Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.612

The Effects of Forgiveness and Self-Acceptance on the Meaning of Life in Early Adult Individuals with Divorced Parents


Pengaruh Pemaafan dan Penerimaan Diri terhadap Makna Hidup pada Individu Dewasa Awal yang Memiliki Orang Tua Bercerai

Universitas Islam Indonesia, Sleman
Indonesia
Universitas Islam Indonesia, Sleman
Indonesia
Universitas Islam Indonesia, Sleman
Indonesia
Universitas Islam Indonesia, Sleman
Indonesia
Forgiveness Self-Acceptance Meaning of Life Divorced Parents

Abstract

The condition of an individual who has divorced parents will affect the meaning of his life. The mean of individuals who live with divorced parents can be influenced by how individuals forgive and accept their circumstances. This study aims to look at the relationship of forgiveness, self-acceptance of the meaning of life in individuals who have divorced parents. The sample of this study was 53 individuals with divorced parents. The researcher using a scale of self-acceptance, a forgiveness scale, and a scale of the meaning of life. The research hypotheses are: (1) there is an effect of self-acceptance on the meaning of life, (2) there is an effect of forgiveness on the meaning of life, and (3) there is an effect of self-acceptance and forgiveness simultaneously on the meaning of life. The results of this study are that there is an effect of forgiveness on the meaning of life and simultaneously with self-acceptance it affects the meaning of life of individuals who have divorced parents. This research is expected to be a reference for scientific studies on individuals who have divorced parents.

Pendahuluan

Perceraian orang tua dapat dinilai sebagai salah satu peristiwa hidup yang paling menegangkan hingga memunculkan trauma bagi kedua orang tua maupun anak. Bahkan hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hubungan keluarga hingga dua dekade [2]. Perceraian di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat, menurut Badan Pusat Statistik (2018) kasus perceraian di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2018 tercatat ada 408.202 kasus, atau meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Dilansir dari Merdeka.com [26] bahwa pada tahun 2019, angka perceraian di Indonesia terkhusus untuk yang beragama Islam, mencapai 480.618 kasus, sementara pada 2020, per Agustus 2020 telah terdapat 306.688. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah perceraian di Indonesia rata-rata mencapai seperempat dari dua juta jumlah peristiwa pernikahan dalam satu tahun sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa perceraian masih rentan terjadi di Indonesia. Perceraian tentunya memiliki dampak terhadap anak. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa anak yang tumbuh dewasa akan mengembangkan mekanisme koping yang tidak sehat untuk mengurangi rasa sakit akibat perceraian orang tua atau melakukan self-harm [17]. Kemudian juga ketika individu semakin dewasa akan mengalami kesulitan atau ketakutan terkait pernikahan [21] dan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami perceraian juga ketika menikah [3]. Dampak besar lainnya dari perceraian diantaranya dapat memicu tekanan, stres bahkan depresi sehingga hal tersebut menimbulkan perubahan dari sisi psikologis maupun fisik [10], juga akan berdampak pada kepercayaan anak, memunculkan rasa tidak aman, dan ketidakstabilan dalam diri (Pickhardt, 2011), selain itu juga munculnya masalah perilaku, dan kemampuan sosial yang rendah (Fabricius & Luecken, 2007), serta konsep diri yang buruk (Culpin et al., 2013).

Dampak negatif secara psikologis yang ditimbulkan dari kondisi keluarga yang bercerai yaitu perasaan malu, rendah diri, sensitif serta sulit menerima dirinya sendiri, dan menarik diri dari lingkungan [25]. Bukan hanya secara psikologis, namun perceraian orang tua dapat meningkatnya kenakalan pada anak ketika tumbuh dewasa. Kenakalan yang dimaksud salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol dan merokok [19], bahkan melakukan pelanggaran norma hukum dan kejahatan seperti mengonsumsi narkotika hingga terlibat hubungan seks di luar nikah [30]. Perceraian orang tua juga dapat dapat mempengaruhi makna hidup pada diri individu. Musifuddin dan Aturrohmah [22] menyebutkan bahwa perceraian orang tua dapat membuat individu terkadang kehilangan makna atau tujuan hidupnya serta cenderung merasa hampa dan merasa kurang berarti. Kebermaknaan hidup seringkali didapatkan setelah melewati proses panjang dalam kehidupannya. Meskipun pada peristiwa perceraian orang tua, anak akan membutuhkan proses yang lama dalam menemukan makna hidupnya. Maryeni [20] menyebutkan bahwa 3 orang responden penelitiannya yang merupakan remaja dengan orang tua bercerai, telah mencapai tahap realisasi dari makna hidup. Indiwara dan Kasturi [16] menemukan bahwa meskipun perceraian orang tua menjadi suatu masa lalu yang tidak menyenangkan, individu masih memiliki kemungkinan untuk dapat belajar dari kesalahan dan mengambil hikmah, serta memiliki keinginan untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Bagi manusia, dapat merasa memiliki kehidupan yang bermakna merupakan suatu hal yang penting (Steger, Frazier, Oishi & Kaler, 2006). Menurut Frankl [12] makna hidup merupakan suatu hal yang bersifat personal, unik, dan dianggap penting sehingga memberikan nilai bagi individu itu sendiri. Aspek dari kebermaknaan hidup menurut Steger, dkk (2004) ialah penemuan makna atau kehadiran makna dan pencarian makna. Pencarian makna berkaitan dengan kesungguhan seseorang dalam mencari makna hidup yang lebih besar, sedangkan penemuan atau kehadiran makna berkaitan dengan persepsi individu mengenai arti kehidupan yang telah ditemukan. Kehadiran makna hidup sangat penting untuk membantu seseorang merasa puas dalam hidupnya (Steger dkk, 2004). Makna hidup yang dimiliki oleh setiap individu akan berbeda-beda meskipun individu tersebut memiliki suatu kondisi atau keadaan hidup yang sama dengan orang lain [29]. Oleh karena itu, walaupun terdapat beberapa anak yang sama-sama memiliki orang tua yang bercerai namun makna hidup yang dimiliki akan berbeda-beda. Kebermaknaan hidup dapat dicapai saat individu melakukan penerimaan diri, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dumaris & Rahayu [11] bahwa penerimaan diri berhubungan positif dengan kebermaknaan hidup. Selain itu penelitian Zhou & Xu [40] menyatakan bahwa penerimaan diri secara positif dapat memprediksi kebermaknaan hidup. Proses penerimaan diri pada individu yang memiliki orang tua bercerai tidak mudah karena orang tua yang memutuskan bercerai menjadi sisi negatif atau kekurangan dalam kehidupan individu tersebut tersebut [14]. Penerimaan diri oleh seseorang merupakan bentuk penerimaan secara utuh menerima dirinya dengan adanya kelebihan ataupun kekurangan pada dirinya untuk dapat mencapai suatu kebahagiaan [6]. Penerimaan diri juga merupakan sikap yang mencerminkan perasaan positif terhadap kenyataan yang ada pada dirinya sehingga mampu menerima kelemahan dan kelebihan yang dimiliki [9].

Bukan hanya penerimaan diri, penelitian yang dilakukan oleh Tongeren et al [36] menemukan faktor lain yang dapat mempengaruhi makna hidup, yaitu pemaafan. Yalcin dan Malkoc [39] juga menyebutkan bahwa memaafkan seseorang dalam hubungan interpersonal sangat penting, karena dengan merasa puas dengan hubungan dengan memaafkan, seseorang lebih mungkin untuk memiliki kebermaknaan hidup yang tinggi. Pada kasus perceraian umumnya anak akan sulit menerima kenyataan dan keadaan yang berubah pada keluarganya dengan menyalahkan orang tua terhadap rasa sakit yang timbul akibat perceraian. Pada kondisi tersebut anak perlu melakukan pemaafan pada kedua orang tuanya begitu juga dengan mengarahkan anak untuk memaafkan dirinya sendiri [32]. Pemaafan merupakan proses dimana seseorang bersedia untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan dari suatu hubungan interpersonal dengan menumbuhkan dan mengembangkan perasaan, pikiran maupun hubungan yang lebih positif dengan orang tersebut [23]. Pemaafan dapat berfungsi untuk kembali membangun komitmen dan kedekatan suatu hubungan dengan lawan konfliknya setelah peristiwa yang menyakitkan dengan cara menghilangkan motivasi negatif antar pribadi, mengurangi rasa dendam, keinginan untuk menghindari dan membantu individu untuk lebih bijak dalam bersikap [38]. Tongeren, dkk [36] menyebutkan bahwa proses untuk meningkatkan kembali kebermaknaan hidup, dapat dilakukan dengan memperbaiki hubungan melalui adanya pemaafan. Worhington Yalçın, İ., & Malkoç [39] menyebutkan bahwa sikap memaafkan dapat mempengaruhi kesehatan fisik, mental, relasi dan spiritual, serta meningkatkan kesejahteraan subjektif seseorang. Oleh karena itu, pentingnya juga peran pemaafan dalam menemukan makna hidup pada individu yang telah melewati peristiwa perceraian orang tuanya.

Pemaafan dan penerimaan diri ditemukan dibeberapa penelitian di atas dapat menjadi dua faktor yang mempengaruhi kebermaknaan hidup seseorang. Beberapa penelitian meneliti secara terpisah pengaruh kedua faktor tersebut terhadap makna hidup, terutama pada individu dewasa awal yang memiliki orang tua bercerai. Hal tersebut menjadikan peneliti ingin mengetahui pengaruh pemaafan dan penerimaan diri terhadap makna hidup. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dari penelitian ini penelitian meliputi: (1) ada pengaruh penerimaan diri terhadap makna hidup, (2) ada pengaruh pemaafan terhadap makna hidup, dan (3) ada pengaruh penerimaan diri dan pemaafan secara simultan terhadap makna hidup.

Metode Penelitian

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini merupakan 53 orang, yaitu 18 laki-laki dan 35 perempuan. Subjek tersebut memiliki rentang usia 18-29 tahun dengan orang tua yang telah bercerai. Tingkat pendidikan dari subjek, yaitu SMA, D1, D3, S1, dan S2.

Pengambilan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala untuk mengukur makna hidup, yaitu Meaning Life Questionnaire (MLQ) Scale dari Steger, Frazier, Oishi, dan Kaler (2006) dengan aspek search for meaning dan presence of meaning. Skala makna hidup tersebut telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia [11]. Kemudian, nilai reliabilitas alat ukur makna hidup dalam penelitian ini sebesar 0.879, artinya alat ukur tersebut memiliki reliabilitas yang tinggi. Pada skala penerimaan diri, yaitu Unconditional Self Acceptance Questionnaire (USAQ) disusun dari aspek yang dikemukakan oleh Chamberlain dan Haaga [8], yaitu individu menerima diri tanpa syarat, individu menyadari bahwa manusia memiliki kelemahan, inidvidu menyadari adanya hal positif dan negatif dalam diri, dan individu menyadari diri sebagai pribadi yang berharga. Skala penerimaan diri tersebut telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia [27]. Kemudian, nilai reliabilitas alat ukur penerimaan diri dalam penelitian ini sebesar 0.710, artinya alat ukur tersebut memiliki reliabilitas yang tinggi.

Pada skala pemaafan, yaitu hasil adaptasi dan modifikasi Heartland Forgiveness Scale berdasarkan aspek yang dikemukakan Thompson [35], yaitu pemaafan pada diri sendiri, pemaafan pada orang lain, dan pemaafan pada situasi. Skala pemaafan tersebut telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia [1]. Kemudian, nilai reliabilitas alat ukur pemaafan dalam penelitian ini sebesar 0.888, artinya alat ukur tersebut memiliki reliabilitas yang tinggi.

Analisis Data

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menguji variabel dan mengolah skor data yang bersifat numerik yang diperoleh dari partisipan [13]. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda. Metode tersebut digunakan setelah mengetahui hasil uji normalitas yang menunjukkan bahwa sebaran data normal. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat korelasi lebih dari dua variabel.

Hasil dan Pembahasan

Makna Hidup Penerimaan Diri Pemaafan
Kategori Total % Total % Total %
Sangat Rendah 10 18.9 11 20.8 11 20.8
Rendah 11 20.8 10 18.9 22 41.5
Sedang 14 26.4 13 24.5 10 18.9
Tinggi 8 15.1 11 20.8 10 18.9
Sangat Tinggi 10 18.9 8 15.1 11 20.8
Total 53 100 53 100 53 100
Table 1. Kategorisasi Subjek

Peneliti menemukan hasil yang menjelaskan sebaran persentase pada masing-masing variabel. Pada Table 1 diketahui bahwa kategorisasi subjek terkait makna hidup memiliki persentase 18.9% pada kategori sangat rendah, 20.8% pada kategori rendah, 26.4% pada kategori sedang, 15.1% pada kategori tinggi, dan 18.9% pada kategori sangat tinggi. Kemudian, Table 1 menjelaskan bahwa kategorisasi subjek terkait penerimaan diri memiliki persentase 20.8% pada kategori sangat rendah, 18.9% pada kategori rendah, 24.5% pada kategori sedang, 20.8% pada kategori tinggi, dan 15.1% pada kategori sangat tinggi. Sementara itu, pada Table 1 juga diketahui bahwa kategorisasi subjek terkait pemaafan memiliki persentase 20.8% pada kategori sangat rendah, 41.5% pada kategori rendah, 18.9% pada kategori sedang, 18.9% pada kategori tinggi, dan 20.8% pada kategori sangat tinggi. Berdasarkan beberapa tabel tersebut peneliti dapat mengetahui sebaran persentase pada setiap kategori di masing-masing variabel.

Kemudian, pada penelitian ini, peneliti melakukan beberapa uji asumsi, sebelum melakukan uji hipotesis menggunakan analisis regresi berganda. Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas, linearitas. heteroskedastisitas, dan multikolinearitas [18] Hasil uji asumsi dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga variabel penelitian, yaitu penerimaan diri, pemaafan, dan makna hidup berdistribusi normal, dengan p > 0.05, yaitu 0.2. Uji normalitas tersebut berfungsi untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual mempunya distrubusi normal sehingga apabila terjadi pelanggaran asumsi tersebut maka uji statistic menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil [18]. Pada uji linearitas, peneliti menemukan bahwa makna hidup dan penerimaan diri tidak memiliki hubungan linear yang signifikan dengan p > 0.05, yaitu 0.402. Akan tetapi, pada makna hidup dan pemaafan memiliki hubungan linear yang signifikan dengan p <0.05 yaitu 0.000.

Peneliti melakukan diagnosis collinearity, dan menemukan bahwa pemaafan dan penerimaan diri memiliki nilai Tolerance > 0.10 dan nilai VIF < 10.00 maka dapat diartikan bahwa tidak terjadi multikolinieritas pada data penelitian tersebut. Uji multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui apakah model regresi memiliki korelasi yang tinggi antar variabel independen [18]. Peneliti juga menemukan bahwa nilai Sig. antara pemaafan dan penerimaan dirip > 0.005 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala heteroskedastisitas pada data tersebut. Akan tetapi, pada penerimaan diri p < 0.005 maka dapat disimpulkan bahwa terjadi gejala heteroskedastisitas sehingga dapat diartikan bahwa data tersebut tidak memiliki varian yang sama. Selanjutnya, peneliti melakukan uji hipotesis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Pada penelitian ini, terdapat tiga hipotesis penelitian, meliputi a) H1 yaitu terdapat pengaruh penerimaan diri terhadap makna hidup, b) H2 yaitu terdapat pengaruh pemaafan terhadap makna hidup, dan c) H3 yaitu terdapat pengaruh penerimaan diri dan pemaafan secara simultan terhadap makna hidup.

ANOVA
t Sig. F Sig. R Square
Penerimaan Diri -3.061 .004 20.548 .000 .451
Pemaafan 6.301 .000 20.548 .000 .451
Table 2. Pengaruh Penerimaan Diri dan Pemaafan terhadap Makna Hidup

Pada pengujian hipotesis pada Tabel 2. dimana hipotesis pertama (H1), Sig. untuk pengaruh penerimaan diri terhadap makna hidup adalah sebesar 0.004 < 0.05 dan nilai t hitung -3.061 < t tabel 2.021, sehingga dapat disimpulkan bahwa H1 diterima, yaitu terdapat pengaruh variabel penerimaan diri terhadap makna hidup. Kemudian, pada pengujian hipotesis kedua (H2), Sig. untuk pengaruh pemaafan terhadap makna hidup adalah sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai t hitung 6.301 > t tabel 2.021, sehingga dapat disimpulkan bahwa H2 diterima, yaitu terdapat pengaruh variabel pemaafan terhadap makna hidup. Selanjutnya, pada Tabel 2. pengujian hipotesis ketiga (H3) diketahui nilai signifikansi untuk pengaruh pemaafan dan penerimaan diri secara simultan terhadap makna hidup adalah sebesar 0.000 < 0.05 dan nilai F hitung 20.548 > F tabel 3.18 sehingga dapat disimpulkan bahwa H3 di terima, yang artinya terdapat pengaruh penerimaan diri dan pemaafan secara simultan terhadap makna hidup. Pada Tabel 2. diketahui bahwa berdasarkan nilai R square sebesar 0.451, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh variabel penerimaan diri dan pemaafan secara simultan terhadap makna hidup sebesar 45.1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara pemaafan dan makna hidup individu dewasa awal dengan orang tua yang bercerai. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang telah mampu memaafkan dapat memiliki makna hidup meskipun dalam keadaan memiliki orang tua yang telah bercerai. Pada kasus perceraian, umumnya anak akan menyalahkan orang tua terhadap rasa sakit yang timbul akibat perceraian. Namun, menurut [32] pada kasus tertentu, anak juga menyalahkan diri sendiri dan bahkan menganggap dirinya sebagai bagian penyebab perceraian. Pada dasarnya, anak tidak hanya perlu melakukan pemaafan pada kedua orang tuanya, namun yang jauh lebih penting adalahmemaafkan dirinya sendiri. Melalui pemaafan, seseorang akan mampu mengurangi pikiran, perasaan dan perilaku negatif dalam diri dengan mengubah sudut pandangnya menjadi lebih positif baik secara kognitif, emosional maupun perilaku terkait pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu maupun masalah serupa yang terjadi saat ini [35], sehingga seseorang akan merasa lebih bermakna menjalani hidupnya [7].

Pemaafan dapat merubah persepsi, emosi, asosiasi mental, dan pemahaman akan makna dari peristiwa yang telah dialaminya [32]. Pemaafan dapat menjadi salah satu cara untuk memfasilitasi penyembuhan luka dalam diri seseorang dan antarpribadi yang bermusuhan dan menyakiti. Pemaafan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan makna dan tujuan hidup, spiritualitas danmoralitas dibandingkan dengan kesejahteraan [24]. Faktor yang dapat mempengaruhi pemaafan adalah tipe kepribadian, religiusitas, kualitas hubungan dengan orang tua serta rasa empati yang dimiliki oleh anak dari keluarga broken home [28]. Toussaint dan Webb [37] menyatakan bahwa memaafkan mampu memperbaiki kesehatan kesehatan mental maupun kesehatan secara spiritual. Kemudian, penerimaan diri juga berpengaruh secara signifikan terhadap makna hidup individu yang memiliki orangtua bercerai. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Satyaningtyas & Abdullah (2005) yang menyatakan bahwa penerimaan diri memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap makna hidup. Menurut Bastaman [4] penerimaan diri merupakan tahap awal agar individu dapat mengembangkan diri dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi bermakna dan merupakan tahap paling penting. Selain itu, da Silva dkk, (2018) menyampaikan bahwa dengan penerimaan diri seseorang akan lebih memperkecil peluangnya terkena stres dan menyadari kelebihan yang masih ada dalam diri. Individu dengan orang tua bercerai yang memiliki penerimaan diri akan berusaha menerima keadaanya dan berfokus terhadap potensi positif yang dimiliki tanpa harus berlarut-larut dalam kesedihan.

Individu yang mampu menerima dirinya maka individu tersebut akan mampu memandang diri secara realistis tanpa malu akan keadaanya, mengenali kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan dirinya, dan menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi yang berada di luar kendali individu tersebut (Nurviana dkk, 2011). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang mempengaruhi kebermaknaan hidup salah satunya adalah rasa penerimaan dirinya. Hal ini mengartikan bahwa semakin tinggi seseorang menerima kekurangan pada dirinya akan meningkatkan kebermaknaan hidup dalam dirinya [31]. Semakin baik penerimaan diri maka individu akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam memandang dan memahami keadaan dirinya (Sari, 2002). Selain itu, Hurlock [15] juga mengemukakan bahwa ketika seseorang menerima dirinya maka ia akan memiliki kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman.

Selain itu, penerimaan diri dan pemaafan secara simultan dapat mempengaruhi bagaimana makna hidup dari individu yang memiliki orang tua bercerai. Jika proses penerimaan diri dan pemaafan dilakukan secara bersamaan maka individu tersebut akan merasakan makna hidup yang lebih baik. Terdapat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemaafan dapat mempengaruhi makna hidup [34], begitu juga dengan penerimaan diri yang dapat mempengaruhi makna hidup [11]. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini menemukan hasil bahwa apabila pemaafan dan penerimaan diri dapat dilakukan secara bersamaan maka individu yang memiliki orang tua yang bercerai dapat lebih mudah untuk memaknai hidupnya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemaafan dan penerimaan diri memiliki pengaruh yang signifikan terhadap makna hidup pada individu dewasa awal dengan orang tua bercerai. Begitu juga jika dilihat pengaruhnya secara simultan, penerimaan diri dan pemaafan dapat secara simultan mempengaruhi makna hidup individu dewasa awal yang memiliki orang tua bercerai. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk meneliti lebih dalam faktor apa saja yang lebih besar dalam mempengaruhi makna hidup individu dengan orang tua yang bercerai. Selain itu juga jumlah partisipan dalam penelitian selanjutnya diharapkan akan lebih banyak daripada penelitian sebelumnya.

References

  1. Afifah, F. A. (2018). Hubungan Antara Pemaafan dengan Kebahagiaan pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan. Skripsi, tidak diterbitkan. Universitas Islam Indonesia.
  2. Ahrons, C. R. (2007). Family ties after divorce: Long-term implications for children. Family Process, 46(1), 53–65. https://doi.org/10.1111/j.1545-5300.2006.00191.x
  3. Amato, P. (1996). Explaining the intergenerational transmission of divorce. Journal of Marriage and Family, 58, 628–640. https://doi.org/10.2307/353723
  4. Bastaman, H. D. (1996). Meraih Hidup Bermakna Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina.
  5. Bernard, M. E. (2013). Introduction to The Strength of Self-Acceptance: Theory, Theology and Therapy. The Strength of Self-Acceptance. Theory, Practice and Research. New York: Springer.
  6. Bishop, A. J.. Randall, G. K., & Merten, M. J. (2014). Consideration of forgiveness to enhance the health status of older male prisoners confronting spiritual, social, or emotional vulnerability. Journal of Applied Gerontology, 33(8), 998–1017. DOI: 10.1177/0733464812456632.
  7. Chamberlain, J. M., & Haaga, D. A. F. (2001). Unconditional self-acceptance and psychological health. Journal of Rational Emotive & Cognitive Behavior Therapy, 19, 163–176. https://doi.org/10.1023/A:1011189416600
  8. Chaplin. J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Kartini Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  9. Dagun, S. M. (1990). Psikologi Keluarga (Peranan Ayah dalam Keluarga). Jakarta: Rineka Cipta.
  10. Delinda, D. T. (2018). Perilaku Prososial dan Kebermaknaan Hidup pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia. Skripsi, tidak diterbitkan. Universitas Islam Indonesia.
  11. Dumaris, S., & Rahayu, A. (2019). Penerimaan diri dan resiliensi hubungannya dengan kebermaknaan hidup remaja yang tinggal di panti asuhan. IKRAITH-HUMANIORA: Jurnal Sosial dan Humaniora, 3(1), 71-77.
  12. Frankl, V. E. (2004). Mencari Makna Hidup: Man's Search for Meaning. Bandung: Penerbit Nuansa.
  13. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2011). Research Methods for the Behavioral Sciences 4th ed. United States: Wadsworth, Cengage Learning.
  14. Hadyani, I. A., & Indriana, Y. (2017). Proses penerimaan diri terhadap perceraian orang tua. Jurnal Empati, 7(3), 303-312.
  15. Hurlock, E. B. (2010). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
  16. Indiwara, A. P., & Kasturi, T. (2019). Kebermaknaan Hidup Anak Korban Perceraian. Skripsi, tidak diterbitkan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  17. Jackson, L. J., & Fife, S. T. (2018). The impact of parental divorce: The relationship between social support and confidence levels in young adults. Journal of Divorce & Remarriage, 59(2), 123-140. https://doi.org/10.1080/10502556.2017.1402652
  18. Janie, D. N. A. (2012). Statistik Deskriptif & Regresi Linear Berganda dengan SPSS. Semarang: Semarang University Press.
  19. Kristjansson, A. L., Sigfusdottir, I. D., Allegrante, J. P., & Helgason, A. R. (2009). Parental divorce and adolescent cigarette smoking and alcohol use: assessing the importance of family conflict. Acta Paediatrica, 98(3), 537-542. https://doi.org/10.1111/j.1651-2227.2008.01133.x
  20. Maryeni, E. (2017) Makna Hidup pada Remaja Akhir Korban Perceraian. Skripsi, tidak diterbitkan. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
  21. Morrison, S. C., Fife, S. T., & Hertlein, K. M. (2017). Mechanisms behind prolonged effects of parental divorce: A phenomenological study. Journal of Divorce & Remarriage, 58(1), 44–63. https://doi.org/10.1080/10502556.2016.1262652
  22. Musifuddin, M., & Aturrohmah, A. (2019). Penggunaan logo-pro untuk meningkatkan makna hidup siswa broken home SMPN 1 Suralaga. JKP (Jurnal Konseling Pendidikan), 3(1), 30-39.
  23. Nashori, F. (2014). Psikologi Pemaafan. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
  24. Nashriyati, R. N., & Arjanggi, R. (2016). Peran pemaafan dan rasa syukur terhadap kesejahteraan spiritual pada santri remaja pondok pesantren. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 11(1), 77-92.
  25. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. Perkembangan Manusia. Ed. 10. Buku I. Jakarta: Salemba Humanika.
  26. Prihatin, I. U. (2020). Kemenag Sebut Angka Perceraian Mencapai 306.688 per Agustus 2020. Merdeka.com. https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenag-sebut-angka-perceraian-mencapai-306688-per-agustus-2020.html
  27. Rohma, N. A. (2019). Hubungan Penerimaan Diri pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Tingkat III Baladhika Husada Jember. Skripsi, tidak diterbitkan. Universitas Jember.
  28. Safitri, A. M. (2017). Proses dan faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja broken home. PSIKOBORNEO, 5(1), 152-161.
  29. Salikhova, N. R. (2014). Correlation of meaningfulness of life to psychological time in personality. Asian Social Science, 10(19), 291–295. https://doi.org/10.5539/ass.v10n19p291
  30. Saripuddin, M. (2009). Hubungan Kenakalan Remaja dengan Fungsi Sosial Keluarga. Jakarta: EGC.
  31. Setyaningtyas, R., & Abdullah, S. M. (2005). Penerimaan diri dan kebermaknaan hidup penyandang cacat fisik. Jurnal Psiko-Buana, 3(2), 1-13.
  32. Setyawan, I. (2007). Membangun Pemaafan pada Anak Korban Perceraian. Proceeding Konferensi Nasional 1 IPK-HIMPSI: Stress Management dalam Berbagai Setting Kehidupan. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/323497498
  33. Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2003). Introduction of a New Model of Forgiveness: Measurement & Intervention. U.S: University of Kansas.
  34. Steven, Y., & Sukmaningrum, E. (2018). Pemaafan pada istri dewasa muda yang suaminya pernah berselingkuh. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 5(1), 1-27. https://doi.org/10.24854/jpu12018-72
  35. Thompson, L. Y., Snyder, C. R, Hoffman, L., Michael, S. T., Rasmussen, H. N., Billings, L. S,...Roberts, D. E. (2005). Dispositional forgiveness of self, other, and situation. Journal of Personality, 73 (2), 313-359
  36. Tongeren, V. D. R., Green, J. D., Hook, J. N., Davis, D. E., Davis, J. L., & Ramos, M. (2015). Forgiveness increases meaning in life. Social Psychological and Personality Science, 6(1), 47-55.
  37. Toussaint, L., & Webb, J. R. (2005). Gender differences in the relationship between empathy and forgiveness. The Journal of Social Psychology, 145(6), 673–685. https://doi.org/10.3200/SOCP.145.6.673-686
  38. Tsang, J. A., McCullough, M. E., & Fincham, F. D. (2006). The longitudinal association between forgiveness and relationship closeness and commitment. Journal of Social and Clinical Psychology, 25(4), 448-472. https://doi.org/10.1521/jscp.2006.25.4.448
  39. Yalçın, İ., & Malkoç, A. (2014). The relationship between meaning in life and subjective well-being: Forgiveness and hope as mediators. Journal of Happiness Studies, 16(4), 915–929.
  40. Zhou, Y., & Xu, W. (2018). Short report: the mediator effect of meaning in life in the relationship between self-acceptance and psychological wellbeing among gastrointestinal cancer patients. Journal Psychology, Health, & Medicine, 24(6), 725-731. https://doi.org/10.1080/13548506.2018.1554252