. Hal ini cukup wajar mengingat Indonesia, terutama di Kota Semarang, Jawa Tengah adalah daerah yang menekankan `nilai serta praktik keagamaan. Hal ini juga ditemukan oleh Al-Krenawi et al.,[1] di mana sebagian besar responden mahasiswa muslim di Uni Emirat Arab meminta bantuan pada Tuhan melalui doa saat mengalami distres psikologis. Demikian pula pada responden muslim Arab di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa berdoa atau ibadah merupakan sumber kenyamanan [12] . Pada individu dewasa dari Amerika Latin partisipan cenderung melakukan strategi koping yang sesuai dengan praktik keagamaan mereka, juga lebih memilih layanan konseling relijius yang sesuai dengan kepercayaan agama mereka dan melengkapi cara koping terhadap kesulitan [15]. Lebih lanjut, relijiusitas di masa dewasa awal memang berhubungan dengan meningkatnya kesehatan mental, di mana beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara relijiusitas dengan penggunaan alkohol, di mana relijiusitas yang tinggi mengurangi risiko penggunaan alkohol sehingga dapat dipertimbangkan menjadi salah satu program prevensi untuk dewasa awal terutama dalam konteks berbasis agama [13];[14];[17] .
Ketiga, selain mencoba menyelesaikan sendiri dan berdoa, meminta bantuan pada keluarga/teman dekat menjadi pilihan ketiga. Alasan lain mengapa remaja dan dewasa awal berpikir bahwa penanganan professional tidak diperlukan adalah karena mereka percaya mencari bantuan informal dari sumber seperti teman dan keluarga itu memadai, di mana dewasa ini mulai dikenali bahwa ada tahapan pencarian bantuan untuk masalah psikologis, dimulai dari mengakses bantuan dari sumber informal [18] .
Lebih lanjut, pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa figur yang dimintai bantuan saat menghadapi permasalahan, jawaban terbanyak adalah figur lainnya, diikuti ustadz/kiyai, lalu psikiater/psikolog. Dalam kategori figur lain di Tabel 4, yang terbanyak adalah keluarga, terutama orangtua kemudian diikuti dengan teman, dan sumber keagamaan dalam hal ini Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa lagi-lagi figur religius dan keluarga menjadi rujukan utama pencarian bantuan saat subjek menghadapi masalah. Hal ini juga ditemukan pada penelitian di Australia, di mana orang dengan common mental disorder (gangguan mental umum) seperti stres, cemas, dan depresi melaporkan bahwa mereka lebih mungkin mencari bantuan dari pasangan intim atau teman, meski dalam penelitian ini para responden cenderung enggan mencari bantuan dari keluarga atau layanan kesehatan mental. Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan peran keluarga dan dukungan informal lain dalam perilaku mencari bantuan. Lebih lanjut, hasil juga menunjukkan niatan mencari bantuan dari keluarga berhubungan signifikan dengan niatan yang lebih tinggi untuk mencari bantuan dari layanan kesehatan mental [21] . Hasil penelitian di Italia pada mahasiswa menggunakan General Help-Seeking Questionnaire menunjukkan bahwa sumber bantuan yang paling utama adalah teman, kemudian ayah atau ibu, pasangan, psikolog, dan psikiater, 55% responden memiliki keinginan untuk mencari bantuan formal maupun informal, meski hanya 5% yang memiliki keinginan untuk mencari bantuan formal [8] .
Pada Tabel 5, dapat dilhat bahwa sebagian besar subjek (67,3%) tidak mengetahui di mana bisa bertemu psikolog, lalu pada Tabel 6 bagi yang menjawab mengetahui di mana bisa bertemu psikolog, paling banyak menjawab fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, RSJ, dan klinik). Hal ini menunjukkan rendahnya literasi kesehatan mental pada subjek dalam penelitian ini, di mana sebagian besar tidak mengetahui di mana dapat mengakses layanan kesehatan mental. Terakhir, pada Tabel 7, dapat dilihat pula bahwa yang bersedia menceritakan masalah pada psikolog adalah 46,1%, sementara 43% ragu-ragu, dan 10% tidak bersedia. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki pengetahuan yang minim tentang layanan psikologis yang dapat mereka akses dan cenderung ragu atau tidak bersedia untuk meminta bantuan pada psikolog. Selain itu, hal ini juga menunjukkan rendahnya sikap positif terhadap mencari bantuan psikologis subjek dalam penelitian ini. Hal ini juga ditemukan di penelitian yang lain di mana para anak muda Asia Amerika juga enggan mencari bantuan psikologis profesional atas masalah kesehatan mental yang dialami dan mereka memilih mencari bantuan dari dukungan personal seperti teman dekat, orang lain yang signifikan, dan komunitas keagamaan, lebih lanjut para responden juga menyatakan bahwa budaya Asia tidak menganggap masalah kesehatan mental penting dan stigma yang terasosiasi dengan mencari bantuan profesional membuat mereka enggan mencari bantuan [12].
Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan rendahnya literasi kesehatan mental mahasiswa terutama terkait dengan mencari bantuan psikologis, sebagian besar responden tidak mengetahui di mana dapat mendapatkan layanan psikologis dan juga enggan menceritakan masalah mereka kepada psikolog. Di sisi lain, sebagian besar subjek menunjukkan adanya otonomi dalam menyelesaikan permasalahan mereka yang menjadi ciri tahap perkembangan dewasa awal, diikuti dengan mencari bantuan religius melalui berdoa, dan mencari bantuan informal dari keluarga atau teman. Secara umum, hasil ini juga merefleksikan temuan-temuan sebelumnya terkait pencarian bantuan psikologis pada masyarakat minoritas di Amerika Serikat. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan rendahnya kecenderungan mencari bantuan psikologis pada budaya Asia, terutama pada masyarakat muslim. Pertama, pada banyak budaya di luar barat ada stigma yang kuat terkait dengan kesehatan mental dan penanganan terhadap gangguan kejiwaan, kedua masalah kesehatan mental dianggap berhubungan dengan rendahnya iman, kesurupan roh, karma, dan gangguan setan sehingga membuat keluarga maupun individu menghindari mencari bantuan untuk masalah psikologis mereka, ketiga adanya ikatan yang kuat antara individu dan keluarga dalam budaya Asia membuat individu khawatir masalahnya akan mempermalukan keluarga atau menunjukkan pada orang lain bahwa ia tampak lemah, keempat rendahnya kesadaran komunitas dalam budaya tersebut terkait dengan masalah kesehatan mental [3];[12].
Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya psikoedukasi terkait dengan literasi kesehatan mental pada mahasiswa di Universitas Islam Sultan Agung, terutama terkait dengan opsi layanan psikologis yang tersedia dan mudah diakses. Kedua diperlukan juga psikoedukasi tentang berbagai permasalahan psikologis, deteksi dini gangguan psikologis, sehingga para mahasiswa mengetahui kapan mereka memerlukan layanan psikologis. Ketiga perlu informasi terkait dengan prosedur penanganan yang dilakukan oleh profesional kesehatan mental, bentuk layanan, dan bagaimana meminta bantuan pada psikolog dapat membantu mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku mencari bantuan psikologis pada mahasiswa UNISSULA. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum subjek dalam penelitian ini cenderung ingin berusaha menyelesaikan sendiri dan berdoa saat menghadapi permasalahan, lebih lanjut figur yang mereka mintai bantuan paling banyak adalah keluarga, teman, dan Allah/ustadz (figur keagamaan), sebagian besar tidak mengetahui di mana bisa menemui psikolog, dan sebagian besar ragu-ragu untuk menceritakan permasalahannya pada psikolog.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada LPPM Unissula atas dana hibah yang diberikan dan para asisten mahasiswa yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.