The COVID-19 pandemic has resulted in increased family interactions. Some families use this opportunity to improve relationships between their family members. However, increased family interaction can also result in increased conflict which can lead to divorce. Divorce that occurred during this pandemic was not only caused by one factor. Financial problems that are exacerbated by the mental condition of an individual before the pandemic will have a heavier impact on that individual than other individuals whose mental condition is more stable. Unhealthy attachment (attachment) to a partner also increases the risk of divorce during the COVID-19 pandemic. Promotional, preventive, and curative actions need to be implemented to address the issue of divorce. Social media can be a forum to promote the importance of maintaining family quality during a pandemic. The ease of providing information and the ease with which people can access makes social media the right platform. Then, preventive action that can be taken is to hold education in the form of family-themed seminars. This online seminar is expected to reach many people from various regions and is expected to increase public awareness of the issue of divorce. In the divorce process, couples also need to be guided to solve their problems through positive communication and also pay attention to the child's mental condition.
Pandemi COVID-19 menghambat berbagaikegiatansehari-hari. Kegiatan-kegiatan tersebut terpaksa dilakukan dari rumah, mulai dari work from home, sekolah daring, hingga kuliah daring. Kondisi seperti ini membuat interaksi keluarga menjadi lebih intens dari hari-hari sebelumnya. Beberapa keluarga merasakan dampak positif dari hal ini. Meningkatnya intensitas komunikasi dalam keluarga juga meningkatkan keintiman hubungan mereka [31]. Beberapa keluarga menggunakan kesempatan ini untuk lebih saling mengenal antar anggota keluarga mereka [10]. Namun, di samping itu, ada pula beberapa keluarga yang merasakan dampak negatif dari pandemi ini. Intensitas yang tinggi dalam keluarga juga dapat menimbulkan konflik, salah satunya yaitu perceraian. Berbagai faktor menjadi pemicu dalam perceraian di masa pandemi ini, misalnya menurunnya perekonomian, perselisihan, hingga KDRT.
Berdasarkan informasi yang diambil dari detik (2020), kasus perceraian paling umum terjadi di Pulau Jawa. Direktorat Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Aco Nur menyatakan bahwa kasus perceraian meningkat dari 20 ribu kasus di bulan April dan Mei menjadi 57 ribu kasus di bulan Juni dan Juli 2020. Di Cianjur sendiri terdapat 2000 kasus perceraian yang salah satu pemicu utamanya adalah faktor ekonomi [39]. Selain itu, kasus perceraian di Semarang meningkat sebesar 3 kali lipat (“Perceraian di Semarang Naik 3 Kali Lipat Selama Wabah Corona,” 2020) [33]. Wakil Ketua Pengadilan Agama Kelas 1A Semarang Muhamad Camuda menyatakan bahwa meningkatnya kasus perceraian disebabkan oleh pemilik usaha atau perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan yang berujung pada perselisihan rumah tangga karena menyempitnya perekonomian. Mengingat tingginya peningkatan kasus perceraian selama masa pandemi ini menjadikan perceraian suatu isu yang penting untuk dikaji. Artikel ini disusun untuk mengidentifikasi permasalahan terkait perceraian yang meningkat selama masa pandemi COVID-19. Penulis juga menjabarkan beberapa intervensi sebagai saran untuk menangani permasalahan tersebut. Selain menambah wawasan pada penulis mengenai permasalahan aktual, makalah ini juga dapat memberikan insight pada pembacanya.
Perceraian didefinisikan sebagai pembubaran secara hukum dari hubungan perkawinan yang diakui secara sosial dan hukum yang mengubah kewajiban dan hak istimewa dari kedua belah pihak yang terlibat [37]. Menurut Cambridge Dictionary, perceraian diartikan sebagai proses resmi atau hukum untuk mengakhiri pernikahan (“Divorce,” n.d.). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, cerai diartikan sebagai putus hubungan sebagai suami istri (“Cerai,” n.d.). Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian berarti perpisahan antara suami dan istri yang disahkan melalui proses hukum.[7];[12]. Menurut KBBI versi daring, pandemi didefinisikan sebagai wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas (“Pandemi,” n.d.). David dkk. (2009) menjelaskan mengenai pengertian pandemi dari beberapa aspek. Dilihat dari daerah penyebarannya, pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar di wilayah geografis yang luas. Perpindahanpenyakit atau penyebarannya melalui penularan yang dapat ditelusuri dari satu tempat ke tempat lain, seperti yang telah dilakukan secara historis selama berabad-abad. Namun, suatu penyakit baru dapat dikatakan sebagai pandemi jika tingkat keparahannya cukup tinggi dan penyebarannya dalam waktu singkat. Selain itu, populasi yang kebal terhadap penyakit tersebut tergolong minimal. Ditambah lagi, penyakit yang termasuk sebagai pandemi biasanya adalah penyakit baru atau setidaknya terkait dengan varian baru dari organisme yang sudah ada.
Kehidupan sosial mengharapkan bahwa setiap individu mempunyai pasangan hidup dan anak-anak untuk menciptakan interaksi dan jejaring sosial yang baru. Gerstel [5] mengungkapkan bahwa pernikahan membawa masuk ke dalam lingkaran sosial baru. Namun, dalam perjalanannya tidak jarang pasangan suami-istri memutuskan untuk mengakhiri hubungan melalui perceraian. Perceraian adalah permasalahan personal yang sangat dipengaruhi oleh sosial dan kultural. Perbandingan perceraian dari segi demografis, usia, status sosial ekonomi, hingga religiositas dijelaskan oleh Guttmann [19] yg meliputi, (1) perceraian lebih banyak ditemukan di daerah perkotaan daripada pedesaan, (2) pasangan dengan kondisi status sosial ekonomi rendah lebih banyak melakukan perceraian daripada pasangan dengan status sosial ekonomi tinggi, (3) perceraian banyak terjadi pada usia awal pernikahan, dan (4) individu yang memiliki kekuatan religius cenderung tidak melakukan perceraian.
Perceraian dalam perspektif social exchange theory mendasarkan pada tingkatan kepuasan individu pada hubungan yang terjalin. Tingkatan kepuasan ini adalah hasil dari evaluasi individu terhadap reward dan beban yang dirasakan satu sama lain. Hal ini dapat dijelaskan bahwasanya ketika keuntungan (reward dikurangi cost) dianggap adil maka cenderung ada solidaritas dalam hubungan perkawinan [30]. Cost adalah faktor-faktor yang menghambat atau menghalangi kinerja perilaku di dalam sebuah pernikahan, sedangkan reward adalah kesenangan, kepuasan, dan kepuasan yang dinikmati seseorang dalam sebuah pernikahan (Thibaut & Kelley dalam Nakonezny & Denton, 2008).[30] Ketidaksepakatan dalam urusan finansial diprediksi menjadi faktor penyebab perceraian. Ketidaksepakatan finansial memprediksi lebih kuat terjadinyaperceraiandaripada ketidaksepakatan tentang tugas rumah tangga atau menghabiskan waktu bersama [11]. Secara umum permasalahan finansial terkadang menjadi faktor yang sering disebut sebagai penyebab terjadinya perceraian. Namun, pada dasarnya ada banyak dinamika yang terjadi dalam hubungan pernikahan sehingga permasalahan keuangan akan menjadi prediktor dalam perceraian apabila digabungkan dengan efek negatif dari faktor lain [3].
Perceraian dapat dikaji dari sudut pandang klinis. Literatur menyebutkan bahwa kesehatan mental memiliki pengaruh terhadap ketahanan keluarga dan terjadinya perceraian. Berikut akan dibahas hubungan-hubungan kesehatan mental dan perceraian. Pada baseline atau dengan onset setelah baseline, penyakit mental dikaitkan dengan kemungkinan perceraian yang jauh lebih tinggi di antara responden yang menikah pada baseline atau menikah setelah baseline. Peluang kecil untuk menikah atau menikah kembali berkorelasi dengan penyakit mental dengan onset setelah baseline.Proyeksiyang mengasumsikan efek kausal pada hasil perkawinan dari penyakit mental menunjukkan bahwa mengurangi efek suasana hati yang meluas, kecemasan dan gangguan penggunaan narkoba akan dikaitkan dengan 6,7 juta lebih sedikit perceraian dan 3,5 juta lebih pernikahan di populasi AS selama periode 11 tahun [28];[32]
Individu dengan gangguan mental umum cenderung tidak bergabung dalam hubungan baru dan berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan perkawinan. Variabel-variabel ini menyebabkanberkurangnya keterlibatan sosial dan dukungan sosial bagi para penderita gangguan tersebut. Efek penyakit mental pada hubungan sosial kritis ini secara teoritis dapat ditingkatkan dengan langkah-langkah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan perkawinan dan keluarga [28]. Orang yang bercerai melaporkan lebih banyak depresi, kurang kebahagiaan dengan hidup, dan lebih banyak masalah kesehatan daripada orang yang sudah menikah [1]. Namun, tidak jelas apakah penyebab perceraian terkait dengan kesehatan mental setelah perceraian.
Sementara perceraian mungkin datang sebagai kelegaan, perasaan tidak berdaya, kekerasan, depresi, penyesalan, dan isolasi juga menyertainya, dan ambivalensi terhadap kemungkinan rujuk kembali [40]. Amato dan Previti [2] menyoroti kebutuhan akan perspektif yang lebih luas tentang hubungan antara alasan perceraian dan penyesuaian setelah perpisahan, di antara beberapa studi yang telah membahas korelasi antara alasan perceraian dan kesehatan mental. Mereka mengaitkan penyebab perceraian mereka dengan sifat kemitraan perkawinan itu sendiri daripada faktor internal (misalnya karakteristik pribadi responden itu sendiri) atau faktor eksternal (misalnya masalah keuangan). Transisi terkuat pasca-perceraiantampaknya ditunjukkan sebagai pembentuk masalah kesehatan mental. Amato & Previti [2] menjelaskan dua variabel selama tahap pasca-perceraian: kelas sosial dan kursus hidup; yaitu usia, tahun menikah, dan memiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan 2 tahun setelah perceraian dapat membawa stres dan penurunan kesehatan mental, terutama bagi orang yang lebih tua dan kurang informasi, yang takut akan keintiman, yang memandang hubungan baru sebagai risiko, dan yang tidak memulai perceraian, yang gaya keterikatannya adalah penghindar. atau cemas [9]. Tidak diragukan lagi bahwa perubahan drastis dalam lingkungan keluarga mereka, serta faktor-faktor tambahan yang mengikuti proses perceraian, mempengaruhi anak-anak. Diakui dengan baik bahwa proses perceraian mempengaruhi kondisi mental anak, termasuk munculnya gangguan perilaku, konsep diri negatif, masalah sosial, dan kesulitan hubungan orang tua. Ada prevalensi depresi, agresi, pembelajaran dan penurunan sosial yang lebih tinggi di antara remaja ini, dan risiko tinggi untuk mencoba bunuh diri. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa proses perceraian ternyata juga berdampak pada kondisi penyakit fisik pada anak [20]
Perceraian dapat dikaji dari sisi tahap-tahap perkembangan manusia menurut life-span developmental theory. Teori tersebut menjelaskan pola perubahan dan stabilitas dalam karakteristik psikologis di seluruh perjalanan hidup (ontogenesis). Bidang ini fokus pada perbedaanintraindividualdan antarindividudalamlintasan perkembangan [38] yang terdiri dari tahap prenatal, infancy and toddlerhood, early childhood, middle and late childhood, adolescence, emerging adulthood, early adulthood, middle adulthood, dan late adulthood [24]. Indonesia merupakan negara dengan tingkat pernikahan anak yang cukup tinggi. Satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah muda di usia kurang dari 18 tahun. Padahal, jika dianalisis dengan memanfaatkan lensa life-span developmental theory, rentang usia ini bukanlah rentang usia yang tepat untuk menikah dan membangun keluarga. Kematangan fisik, level kognitif dan kesiapan psikologis masih belum memadai. Anggota pasangan yang ada pada usia ini menjadi lebih rentan saat dihadapkan pada krisis dalam hubungan, terutama masalah yang tidak terduga seperti Pandemi COVID-19 ini.
Sejak awal pubertas hingga 18 tahun adalah periode adolescence, masa perubahan kognitif ketika remaja mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan barudanmempertimbangkan konsep-konsep abstrak seperti cinta, ketakutan, dan kebebasan. Usia 18 hingga 25 tahun adalah periode emerging adulthood, masa transisi antara akhir remaja sebelum individu memperoleh semua tolok ukur kedewasaan. Meskipun berada pada puncak fisiologis, seseorang paling berisiko terlibat dalam kejahatan kekerasan dan penyalahgunaan zat di rentang ini. Usia 25 hingga 40-45 disebut early adulthood. Pada tahap inilah seseorang idealnya menikah karena tugas perkembangan utama terletak pada hubungan intim, membangun keluarga, dan pekerjaan [24].
Menyambung bahasan periode usia, usia lanjut adalah salah satu faktor yang meningkatkan risiko terkena gejala COVID-19 yang lebih parah. Di Indonesia, kematian akibat penyakit tersebut paling banyak terjadi di usia 60 tahun lebih. Akibatnya, orang berusia lanjut bisa mengalami stres yang lebih besar karena takut tertular, takut lebih rentan karena masalah kesehatan yang berkelanjutan, dan karena berpisah dari keluarga, teman, dan pengasuh lain yang biasanya memberikan bantuan. Kualitas hubungan pasangan usia lanjut sebenarnya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan paruh baya sebab mereka memiliki persepsi yang lebih baik terhadap pasangannya. Namun beberapa pasangan juga mengalami perselisihan dan ketidakpuasan yang signifikan Whisman dkk., 2015 dalam [34]
Fenomena perceraian dari sisi perkembangan dapat dikaitkan pula dengan dua dimensi kelekatan orang dewasa yang dikemukakan Bartholomew dalam [24] yaitu attachmentrelated-anxietydan attachment-relatedavoidance. Menurutnya, ini menghasilkan empat kemungkinan gaya kelekatan—secure, dismissing, preoccupied, dan fearful avoidant. Attachment related-anxiety mengacu pada sejauh mana orang dewasa khawatir pasangan mereka benar-benar mencintai mereka atau tidak. Mereka yang punya nilai tinggi pada dimensi ini takut pasangannya akan menolak atau meninggalkan mereka. Attachment-related avoidance mengacu pada apakah orang dewasa dapat terbuka kepada orang lain dan apakah mereka percaya dan merasa dapat bergantung pada orang lain. Mereka yang berskor tinggi pada ini merasa tidak nyaman dengan keterbukaan dan mungkin takut bahwa ketergantungan dapat membatasi otonomi [18]. Mereka dengan preoccupied attachmentrendahdalam attachment-related avoidance, tetapi tinggi dalam attachment-related anxiety. Orang dewasa kelompok ini mudah cemburu dan khawatir pasangannya tidak mencintai mereka sebanyak yang mereka butuhkan. Orang dewasa yang gaya kelekatannya fearfulavoidant berskor tinggi pada
attachment-relatedanxietydan attachment-related avoidance. Orang dewasa ini menginginkan hubungan dekat, tetapi tidak merasa nyaman dekat secara emosional dengan orang lain. Mereka memiliki masalah kepercayaan dan seringkali tidak mempercayai keterampilan sosial mereka sendiri dalam menjaga hubungan. Studi menemukan bahwa mereka yang attachment-related anxiety-nya tinggi melaporkan lebih banyak konflik harian dalam hubungan Campbell dkk., 2005 dalam Lally & French, [24] Orang dewasa dengan insecure attachment melaporkan kepuasan yang lebih rendah dalam hubungan Butzer, & Campbell, 2008; Holland dkk., 2012 dalam Lally & French, [24] sementara mereka dengan avoidant attachment menunjukkan sedikit dukungan kepada pasangan (Simpson dkk., 2002 dalam Lally & French, 2019).[24] Perceraian orang tua merupakan salah satu faktor risiko pada kehidupan pernikahan anak mereka, termasuk terhadap kepercayaan mengenai komitmen, hubungan romantis, dan sikap serta perilaku seksual. Weigel [42] melakukan studi untuk memeriksa pengaruh jenis pesan terkait komitmen yang diperoleh dari keluarga asal. Hasilnya menunjukkan bahwa orang dengan orang tua yang bercerai atau tidak bahagia lebih cenderung memandang
bahwa hubungan tidaklah permanen, seseorang harus membangun hubungan dengan hati-hati, dan hubungan diliputi oleh kurangnya kepercayaan dan kesetiaan, bukan cenderung melihat bahwa pernikahan bertahan lama, hubungan membutuhkan cinta dan kebahagiaan, dan hubungan harus menjadi kemitraan. Partisipan melaporkan pandangan tersebut telah memengaruhi pengalaman mereka dalam hubungan. Penelitian Jacquet dan Surra [21] menemukan bahwa persepsi dewasa muda terhadap hubungan dan masalah di dalamnya dapat dipengaruhi oleh perceraian orang tua. Wanita dari keluarga yang bercerai melaporkan lebih sedikit kepercayaan dan kepuasan serta lebih banyak ambivalensi dan konflik dibandingkan wanita dari keluarga utuh. Keadaan ini bisa memburuk karena pengalaman satu orang dapat memengaruhi persepsi pasangannya. Sebagai contoh, jika salah satu merasa sulit percaya karena perceraian orang tua, yang lain mungkin mengalami peningkatan ambivalensi atau melihat lebih banyak konflik dan negativitas. [22];[23], menyatakan bahwa terdapat peningkatan persetujuan terhadap seks pranikah, kohabitasi, dan perceraian oleh anak-anak dari orang tua yang bercerai.
Pandemi COVID-19 menimbulkan potensi perceraian bagi sebagian besar keluarga. Kondisi COVID-19 menciptakan batasan kaku antara keluarga inti dan orang-orang di luar keluarga. Batasan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga pun menjadi kabur dan memberikan peluang baru terjadinya konflik seperti intensifikasi peran orang tua dan penyebab stres lainnya seperti pengangguran dan pengurangan pendapatan. Banyak sekolah ditutup. Anak-anak usia sekolah perlu bersekolah di rumah secara daring. Peran orangtua akhirnya meluas menjadi guru dan pelatih dalam menyelesaikan tugas sekolah dan melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Tanggung jawab tambahan ini meningkatkan stres kerja, terutama bagi wanita yang bertanggung jawab atas sebagian besar tugas ini. Hal ini dapat dengan mudah tumpah dalam hubungan pasangan karena peran perlu didefinisikan ulang [25];[26].
Berbagai daerah di Indonesia melaporkan peningkatan kasus perceraian. Masalah keuangan disebut-sebut sebagai faktor utama dari fenomena ini [41]. Informasi lain menyebutkan bahwa perceraian di Kabupaten Bandung juga memiliki skor yang tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Sadikin, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Soerang yang menjelaskan bahwa gugatan cerai karena faktor ekonomi [35] Pada dasarnya, fenomena perceraian di masa pandemi COVID-19 tidak ditentukan oleh satu faktor tunggal, tetapi ada banyak faktor yang menentukan terjadinya perceraian. Dinamika ini dapat digambarkan dengan bagaimana hubungan pernikahan terjalin selama masa pandemi seperti yang digambarkan pada bagan berikut. Kerangka konseptual pada Gambar 1. diadaptasidari
vulnerability-stress-adaptation model (VSA) serta diilhami oleh ide-ide teori utama mengenai hubungan dan stres keluarga (social-exchange theory, attachment theory, behavioral theory, crisis theory). Tabel tersebut dimodifikasi untuk menunjukkan penyebab stres yang muncul secara khusus dari pandemi COVID-19 (misal, kerugian ekonomi, terisolasi) dan secara terpisah menentukan kerentanan kontekstual yang sudah ada sebelumnya--seperti kelas sosial, status minoritas, dan tahap kehidupan/usia--yang kemungkinan akan menambah efek stres terkait COVID-19 bagi pasangan [34]. Susunan kerangka menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 akan menciptakan berbagai stresor eksternal (Jalur A) yang cenderung mengganggu proses hubungan diadik adaptif (Jalur C), menurunkan kualitas hubungan, dan mengancam stabilitas hubungan (Jalur F dan G). Hubungan timbal balik (Jalur C) menunjukkan bahwa proses hubungan diadik yang lebih buruk juga dapat meningkatkan dampak pemicu stres eksternal (misalnya, dengan menghambat kinerja pekerjaan dan pengasuhan yang efektif, atau memperbesar tekanan berlindung di tempat). Dampak stresor terkait pandemi juga akan diperburuk oleh kerentanan kontekstual yang sudah ada sebelumnya, seperti berpenghasilan rendah atau menjadi anggota kelompok yang terpinggirkan (Jalur B), dan diperbesar ketika salah satu atau kedua pasangan memiliki kerentanan yang bertahan (misalnya, depresi) yang dapat menimbulkan penilaian bias negatif atau reaktivitas emosional yang lebih besar terhadap kesulitan (Jalur D). Kerentanan juga merusak proses diadik adaptif, menghasilkan dukungan, kasih sayang, serta kehangatan yang lebih buruk dan interaksi yang lebih negatif dan permusuhan pada saat pasangan perlu bersandar satu sama lain (Jalur E). Ujung dari faktor-faktor penentu kualitas hubungan adalah bagaimana stabilitas hubungan terbentuk. Stabilitas hubungan yang semakin memburuk di masa pandemi lebih memungkinkan terjadinya perceraian.
Promotif
Instagram merupakan salah satu aplikasi media sosial dengan pengguna terbanyak di dunia [8]. Pada Juni 2018 lalu penggunanya mencapai 1 milyar setiap bulannya. Rata-rata penggunanya berumur antara 25-34 tahun. Melihat data-data tersebut, Instagram merupakan platform yang cocok untuk mempromosikanmengenai permasalahan kesehatan mental. Lee dkk. [27] juga menemukan bahwa banyak orang dengan permasalahan kesehatan mental menggunakan platform ini untuk mencari dukungan rekan (peer support). Selain itu, Boulos dkk. [6] menyatakan bahwa platform ini dapat digunakan untuk menyebarkan pesan kesehatan ke lebih banyak orang. Oleh karena itu, Instagram dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mempromosikan pencegahan perceraian.
Post-post yang diunggah berisi berbagai informasi mengenai pernikahan dan juga perceraian, misal seperti jumlah perceraian dari tahun ke tahun dan pada masa pandemi. Instagram dapat juga diisi mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab perceraian. Kemudian disajikan juga tips-tips yang dapat dilakukanuntukmenjaga keharmonisan dalam keluarga. Informasi-informasi tersebut diharap dapat meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat akan pentingnya menjaga resiliensi dalam keluarga. Selain melalui post-post Instagram, informasi terkait pernikahan, perceraian, dan keluarga juga dapat dibagikan melalui media sosial lain seperti Twitter, WhatsApp, Facebook, TikTok, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia akses internet terbesar digunakan untuk media sosial sebesar 79.13% berdasarkan data Badan Pusat Statistika dari penelitian yang diambil tahun 2017 (BPS, 2019). Informasi terkait keluarga dapat dikemas dalam berbagai bentuk unggahan pada platform-platform tersebut guna meningkatkan kesadaran masyarakat. [4]
Metode preventif
Metode preventif dapat dilakukan dengan mengadakan seminar. Oleh karena adanya pandemi COVID-19, seminar dilakukan secara daring. Dua penelitian mengenai seminar daring yang dilakukan oleh Fadillah dkk. [15] dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat umum tentang peningkatan imunitas dalam menghadapi COVID-19 dan pencegahan COVID-19 pada kelompok rentan terbukti efektif [15];[16]. Dengan mengadakan seminar serupa diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai resiliensi dalam keluarga. Berikut tema-tema seminar yang kami sarankan; 1) Menjaga komunikasi efektif dengan pasangan di masa pandemi COVID-19, Komunikasi yang baik dapat mengurangi dampak stresor dari adanya COVID-19. Banyak bukti menunjukkan bahwa kritik dan permusuhan dapat merusak hubungan Karney & Bradbury dalam [34]; 2) Mengelola finansial selama masa pandemi COVID-19 Permasalahanfinansialdisebut sebagai prediktor utama penyebab perceraiandimasapandemi COVID-19[41] sehingga pembahasan cara mengelola finansial bagi pasangan menjadi hal yang penting; 3) Manajemen stres dalam keluarga COVID-19 adalah stresor eksternal yang tidak mungkin dihindari oleh siapapun. Manajemen stres menjadi penting untuk dibahas agar pasangan mampu mengelola stres selama pandemi COVID-19; 4) Bagaimana cara menjadi support system yang baik untuk pasangan? Pasangan perlu mengetahui bagaimana menjadi support system terbaik di antara mereka. Hal ini dikarenakan risiko pandemi pada kesehatan dan well-being di mitigasi paling baik ketika orang merasa terhubung dan didukung oleh mitra responsif yang peduli dengan kesejahteraan mereka Reis, et.al., dalam [34]; 5) Penguatan religius di dalam keluarga, Religiositas yang dimiliki pasangan berpengaruh positif terhadap hubungan pernikahan. Faktor religiositas juga dapat membantu pasangan dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi [17].
Seminar daring dapat diadakan dengan menggunakan platform yang biasa digunakan, seperti Zoom dan Google Meet. Platform yang populer diharapkan lebih familiar digunakan oleh banyak orang sehingga meminimalisir kendala teknis dalam mengikuti seminar. Penyebaran poster secara daring melalui berbagai media sosial (seperti WhatsApp, Instagram, LINE, dll.) dapat dilakukan beberapa minggu sebelum dilaksanakannya seminar. Perceraian yang terjadi di masa pandemi COVID-19 tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh banyak faktor. Banyaknya faktor ini perlu dikaji dalam berbagai perspektif bidang, seperti sosial, klinis, dan perkembangan. Jika dilihat dari bidang sosial, perceraian di masa pandemi ini dapat disebabkan oleh masalah finansial, status sosial ekonomi yang rendah, dan lain-lain. Perceraian juga dapat diperparah oleh keadaan internal individu, seperti kondisi mental pasien yang memang tidak stabil. Individu bisa jadi memiliki trauma atau kecemasan yang menyebabkan pada keadaannya saat ini. Selain itu, usia individu menjadi faktor lain yang dapat memengaruhi kualitas hubungan. Oleh karena lansia lebih berisiko terkena COVID-19, mereka mengalami stres terkait lansia pandemi yang lebih hebat. Usia perkawinan yang terhitung masih muda juga menjadi faktor dalam memperparah hubungan.
Hal-haltersebutdapat memperburuk kualitas hubungan antar pasangan yang berujung pada perceraian. Oleh karena itu, pelaksanaan seminar disarankan mengundang pembicara yang memang ahli dalam bidangnya. Pertukaran dukungan yang efektif akan sangat penting untuk melindungi kualitas dan stabilitas hubungan antar pasangan sambil mengatasi pemicu stres yang terkait dengan pandemi COVID-19. Pasangan yang mampu mendukung dan responsif menunjukkan hasil emosional dan perkawinan yang lebih baik. Pembicara dapat memberikan pengetahuan tentang topik terkait cara merespon dan mengkomunikasikan permasalahan antar pasangan pada setiap bidangnya. Selain itu, pasangan juga perlu mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana mengelola finansial yang baik selama pandemi COVID-19.
Kuratif
Pemantauan yang cermat juga diperlukan tentang seberapa banyak masalah orang tua memasuki interaksi mereka dengan anak serta tingkat keterpaparan anak terhadap konflik antar orang tua, dan terutama, kekerasan pasangan intim. Mengingat intensitas dan frekuensi kontak yang lebih besar di rumah khas antara orang tua dan anak-anak saat ini, terapis juga perlu campur tangan secara tegas untuk membantu keluarga mengenali pola bermasalah tersebut dan berpindah dari merekasebanyakmungkin. Psikoedukasi, latihan kesadaran, dan restrukturisasi kognitif yang memfokuskan pada kebutuhan aktual anak-anak dapat sangat membantu dalam hal ini [25]. Demikian pula, pasangan harus dibantu untuk memantau frekuensi dan nilai dari percakapan tanpa akhir yang dapat timbul tentang perceraian, terutama lingkaran kesalahan atas kematian perkawinan. Beberapa pemrosesan seperti itu dapat sangat membantu bagi banyak orang, baik dalam hal belajar dari pengalaman ini dan memproses emosi, tetapi dalam lingkungan COVID-19 yang tidak memiliki tempat tujuan, percakapan seperti itu dapat dengan mudah mengarah ke bencana.
Membantu anggota keluarga menciptakan ruang individu juga harus difokuskan secara lebih luas. Mengingat bahwa perpisahan mungkin lebih lambat dari biasanya dan outlet lain terbatas, menciptakan semacam batasan tentang siapa yang menjadi bagian dari ruang apa dan kapan memiliki nilai yang cukup (meskipun banyak keluarga tidak memiliki ruang untuk versi nyaman dari pengaturan itu). Biasanya ini adalah pekerjaan yang sedang berlangsung yang membutuhkan perhatian dari waktu ke waktu. Terkait erat adalah tugas khusus untuk membantu keluarga bekerja sama menuju aman yang disepakati bersama atas harapan untuk berbagai keputusan khusus yang diberlakukan oleh COVID-19; misalnya, kapan harus berhubungan dengan siapa?; kapan harus memakai masker?; dll. Ini juga merupakan waktu di mana perhatian ekstra harus difokuskan pada kebutuhan bersandar pada pasangan yang mempertanyakan perceraian [13]. Dengan tekanan latar belakang dari COVID-19 yang begitu tinggi dan dengan dukungan sosial yang berkurang secara signifikan, bersandar pada pasangan memiliki tugas yang sangat khusus. Bagaimana cara mengatasi rasa sakit yang dalam, sekali seumur hidup tanpa menarik pasangannya ke dalam percakapan yang merusak? Beberapa bentuk terapi individu dengan bersandar pada pasangan, selalu menjadi pilihan yang membantu, sekarang tampaknya lebih dibutuhkan dari sebelumnya.
Mengenai langkah-langkah dalam perceraian, seperti pada masa sebelum COVID-19, membantu klien untuk terlibat dalam proses terstruktur adalah bermanfaat. Kerja sama bekerja jauh lebih baik daripada konflik. Mediasi jauh lebih unggul daripada strategi sarat konflik di hampir semua keluarga [14]. Pengacara dapat lebih siap melanjutkan proses hukum jika ada kerja sama. Membantu orang tua berkolaborasi dan merencanakan bersama tentang bagaimana membawa anak-anak ke dalam percakapan tentang perceraian juga membantu seperti halnya membantumerekadalam mengidentifikasi dan merencanakan kebutuhan anak-anak selama masa ini. Begitu pula membantu keluarga menemukan pengaturan terstruktur di tengah-tengah antara pernikahan dan perceraian untuk saat ini yang mencakup harapan yang dapat dicapai dengan jelas dan dapat menjadi batu loncatan menuju perceraian yang lebih berhasil. Bantu keluarga (terutama pasangan yang bercerai) dalam melihat nilai dari pola pikir kooperatif yang memayungi yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama saat ini dalam konteks realitas sistem peradilan yang lambat. Peran terapis termasuk membantu keluarga bergerak untuk mengidentifikasi dan mencapai langkah-langkah perilaku yang terlibat dalam perceraian dan memungkinkan pekerjaan pada tugas-tugas psikologis yang mendasari menangani tekanan ganda perceraian dan krisis pandemi. Terapi mungkin melibatkan satu terapis yang bekerja dengan seluruh keluarga atau, jika memungkinkan, banyak terapis yang bekerja dengan subsistem keluarga yang berbeda; memiliki banyak terapis umumnya lebih disukai tetapi hanya jika ada koordinasi yang baik antara terapis.
Ada juga perkembangan yang meningkatkan risiko yang dapat dihindari oleh terapis. Mitra baru di masa COVID-19 menghadirkan fokus tambahan untuk perhatian negatif dan menghadirkan lagi perubahan stres pada saat terlalu banyak perubahan seringkali terlalu sulit untuk diproses. Klien (dan pengacaranya) juga harus didorong bahwa ini bukan saat yang tepat untuk menyalahkan petisi. Jika ada konflik besar mengenai hal-hal seperti uang, yang mungkin akan ditangani nanti, sebaiknya menunda diskusi tentang masalah ini. Penelitian akan mengungkap apakah dampak pindah ke teleterapi lebih atau kurang berdampak daripada terapi langsung dengan keluarga ini dan subsistem mereka. Menurut pendapat saya, buku besar itu tampaknya bercampur. Perceraian adalah saat di mana kehadiran terapis yang menenangkan itu sendiri memiliki nilai yang besar, dan kehadiran itu harus dihilangkan tanpa kehadiran fisik. Demikian pula, memperhatikan emosi sangat penting selama waktu ini tetapi lebih sulit untuk terlibat dari kejauhan, dan dengan demikian pemrosesan emosi menderita.
Adanya pandemi COVID-19 ini mengubah gaya hidup setiap orang. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di luar rumah mau tidak mau dilaksanakan di rumah, seperti pekerjaan, sekolah, dan lain-lain. Oleh karena itu, orang-orang pun menjadi lebih sering berada di rumah. Hal ini mengakibatkan intensitas bersama keluarga menjadi meningkat. Hal ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Beberapa keluarga menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan hubungan antar anggota keluarga mereka. Akan tetapi intensitas keluarga yang meningkat juga dapat berakibat pada peningkatan konflik yang dapat berujung pada perceraian. Perceraian yang terjadi di masa pandemi ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja. Permasalahan finansial yang diperparah oleh kondisi mental individu yang dimiliki sebelum terjadinya pandemi akan berdampak lebih berat pada individu tersebut dibandingkan dengan individu lain yang kondisi mentalnya lebih stabil. Hubungan attachment yang kurang sehat pada pasangan juga meningkatkan risiko terjadinya perceraian saat pandemi COVID-19.
Tindakan promotif, preventif, dan kuratif perlu dilaksanakan untuk mengatasi isu perceraian ini. Instagram dapat menjadi wadah untuk mempromosikan mengenai pentingnya menjaga kualitas keluarga di masa pandemi. Kemudahan dalam menyediakan informasi di Instagram dan kemudahanmasyarakatdalam mengaksesnya menjadikannya platform yang tepat. Kemudian, tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan seminar bertemakan keluarga. Seminar yang dilakukan secara daring ini diharapkan dapat menjangkau banyak masyarakat dari berbagai daerah dan diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu perceraian. Dalam proses perceraian, pasangan juga perlu dituntun untuk menyelesaikan permasalahannya melalui komunikasi yang positif dan juga memperhatikan kondisi mental anak. Isu mengenai perceraian perlu perhatian lebih berupa penanganan yang nyata. Penanganan promotif dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai platform online, seperti Instagram, YouTube, Website, dan lain-lain. Penanganan preventif dapat dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar daring bertemakan keluarga. Kemudian, penanganan kuratif dapat dilakukan dengan melakukan supervisi secara online kepada pasangan yang bercerai, psikoedukasi, mediasi hukum, dan telekonseling pada pasangan dan anak. Penanganan kuratif membutuhkan psikolog & badan hukum untuk merealisasikan program-programnya. Selain psikolog dan badan hukum, masyarakat juga berperan dalam prosesnya. Supaya masyarakat tergerak untuk mendukung program-program tersebut, mereka memerlukan kesadaran. Oleh karena itu, usaha promotif dan preventif dilakukan dengan tujuan menyadarkan masyarakat akan pentingnya isu perceraian.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada Drs. Haryanto, M.Si., Dra. Siti Waringah, M.Si., dan Dr. Phil. Qurotul Uyun.