The prevalence of bullying among adolescents is getting higher these days. This behavior arises because of a lack of literacy about bullying behavior and inappropriate attitudes towards bullying behavior itself. To reduce the prevalence of bullying among adolescents, it is necessary to hold interventions, both as a preventive and curative effort. This study aims to see how effective peer counselor training is as an effort to reduce the prevalence of bullying behavior in adolescents against changes in the level of knowledge and attitudes about bullying behavior. This study used a quantitative approach, involving 26 participants (male = 4, female = 22) aged 15 to 18 years. The peer counselor training activity itself consists of several methods including (1) Education and Training, (2) Display, (3) Roleplay, (4) Focus Group Discussion, (5) Field assignments, (6) Pre-test and post- test, and (7) Dissemination of knowledge and skills to other students. The data in this study were analyzed using the SPSS ver. 26 for Windows. Through this research, it is proven that peer counselor training can significantly increase knowledge and form a more negative attitude towards bullying behavior, seen from the two-tailed sig score p <0.05. The results of this study have the potential to be used as an effort to reduce the prevalence of youth bullying in Indonesia.
Usia remaja merupakah salah satu tahapan perkembangan individu sepanjang hayat. Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa [7]. Pada masa remaja tersebut, individu memunculkan karakteristik-karakteristik yang khas dalam berbagai aspek, baik fisik maupun psikologis. Perkembangan psikologis individu pada masa remaja umumnya bergerak pesat, di antaranya pada aspek kognitif, sosial, seksual, moral, dan lain-lain. Diantara aspek-aspek tersebut, perkembangan sosial pada masa remaja menjadi salah satu aspek yang paling menonjol dan tidak dapat dihindari. Perkembangan sosial remaja ditunjukkan dengan semakin meluasnya hubungan sosial, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan terdorong untuk mencoba hal-hal baru (eksperimentasi), baik yang bersifat positif maupun negatif [1]. Dalam rangka memenuhi tugas perkembangan dalam aspek sosial, remaja harus menjalin relasi dengan teman-teman sebayanya. Keberhasilan dalam menjalin relasi dengan teman sebaya pada masa remaja tersebut merupakan investasi agar individu dapat mengembangkan relasi yang lebih matang ketika memasuki usia dewasa [11]. Semakin luas dan intensif relasi yang dibangun oleh remaja akan mengarahkan remaja pada pembentukan kelompok-kelompok sosial yang sesuai dengan tujuan mereka [8]. Selain itu, relasi yang luas dan dibangun secara intensif akan berkontribusi pada keterlibatan remaja dalam hal-hal yang positif. Meskipun demikian, tidak sedikit relasi remaja yang mengarah pada luaran negatif, seperti munculnya perilaku bullying.
Dan Olweus mendefinisikan bullying sebagai perilaku atau perangai negatif yang menyebabkan orang lain berada dalam situasi yang tidak nyaman, dilakukan untuk melukai orang lain, dan terjadi berulang kali [10]. Perilaku bullying dapat muncul dimana saja, termasuk di sekolah. Praktik bullying yang trejadi di sekolah (school bullying) merupakan suatu tindakan agresif yang dilakukan siswa atau sekelompok siswa secara berulang, dimana siswa tersebut memiliki kekuasaan (power) atas siswa yang lebih lemah. Perilaku tersebut ditujukan untuk membuat korban merasa tidak senang dan terkadang tidak memiliki alasan yang jelas selain untuk menyakiti siswa yang dianggap lemah [6]. Munculnya perilaku bullying disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pola asuh orang tua, hubungan dengan keluarga, kelompok sosial, dan media [2]. Perilaku bullying dapat disebabkan oleh relasi yang dibangun dengan teman sebaya. Pola pertemanan sebaya akan membentuk perilaku remaja, termasuk pada kasus bullying. Sering kali remaja yang melakukan bullying justru bukan karena dorongan internal, melainkan tuntutan untuk membaur dengan kelompok. Individu dalam kelompok sosial akan berusaha untuk dapat mencapai taraf konformitas agar diterima oleh anggota kelompok lainnya [8].
Dewasa ini, kasus-kasus bullying, terutama di kalangan remaja, marak diberitakan dalam media massa, baik cetak maupun elektronik. Wang [9] menyebutkan berdasarkan data internasional, 8 persen anak usia 11 tahun pernah melakukan tindakan bullying dan 13 persen pernah menjadi korban bulying[4]. Jika tidak segera ditangani, maka permasalahan bullying dapat berlanjut hingga tahapan usia remaja, bahkan dewasa. Kasus bullying di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan, bahkan mengarah pada tindakan kriminal yang lainnya. Terdapat banyak kasus kekerasan fisik, seperti perkelahian, di kalangan remaja yang berawal dari tindakan saling olok. Secara khusus, prevalensi kasus bullying di Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi di Indonesia, memiliki angka yang relatif tinggi. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur menyatakan bahwa Jawa Timur tergolong sebagai daerah rawan kekerasan terhadap anak. Dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2015, terjadi 263 kasus perundungan anak di Jatim dan hampir merata kejadiannya di seluruh kota/kabupaten di wilayah Jawa Timur. Meskipun belum ada data terbaru terkait jumlah spesifik anak yang terlibat dalam kasus bullying, namun dapat dipastikan bahwa angkanya masih sangat tinggi. Kasus bullying yang terjadi bagaikan fenomena gunung es, dimana laporan yang diterima hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kasus bullying yang terjadi.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan melalui proses wawancara dengan Kepala SMA Negeri 1 Jember, terdapat banyak praktik bullying yang terjadi di sekolah, seperti bullying verbal, psikologis, dan fisik. Bahkan siswa seolah mewajarkan tindakan saling olok secara verbal dalam keseharian. Biasanya tindakan kekerasan vebal dan psikologis yang dilakukan oleh siswa sering kali luput dari penanganan sekolah. Selama ini sekolah lebih fokus terhadap penanganan kasus-kasus bullying yang melibatkan kekerasan fisik. Pemahaman siswa dan pihak sekolah terkait bullying selama ini masih sangat minim. Sering kali siswa dan pihak sekolah tidak mampu mengidentifikasi perilaku-perilaku yang tergolong dalam tindakan bullying. Pihak sekolah kadang kala kesulitan membedakan mana perilaku yang tergolong tindakan bullying dan mana yang tergolong tindakan agresi biasa.[3] Dalam data yang sama, pihak sekolah mengungkapkan bahwa selama ini telah melakukan pencegahan dan penanganan kasus bullying, namun siswa tetap memunculkan perilaku-perilaku tersebut saat tidak sedang diawasi oleh pihak sekolah. Di samping itu, pihak sekolah, seperti guru, memiliki keterbatasan dalam mengawasi setiap siswanya. Salah satunya ketika jam istirahat. Keterbatasan ini membuat penanganan kasus-kasus bullying di kalangan siswa menjadi lebih sulit.
Pengalaman yang sama sangat mungkin dialami oleh remaja secara universal. Dengan meluasnya relasi sosial yang dibangun oleh remaja, maka akan ada tantangannya tersendiri. Jika proses perkembangan sosial remaja ini tidak terkelola dengan baik dan bijaksana, maka sangat mungkin mengakibatkan dampak-dampak negatif terhadap remaja. Kesalahan dalam membangun relasi sosial dapat menjerumuskan remaja pada perilaku-perilaku yang tidak diinginkan karena kemampuan kontrol diri remaja yang belum berkembang secara optimal [7]. Untuk dapat menekan prevalensi perilaku bullying di kalangan remaja, maka diperlukan kontribusi remaja itu sendiri dalam menangani kasus bullying. Salah satunya dengan menjadi konselor sebaya dalam menangani kasus-kasus bullying di sekolah. Penelitian ini akan melihat sejauh mana pelatihan konselor sebaya untuk menangani kasus bullying dapat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan tentang bullying dan perubahan sikap terhadap bullying oleh remaja. Dengan bertambahnya jumlah siswa yang terampil menjadi konselor sebaya untuk kasus-kasus bullying, maka diharapkan mampu menekan prevalensi kasus bullying di sekolah tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan ditujukan untuk mengukur program pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja. Kegiatan pelatihan konselor sebaya itu sendiri terdiri dari beberapa metode meliputi (1) Pendidikan dan Pelatihan, (2) Display, (3) Roleplay, (4) Focus Group Discussion, (5) Penugasan lapangan, (6) Pre-test dan post-test, dan (7) Diseminasi pengetahuan dan keterampilan pada siswa lain. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 26 orang (pria = 4, wanita = 22) yang berusia 15 hingga 18 tahun. Seluruh partisipan merupakan siswa SMA Negeri 1 Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Penelitian ini melakukan pengukuran terhadap tingkat pengetahuan partisipan tentang bullying dan sikap terhadap perilaku bullying. Partisipan diberikan pre-test dan post-test untuk melihat perubahan pada tingkat pengetahuan dan sikap partisipan terhadap perilaku bullying. Skala tes pengetahuan merupakan soal pilihan ganda yang disusun sesuai dengan materi yang disampaikan saat pelatihan. Sedangkan skala tes sikap menggunakan skala yang diadaptasi dari penelitian Rudi [5]. Skala sikap tersebut memiliki nilai Cronbach Alpha sebesar 0.957 Hasil yang diperoleh dari pre-test dan post-test selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS ver. 26 for Windows. Analisis data untuk skala kognitif dan skala sikap menggunakan Paired Sample Test program SPSS ver. 26 for Windows.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, terlihat bahwa pengetahuan partisipan tentang bullying meningkat setelah diberikan pelatihan. Hal ini terlihat dari nilai sig. (two-tailed) p < 0.05. Hasil analisis data pre-test dan post-test pengetahuan dengan Paired Sample Test program SPSS ver. 26.00 for Windows adalah sebagai berikut:
Paired Samples Test | |||||||||
Paired Differences | t | Df | Sig. (2-tailed) | ||||||
Mean | Std. Deviation | Std. Error Mean | 95% Confidence Interval of the Difference | ||||||
Lower | Upper | ||||||||
Pair 1 | Pretest - Posttest | -8,68182 | 11,96577 | 2,55111 | -13,98714 | -3,37649 | -3,403 | 21 | ,003 |
Sikap partisipan terhadap perilaku bullying juga mengalami perubahan. Sikap partisipan terhadap bullying menjadi lebih negatif setelah diberikan pelatihan. Hal ini terlihat dari nilai sig. (two-tailed) p < 0.05. Hasil analisis data pre-test dan post-test sikap terhadap perilaku bullying dengan program SPSS ver. 26.00 for Windows adalah sebagai berikut:
Paired Samples Test | |||||||||
Paired Differences | t | Df | Sig. (2-tailed) | ||||||
Mean | Std. Deviation | Std. Error Mean | 95% Confidence Interval of the Difference | ||||||
Lower | Upper | ||||||||
Pair 1 | Pretest - Posttest | 13,34615 | 8,51794 | 1,67051 | 9,90568 | 16,78663 | 7,989 | 25 | ,000 |
Berdasarkan uji perbedaan nilai pre-test dan post-test pada pengetahuan partisipan, diketahui bahwa tingkat pengetahuan partisipan sebelum dan setelah diberikan pelatihan mengalami peningkatan. Hal ini dilihat melalui nilai sig. (two-tailed) sebesar 0.003, dimana p < 0.05. Artinya terdapat perubahan yang signifikan antara nilai sebelum diberikan pelatihan (pre-test) dengan nilai setelah diberikan pelatihan (post-test). Dapat disimpulkan bahwa pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan partisipan tentang bullying.
Berdasarkan uji perbedaan nilai pre-test dan post-test pada sikap partisipan terhadap perilaku bullying, diketahui bahwa sikap partisipan sebelum dan setelah diberikan pelatihan mengalami perubahan menjadi lebih negatif. Hal ini dilihat melalui nilai sig. (two-tailed) sebesar 0.000, dimana p < 0.05. Artinya terdapat perubahan yang signifikan antara nilai sebelum diberikan pelatihan (pre-test) dengan nilai setelah diberikan pelatihan (post-test). Dapat disimpulkan bahwa pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja secara signifikan dapat mengubah sikap partisipan terhadap perilaku bullying menjadi lebih negatif.
Pelaksanaan program pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja telah terlaksana dengan baik dan dinamis. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pengetahuan partisipan tentang bullying dan perubahan sikap menjadi lebih negatif terhadap perilaku bullying. Berdasarkan hasil tersebut, peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap terhadap bullying dapat membantu partisipan menjadi konselor sebaya yang baik dan membantu pihak sekolah untuk memiliki agen perubahan agar prevalensi perilaku bullying di sekolah dapat ditekan. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan pembaca terkait efektivitas pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk membuat peraturan sebagai upaya menekan prevalensi kasus bullying di Indonesia.
Kegiatan pelatihan konselor sebaya untuk prevensi dan kurasi perilaku bullying di kalangan remaja ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan dan peran serta pihak terkait. Ucapan terima kasih penulis kepada: Universitas Airlangga, khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) yang telah memfasilitasi seluruh pelaksanaan kegiatan. Pemerintah Kabupaten Jember yang telah terbuka menjalin kerja sama dengan Universitas Airlangga sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. SMA Negeri 1 Jember yang telah berpartisipasi dalam seluruh rangkaian kegiatan pelatihan. Narasumber dalam seluruh rangkaian kegiatan. Seluruh tim pelaksana kegiatan pelatihan yang membantu pelaksanaan kegiatan dari awal hingga akhir.