Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.614

Social Support for Families Tested Positive for Covid-19


Dukungan Sosial Pada Keluarga yang Divonis Positif Covid-19

Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Pandemic Family Social Support

Abstract

The Covid-19 pandemic has led to changes in life in families and communities. Anxiety engulfs all elements of society, including those infected with the virus or positive for Covid-19. This study aims to find out how social support is for families who are tested positive for Covid-19. Using the phenomenological qualitative research method, the informants in this study were 11 people living in cities / districts in Central Java with the criteria of individuals who themselves or their families had tested positive for Covid-19. Data collection was carried out using an open questionnaire via google-form aimed at finding out how social support is to families who have received a positive Covid-19 verdict. Data analysis using content analysis. The research was completed on November 25, 2020, with the result that social support has an important role in helping strengthen families who have tested positive for Covid-19 in living their days, both morally and materially. In addition, forms of social support obtained from neighbors include emotional support (asking for news, giving encouragement), instrumental support (meeting basic needs, household needs and medicine), information support (disinfecting and closing road portals), and some tend to be indifferent. Meanwhile, forms of social support obtained from colleagues include a supportive attitude not to isolate and keep encouraging, help with administrative needs, provide logistical and financial assistance, and there are also those who have negative opinions regarding Covid-19 which causes hoaxes.

Pendahuluan

Epidemi penyakit coronavirus 2019 (Covid-19) di Cina adalah ancaman kesehatan global, dan sejauh ini merupakan wabah pneumonia atipikal terbesar sejak wabah sindrom pernapasan akut (SARS) parah pada tahun 2003. Dalam beberapa minggu setelah wabah awal, jumlah total kasus dan kematian dilaporkan melebihi SARS [6]. Wabah ini pertama kali terungkap pada akhir Desember 2019 ketika sekelompok kasus pneumonia etiologi yang tidak diketahui ditemukan terkait dengan paparan epidemiologis terkait dengan pasar makanan laut dan eksposur yang tidak dilacak di kota Wuhan, Provinsi Hubei. Sejak itu, jumlah kasus terus meningkat secara eksponensial di dalam dan di luar Wuhan, menyebar ke seluruh 34 wilayah Cina pada tanggal 30 Januari 2020.[14] Penambahan jumlah kasus Covid-19 berlangsung cukup cepat dan terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Pada hari yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah COVID-19 sebagai kesehatan masyarakat darurat yang menjadi perhatian internasional dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 1760 kasus positif Covid-19 [23].

Sejak dilaporkan pertama kali pada 2 Maret 2020 hingga 9 November 2020, pemerintah Indonesia melalui laman Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mengonfirmasi terdapatnya sejumlah 444.348 kasus positif Covid-19, dengan 14.761 kasus di antaranya meninggal dunia dan 375.741 kasus sembuh. Kasus dinyatakan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Ketika terus menyebar ke seluruh dunia, virus yang menyebabkan pandemi global ini membawa banyak tantangan dan tekanan baru termasuk risiko kesehatan fisik dan ketahanan psikologis [22], isolasi dan kesepian, penutupan banyak sekolah dan bisnis, kerentanan ekonomi, dan kehilangan pekerjaan [4]. Selain itu, terdapat permasalahan dan ancaman sosial yang serius bagi keberlangsungan perawatan kesehatan karena timbul stigma negatif terkait dengan Covid-19. [9] Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang berbagi karakteristik tertentu dan penyakit tertentu [23]. Stigma dapat: 1) Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi, 2) Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera, dan 3) Mencegah mereka untuk mengadopsi perilaku sehat. Stigma dari beberapa penyakit dan kelainan merupakan isu sentral dalam kesehatan masyarakat [19]. Para penderita dari beberapa penyakit tertentu sering mendapatkan stigma yang memberikan rasa rendah diri. Penderita penyakit tertentu dianggap memiliki stigma negatif di masyarakat sehingga orang-orang di sekitarnya cenderung menjauh dan tidak mau terlibat kontak dengan mereka walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh sekalipun.

Pandemi Covid-19 telah menciptakan kepanikan yang belum pernah terjadi sebelumnya di benak orang-orang. Pernyataan WHO pada tanggal 18 Maret 2020 mengungkap bahwa instansi dan tenaga kesehatan memiliki peluang yang besar untuk dihindari dan mengalami pengucilan sosial oleh keluarga hingga komunitas karena stigma atau ketakutan yang berkembang.[23] Di India, petugas kesehatan telah menjadi target stigma alami di masyarakat. Dokter dan staf medis yang menangani pasien Covid-19 menghadapi pengucilan sosial yang substansial; mereka diminta mengosongkan rumah kontrakan, bahkan diserang saat menjalankan tugasnya. Hal itu mengakibatkan para tenaga kesehatan menderita tekanan mental. Sementara itu di Meksiko, dokter dan perawat ditemukan menggunakan sepeda karena mereka dilaporkan tidak diberi akses ke transportasi umum dan menjadi sasaran serangan fisik. Stigma sosial dalam pandemi Covid-19 disebabkan oleh tingginya infektivitas virus, kepercayaan yang tidak ilmiah, dan pemahaman yang tidak tepat tentang penyakit Covid-19 itu sendiri [3]. Selain itu, kurangnya gambaran yang jelas tentang cara penularan virus juga menimbulkan banyak miskonsepsi yang salah dan ketakutan terhadap penyebaran virus yang kian masif. Hal tersebut membuat situasi yang sudah menantang menjadi jauh lebih sulit [3].

Menurut kerja sama survei yang dilakukan oleh Laporcovid-19 dengan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ditemukan bahwa stigma masih terjadi pada pasien, penyintas, hingga para keluarga atau caregiver. 55 persen dari responden yang terjangkit atau penyintas virus Corona mengaku pernah dijadikan buah bibir. 33 persen mengaku pernah dikucilkan dan 25 persen pernah dilabeli sebagai pembawa virus. Hal ini juga dialami oleh keluarga. 42 persen dari mereka pernah menjadi perbincangan dan 27 persen dijauhi oleh tetangga atau teman. Survei ini juga menemukan bahwa perempuan yang lebih banyak mendapatkan stigma tersebut [21]. Adapun bentuk stigma lain terhadap penyintas dan keluarganya yang tergambar dalam survei tersebut, yakni dijuluki penyebar/pembawa virus; perundungan di media sosial; ditolak menggunakan fasilitas umum; dibiarkan tidak menerima bantuan; diusir dari lingkungan tempat tinggal; dan diberhentikan dari pekerjaan. Adanya stigma membuat kecenderungan bagi masyarakat untuk menyembunyikan simptom. Pemeriksaan dan pelacakan kontak untuk menemukan kasus Covid-19 pun menjadi tidak mudah karena petugas masih banyak menemukan penolakan di masyarakat. Hasil survei oleh Litbang Kompas yang dipublikasikan pada 1 November 2020 mendapatkan 127 responden menolak tes cepat dan usap Covid-19. Sebanyak 17,4% di antaranya mengaku karena khawatir positif, di karantina, dan dikucilkan. Angka ini menjadi yang tertinggi kedua setelah alasan tidak perlu/merasa sehat [17]. Fenomena tersebut terjadi karena masih berkembangnya stigma negatif bagi pasien Covid-19, sehingga masyarakat takut divonis tertular. Bagi para penyintas Covid-19, keberadaan stigma tersebut juga dapat mempengaruhi proses pemulihan penderita. Para penyintas seolah tertimpa beban ganda yakni menderita penyakit dan dijauhi lingkungan sosial. Kondisi-kondisi tersebut merupakan situasi yang berbahaya dan tidak menguntungkan.

Hingga saat ini, Indonesia masih berada di posisi ke-21 dunia dalam jajaran kasus tertinggi. Total kasus Covid-19 per 12 November dilaporkan berjumlah sebanyak 452.291 orang dengan 14.933 di antaranya meninggal dunia. Dikutip dari laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah menyebut bahwa stigma juga berkontribusi terhadap tingginya angka kematian. Oleh sebab itu, sudah selayaknya stigma terhadap penyintas Covid-19 mulai dihentikan. Seluruh pihak dari pemerintah hingga elemen masyarakat dapat saling bahu membahu mengatasi permasalahan yang pelik ini. Hal ini berlaku terlebih kepada orang-orang terdekat para penyintas Covid-19. Mengingat, hasil survei Lapor Covid-19 menunjukkan 53,6% responden penyintas mengaku mengandalkan pasangan saat pertama kali mengetahui telah positif Covid-19. Selanjutnya adalah orangtua (21%), dan teman/teman kerja (10,5%). Dukungan sederhana kepada para penyintas Covid-19 sudah sangat berarti. Survei yang sama menyatakan bahwa 70,2% responden penyintas mengaku butuh dukungan lewat tanya kabar. Angka yang sama juga untuk dukungan dalam bentuk bisa kembali beraktivitas seperti semula [17]. Upaya untuk mendukung kesehatan mental pada pasien, penyintas Covid-19 serta keluarga yaitu salah satunya melalui pemberian dukungan sosial. Sarafino & Smith [18] mendefinisikan dukungan sosial adalah suatu kenyamanan, kepedulian, penghargaan, atau bantuan yang didapatkan individu dari individu lain atau kelompok. Dukungan sosial adalah suatu bentuk kenyamanan baik secara fisik maupun psikologis [12] yang menggambarkan kualitas suatu hubungan dengan menunjukkan rasa puas secara batin dan emosional pada diri seseorang dalam berbagai keadaan yang penuh tekanan sehingga seseorang dapat merasa dipedulikan, disayangi, dihormati dan dihargai orang lain [8]. Lebih lanjut, dukungan sosial juga didefinisikan sebagai dukungan atau dorongan yang berasal dari lingkungan sosial dapat berupa penerimaan, perhatain maupun bantuan [24].

Aspek-aspek dukungan sosial menurut Sarafino & Smith [18] meliputi: (1) Dukungan emosional, yaitu dukungan yang diberikan dalam bentuk perhatian, sikap peduli dan ekspresi empati pada orang yang bersangkutan, juga melibatkan perilaku yang dapat menimbulkan rasa aman dan nyaman dalam situasi penuh tekanan, serta dapat meyakinkan seseorang bahwa ia juga diperhatikan, dipedulikan, dan didukung oleh lingkungan sekitar. (2) Dukungan instrumental, yaitu memberikan sumber-sumber secara tepat untuk menghadapi situasi yang sulit dan tertekan, seperti memberikan bantuan secara langsung saat seseorang sedang menghadapi suatu masalah. (3) Dukungan berbentuk informasi, yaitu pemberian informasi atau umpan balik, nasihat atau saran mengenai penyelesaian masalah. (4) Dukungan penghargaan, yaitu dukungan yang menyediakan wadah untuk menjadi anggota dari suatu kelompok yang saling berbagi aktivitas dan kepentingan sosial. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor terpenting dalam memprediksi kesehatan fisik dan kesejahteraan setiap orang, mulai dari masa kanak-kanak hingga orang dewasa yang lebih tua [2]. Adanya dukungan sosial dari lingkungan sekitar dapat membuat individu menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi masalah dan memiliki percaya diri yang baik. [15]. Menurut beberapa penelitian terdahulu, dapat dijelaskan bahwa dukungan sosial secara positif berpengaruh terhadap stressor dan kecemasan dalam menjalani kehidupan [11], kesejahteraan subjektif [5];[7];[13] (Cakar, 2013; Putri, 2016; Khairudin & Mukhlis, 2019), penerimaan diri [10], resiliensi [16], serta kesehatan fisik dan mental [5].

Dukungan yang sesuai akan sangat membantu individu untuk memenuhi kebutuhan saat mengalami kondisi yang dirasa sulit. Individu dapat menemukan cara yang efektif untuk keluar dari masalah dan merasa dirinya dihargai serta dicintai yang kemudian akan meningkatkan kepercayaan pada dirinya untuk mampu menjalani kehidupan dengan lebih baik. Dukungan sosial pada pasien, penyintas Covid-19 serta keluarga dapat mengurangi dampak adanya stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat dan mempercepat proses pemulihan pada pasien. Berdasarkan uraian permasalahan, peneliti tertarik untuk meneliti dukungan sosial pada keluarga yang divonis positif Covid-19.

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif jenis fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dukungan sosial pada keluarga yang divonis positif Covid-19. Partisipan dalam penelitian ini melibatkan sebanyak 11 orang yang dirinya ataupun keluarganya pernah divonis positif Covid-19 (Tabel 1). Partisipan dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik purposive sampling, yakni berdasarkan karakteristik tertentu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner terbuka yang bersifat online berbentuk google-form yang diedarkan secara personal maupun melalui whatsapp group. Kemudian data yang didapatkan dianalisis menggunakan analisis konten. Analisis konten merupakan teknik yang dilakukan dengan memberikan kode objektif yang memungkinkan peneliti membuat inferensi yang didasarkan pada karakteristik spesifik dalam catatan arsip [20]. Dijelaskan oleh Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister [20] bahwa tiga langkah dasar dalam analisis konten yaitu: 1) mengidentifikasi sumber yang relevan, 2) memilih sampel bagian dari sumber, dan 3) memberikan kode pada unit analisis.

Tabel 1 . Responden Penelitian
No Nama Usia Jenis Kelamin Agama Asal Pekerjaan Status Positif Covid-19 Tanggal Status Positif Covid-19
1 YE 28 P Islam Sragen Perawat Diri sendiri 02/09/2020
2 Shanum 20 P Islam Tegal Mahasiswi Keluarga 02/06/2020
3 M 61 L Islam Tegal Pedagang Keluarga 10/10/2020
4 Bowo 25 L Islam Surakarta Pegawai Swasta Diri sendiri 14/11/2020
5 Tu 23 P Islam Karanganyar Mahasiswi Diri sendiri 05/11/2020
6 Wny 23 P Islam Surakarta Mahasiswi Keluarga 21/11/2020
7 BA 29 P Islam Surakarta Tenaga kontrak Diri sendiri 18/11/2020
8 A 28 P Islam Surakarta Wirausaha Diri sendiri 17/11/2020
9 Wati 27 P Islam Surakarta Tenaga kontrak Diri sendiri 15/11/2020
10 SR 40 P Islam Kendal Tenaga Kesehatan Diri sendiri 13/10/2020
Table 1.Responden Penelitian

Hasil dan Pembahasan

Sejak merebak untuk pertama kali di Wuhan, China, akhir tahun 2019 lalu wabah Corona telah menjadi sebuah bencana global dan telah menyerang tak kurang dari 200 negara. Di Indonesia, jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 di seluruh Indonesia telah menembus angka setengah juta orang sejak pemerintah pertama kali mengumumkan pada Maret 2020 lalu. Hingga saat ini, pandemi virus Covid-19 masih berlangsung dan kasus positif terus bertambah setiap harinya. Beberapa provinsi juga menunjukkan lonjakan kasus dalam beberapa hari terakhir. Jawa Tengah merupakan provinsi yang menjadi perhatian bagi pemerintah pusat sebab kasus aktif Covid-19 di Jawa Tengah menjadi yang tertinggi seluruh Indonesia. Selain itu, angka positivity rate di wilayah tersebut juga tinggi. Berdasarkan data harian Satgas Covid-19 per Senin (23/11), kasus aktif di Jawa Tengah sebanyak 10.494 orang. Kasus aktif merupakan kasus orang dalam perawatan baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun sedang isolasi mandiri [1].

Meski kenaikan penambahan kasus positif Covid di Jawa Tengah selama 10 hari terakhir cenderung fluktuatif, data mencatat bahwa kasus positif di provinsi ini sempat mencapai rekor tertinggi pada 13 November lalu dengan 1.362 kasus dalam sehari. Dua hari setelah rekor tersebut, kasus perlahan menurun meski pertambahan masih di atas 1.000 kasus sehari. Pada 14 November kasus positif bertambah 1.222 kasus, lalu 15 November bertambah 1.071 kasus. Dari kenaikan tersebut, data secara keseluruhan sebagaimana dihimpun oleh Satgas Covid-19, total kasus positif di Jawa Tengah mencapai 48.385 orang. Dari jumlah tersebut, 35.751 orang dinyatakan sembuh dan 2.140 orang lainnya meninggal dunia. Wilayah Jawa Tengah kemudian menduduki tempat lima besar provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak. Selain itu, Jawa Tengah juga menjadi provinsi yang memiliki kasus kematian Covid-19 tertinggi nomor tiga.

Sejauh ini, belum berhasil ditemukannya formula vaksin anti virus Covid-19 di berbagai negara dalam mengatasi wabah Covid-19 kian menimbulkan ketidakpastian hingga kebingungan dan kepanikan yang melanda hampir seluruh negara. Hal ini juga mengakibatkan pada mulai timbulnya krisis ekonomi, sosial, hingga budaya. Bagi penyintas Covid-19, selain berpengaruh pada kondisi kesehatan fisik, para penyintas pada umumnya juga mengalami tekanan mental. Dalam hal ini, pasien Covid-19 merasa khawatir akan diasingkan oleh masyarakat dikarenakan kenyataan bahwa dirinya pernah memiliki riwayat penyakit Covid-19. Masyarakat banyak yang berusaha menghindar dengan pasien Covid-19 oleh karena merasa khawatir jika pasien dapat menularkan virus yang terdapat dalam tubuhnya kepada mereka. Stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 ini dapat menyebabkan timbulnya penolakan di masyarakat. Stigma sosial dan diskriminasi sosial di masa pandemi ini, nyatanya tidak hanya berlaku pada penyintas, tetapi juga pada keluarga serta Tenaga Kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam perawatan pasien dengan kasus Covid-19. Dalam situasi ini, dukungan sosial menjadi penting karena secara positif dapat berpengaruh terhadap stressor dan kecemasan dalam menjalani kehidupan, penerimaan diri, serta kesehatan fisik dan mental [5].

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada sejumlah 11 responden yang merupakan penyintas dan caregiver Covid-19 melalui google form, didapatkan data bahwa mayoritas informan yakni YE, Shanum, M, Bowo, Tu, Wny, BA, A, Wati, dan SR; meyakini akan kemungkinan kesembuhan penyakit Covid-19. Hal ini diperjelas oleh informan M yang sangat yakin jika keluarganya yang positif Covid-19 akan sembuh karena melihat ayahnya bisa sembuh dari Covid-19. Kemudian informan Tu yakin bahwa saat dirinya semakin bahagia dengan mengingat Allah dan keluarganya maka dia akan lekas sembuh dan bisa beraktivitas bersama. Begitu pula informan SR yang yakin sembuh karena kesembuhan berasal dari Allah dan dirinya sebagai manusia hanya bisa berikhtiar. Namun informan Bga merasa dirinya tidak terlalu yakin akan kesembuhannya dari sakit Covid-19.

Dukungan Emosional Menanyakan kabar, memberikan semangat dan kenyamanan di lingkungan rumah dengan tidak mengucilkan penderita
Dukungan Instrumental Mencukupi kebutuhan pokok seperti sembako, makanan, kebutuhan rumah tangga, juga pemenuhan obat
Dukungan Informasi Melakukan desinfektan di lingkungan desa dan menutup portal jalan agar penyebaran virus tidak kian masif
Tidak melakukan apa-apa dan cenderung bersikap masa bodoh
Table 2.Bentuk Dukungan dari Tetangga

Pada umumnya, keyakinan akan kesembuhan dari sakit karena Covid-19 tersebut disampaikan oleh Informan YE dan Bowo disebabkan oleh kekuatan sistem imun dan kesehatan, begitu pula informan Wny bahwa kesembuhan disebabkan oleh pola hidup sehat dan menjaga jarak. Informan Shanum mengatakan bahwa kesembuhan dari Covid-19 disebabkan oleh adanya pikiran yang positif bahwa semua hal akan membaik dan adanya dukungan dari keluarga dan teman dekat yang menambah keyakinan untuk sembuh. Kemudian informan Tu dan Wati meyakini kesembuhan dari Covid-19 disebabkan karena adanya keyakinan akan pertolongan dari Allah, begitu pula informan SR yang meyakini akan takdir baik dan buruk yang menimpa dan akan menjadi kebaikan jika mampu bersyukur dan bersabar. Informan BA menyampaikan bahwa keyakinan akan kesembuhan dari Covid-19 disebabkan karena tidak adanya gejala yang dialami.Serupa BA, informan M mengatakan bahwa keyakinan akan kesembuhan dari Covid-19 disebabkan karena tidak adanya riwayat penyakit kronis yang dimiliki, sedangkan informan Bga yang kurang meyakini kesembuhan dari Covid-19 disebabkan karena adanya pengalaman sakit yang cukup parah.

Ketika menjadi penyintas dan caregiver pasien Covid-19, sikap tetangga yang muncul ketika penyintas dan caregiver belum lepas dari Covid-19 pada umumnya adalah bertanya terkait kondisi yang tengah dialami, memberi dukungan moril dan materil, mendoakan penyintas, prihatin, serta ikut melakukan isolasi mandiri. Tetangga yang peduli dengan kondisi penyintas juga menjadi semakin peduli terhadap kesehatannya dengan menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan. Namun, terdapat pula tetangga yang justru kurang mendukung upaya kesembuhan penyintas karena rasa ingin tahu yang besar dan pengucilan soial, acuh tak acuh terhadap kondisi penyintas, dan bersikap masa bodoh.

Tabel 3. Bentuk Dukungan dari Rekan Kerja
Bersikap suportif dengan tidak mengucilkan penyintas, memberikan semangat, bersikap positif, memberikan pemakluman dan dukungan ketika penyintas dan caregiver sedang berada dalam upaya isolasi mandiri demi menghentikan penyebaran virus
Membantu keperluan administrasi seperti melaporkan status positif penyintas kepada pihak desa, memberikan layanan swab gratis ketika salah satu teman diketahui positif Covid-19
Memberikan bantuan logistik dan finansial
Terdapat rekan kerja yang berpendapat negatif terkait Covid-19 sehingga menimbulkan hoax
Table 3.Bentuk Dukungan dari Rekan Kerja

Bentuk-bentuk dukungan dari tetangga yang tampak dari sisi dukungan moril adalah memberikan semangat, support, memberikan kenyamanan di lingkungan rumah dengan tidak mengucilkan penderita, mendoakan kesembuhan, dan menawarkan bantuan. Adapun bentuk dukungan dari sisi materil yang dilakukan tetangga adalah dengan membantu mencukupi penyintas dan caregiver Covid-19 dengan kebutuhan pokok seperti sembako, makanan, kebutuhan rumah tangga, juga pemenuhan obat. Tetangga juga melakukan disinfektan di lingkungan desa serta menutup portal jalan agar penyebaran virus tidak kian masif. Namun, ada pula tetangga yang tidak melakukan apapun terhadap pasien Covid-19. Sementara itu, sikap teman kerja kepada responden yang merupakan penyintas dan caregiver Covid-19 pada umumnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan tetangga, namun cenderung menunjukkan kepedulian yang lebih besar. Mayoritas responden mengatakan bahwa teman kerja bersikap suportif dengan tidak mengucilkan penyintas, memberi semangat, bersikap positif, juga memberikan pemakluman dan dukungan ketika penyintas dan caregiver sedang berada dalam upaya isolasi mandiri demi menghentikan penyebaran virus. Hanya subjek W yang berpendapat bahwa selain memberi support, terdapat rekan kerjanya yang berpendapat negatif terkait Covid-19 sehingga menimbulkan hoax.

Adapun bentuk dukungan yang dilakukan rekan kerja pada umumnya adalah bantuan logistik dan finansial, juga terdapat dukungan moral. Teman kerja memberi motivasi, support, dan mendoakan dengan harapan-harapan baik, serta membantu keperluan administrasi seperti melaporkan status positif penyintas kepada pihak desa, serta memberikan layanan swab gratis ketika diketahui salah satu teman kerja diketahui positif Covid-19. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh individu untuk membantu menurunkan efek kesepian di masa pandemi karena isolasi (Ma et al, 2020), berpengaruh pada kesehatan mental [14] dan dapat meningkatkan kualitas individu di masa pandemi Covid-19 [25]. Secara keseluruhan, lingkungan penyintas dan caregiver Covid-19 dalam penelitian ini pada umumnya telah memberi dukungan sosial sebagaimana yang diungkap Sarafino [18] yakni dari sisi emotional support, instrumental support, informational, dan companionship support. Menurut Sarafino [18], dukungan sosial mempunyai empat aspek, di antaranya: a) Emotional support, yaitu berupa penyampaian rasa empati, rasa peduli dan dipedulikan, serta rasa memiliki dorongan yang positif yang berasal dari luar diri, b) Instrumental support, yaitu dukungan yang sifatnya berwujud objek yang biasanya diterima secara langsung oleh individu dari orang lain agar dapat membantu tugas-tugas individu atau membantu mengatasi stress, c) Informatioal support, yaitu dukungan berupa pemberian saran atau arahan yang bersifat umpan balik antar individu, dan d) Companionship support, yaitu kesediaan orang lain untuk dapat melakukan kegiatan bersama-sama atau menghabiskan waktu untuk sekadar melakukan minat yang disukai.

Kesimpulan

Dukungan sosial menjadi suatu hal yang berperan penting bagi keluarga yang divonis positif Covid-19. Hal ini dikarenakan adanya supportdari orang-orang terdekat, seperti keluarga, tetangga, dan teman kerja; baik secara moral maupun materiil, membantu penyintas dan caregiver Covid-19 untuk tetap kuat dan semangat menjalani hari-harinya untuk bisa sembuh dari Covid-19. Oleh karena itu, siapa pun yang bersinggungan dengan penyintas maupun caregiver Covid-19 hendaknya tidak mengucilkan dan berusaha memberikan dukungan.

Ucapan Terimakasih

Dengan terselesaikannya penelitian ini, peneliti mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas limpahan karunia-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian. Tak lupa peneliti menyampaikan ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

References

  1. Afizudin, E. (2020, November 24). Nasional. Retrieved from CNNIndonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201124133955-20-573807/jawa-tengah-tertinggi-kasus-aktif-covid-19-di-indonesia
  2. Ali, A., Shing, A. R., & Jahan, M. (2010). Perceived social support and life satisfaction in persons with somatization disorder. Industrial Psychiatry Journal, 19(2), 115-118.
  3. Bagcchi, S. (2020). Stigma during the COVID-19 pandemic. The Lancet. Infectious Diseases, 20(7), 782.
  4. Bradbury-Jones, C., & Isham, L. (2020). The pandemic paradox: The consequences of COVID‐19 on domestic violence. Journal of clinical nursing, 29, 2047-2049.
  5. Cakar, F. S. (2013). Behavior problems and social support which adolescent perceived from the different sources. International Education Research, 1(2), 50-64.
  6. Hawryluck, L., Gold, W. L., Robinson, S., Pogorski, S., Galea, S., & Styra, R. (2004). SARS control and psychological effects of quarantine, Toronto, Canada. Emerging Infectious Disease, 1206.
  7. Khairudin, M. (2019). Peran religiusitas dan dukungan sosial terhadap subjective well-being pada remaja. Jurnal Psikologi, 15(1), 85-96.
  8. Lutfiyah, N. (2017). Hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada anak jalanan di wilayah Depok. Jurnal Psikologi, 10(2), 152-158.
  9. Ma, Zheng Feei, Yutong Zhang, Xiaoqin Luo, Xinli Li, Yeshan Li, Shuchang Liu, and Yingfei Zhang. 2020. “Increased Stressful Impact among General Population in Mainland China amid the COVID-19 Pandemic: A Nationwide Cross-Sectional Study Conducted after Wuhan City’s Travel Ban Was Lifted.” International Journal of Social Psychiatry 66(8):770–79.
  10. Marni, A., & Yuniawati, R. (2015). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada lansia di panti wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Empathy, Jurnal Fakultas Psikologi, 3(1), 1-7.
  11. Nur, A. L., & Shanti, L. P. (2011). Kesepian pada narapidana di lembaga pemasyarakatan Kedungpane Semarang ditinjau dari dukungan sosial dan status perkawaninan. Jurnal Psikologi, 4(2), 67-79.
  12. Pierce, G. R., Sarason, B. R., & Sarason, I. G. (1996). Handbook of social support and the family. New York: Springer Science & Business Media.
  13. Putri, D. R. (2016). Peran dukungan sosial dan kecerdasan emosi terhadap kesejahteraan subjektif pada remaja awal. Jurnal Indigenous, 1(1), 12-22.
  14. Qi, Meng, M. S, Shuang-jiang Zhou, M. S, Zhao-chang Guo, Li-gang Zhang, and Hong-jie Min. 2020. “Since January 2020 Elsevier Has Created a COVID-19 Resource Centre with Free Information in English and Mandarin on the Novel Coronavirus COVID- 19 . The COVID-19 Resource Centre Is Hosted on Elsevier Connect , the Company ’ s Public News and Information .” (January).
  15. Raharjo, Y. O., & Sumargi, A. M. (2018). Dukungan sosial dan kepuasan hidup pada mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berasal dari luar Pulau Jawa. Jurnal Experintia, 6(1), 1-9.
  16. Raisa, A. E. (2016). Hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada narapidana di lembaga pemasyarkatan kelas IIA wanita Semarang. Jurnal Empati, 5(3), 537-542.
  17. Ridhoi, M. A. (2020, Oktober 25). Nasional. Retrieved November 23, 2020, from Katadata.co.id: https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5fb339215e8c4/stigma-penyintas-covid-19-yang-bisa-memperpanjang-pandemi?utm_source=Direct&utm_medium=Kanal%20Jurnalisme%20Data&utm_campaign=BIG%20HL%20Slide%201
  18. Sarafino, E. P., & Smith. (2011). Health psychology: biopsychological interactions (7th ed). New Jersey: John Wiley & Sons.
  19. Septiawan, L. F., Mulyani, S., & Susanti, D. (2018). Stigma patient leader in Sumberarum village district Dander district Bojonegoro year 2017. Asuhan Kesehatan: Jurnal Ilmiah Ilmu Kebidanan dan Keperawatan, 8(2).
  20. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2015). Metode penelitian dalam psikologi Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
  21. Vania, H. F. (2020, November 17). Jurnalisme Data. Retrieved November 23, 2020, from Katadata.co.id: https://katadata.co.id/ariemega/berita/5f95092d61de8/survei-pasien-hingga-penyintas-covid-19-kerap-hadapi-stigma
  22. Wang, C., Pan, R., Wan, X., & Tan, Y. (2020). Immediate psychological responses and associated factors during the initial stage of the 2019 coronavirus disease (COVID-19) epidemic among the general population in China. International Journal of Environmental Research and Public Mental Health.
  23. WHO. (2020, Januari 30). WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard. Retrieved Juni 20, 2020, from https://covid19.who.int/: https://covid19.who.int/?gclid=CjwKCAjw57b3BRBlEiwA1Imytizmv_sMXelm1s7mUYiWDMvxe8mJw13RHYCPEuWhFE9Px3si6nP7ARoCLOQQAvD_BwE
  24. Wistarini, N., & Marheni, A. (2019). Peran dukungan sosial keluarga dan efikasi diri terhadap stres akademik mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2018. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 164-173.
  25. Xiao, Han, Yan Zhang, Desheng Kong, Shiyue Li, and Ningxi Yang. 2020. “The Effects of Social Support on Sleep Quality of Medical Staff Treating Patients with Coronavirus Disease 2019(COVID-19) in January and February 2020 in China.” Medical Science Monitor 26:1–8.