The COVID-19 pandemic has a major impact on the education sector, where the learning system is switched from conventional to online. This creates academic stress on students because they are required to adapt to the new system. Grit is a suggestion as well as a solution that can be applied during the online learning system because grit is assumed to be able to reduce academic stress in students. The purpose of this literature study is to provide solutions as an effort to reduce academic stress in the face of online learning during the COVID19 pandemic. The results of the literature review found that individuals with high grit will focus, persevere and never give up on all situations faced, so as to prevent students from experiencing academic stress.
Akhir Desember 2019 dunia digegerkan dengan munculnya penyakit mematikan di Wuhan China. Penyakit ini menimbulkan gejala yang mirip dengan flu dengan gejala ringan seperti batuk, bersin-bersin, dan demam. Pada tingkat berat penyakit ini menimbulkan gejala pneumonia yaitu radang paru-paru sampai berakibat fatal seperti kematian. Penyakit ini akhirnya dikenal dengan nama Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia WHO, secara resmi menyatakan Covid-19 sebagai pandemikk pada 11 Maret.[23] Covid-19 memaksa pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan PSBB pertama, berlaku untuk Kota Jakarta sebagai kota dengan angka tertinggi korban terjangkit virus Corona dan mulai berlaku pada 8 April 2020 [22]. Nasruddin dan Haq [17] mengemukakan bahwa PSBB merupakan salah satu strategi pemerintah dalam pencegahan virus Corona. Presiden Joko Widodo menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mulai bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah [18]. Pernyataan yang dikeluarkan oleh presiden di respon dengan sekolah dan universitas ditutup, tempat ibadah ditutup untuk sementara, menjaga jarak di tempat kerja, penutupan pusat belanja sampai larangan mudik. Hal ini memaksa orang-orang untuk mengurangi interaksi satu sama lain, dan mulai membiasakan diri menerapkan pola hidup baru selama pandemik.
Pembatasan sosial menimbulkan berbagai dampak disetiap bagian kehidupan karena masyarakat dipaksa untuk berkegiatan diluar dari kebiasaan. Persoalan mulai muncul pada sektor ekonomi. [6] mengemukakan bahwa sebanyak 2,2 juta pekerja dipecat dan dirumahkan, ribuan perusahaan bangkrut, dan angka kemiskinan meningkat sebanyak 1,1 - 3,78 juta, membuat masa pandemik semakin pelik. Dampak psikologis pun tidak lepas dari pengaruh yang ditimbulkan oleh pandemik Covid-19. Riset oleh Hoerger, Alonzi, Voss, dan Genhart [9] menunjukkan reaksi terhadap pandemik pada 40 hari pertama sejak diumumkan oleh WHO yaitu, reaksi tertinggi adalah munculnya kepanikan, disusul cemas, ketakutan terhadap kesehatan dan mengalami histeri. Pada pertengahan riset, bagan memperlihatkan 4 reaksi ini mengalami peningkatan signifikan sehingga menjadi setara. Riset lain juga menunjukkan bahwa saluran bantuan kesehatan mental dilaporkan dibanjiri dengan penelpon yang mengeluh kecemasan, upayah bunuh diri dan kematian karena bunuh diri sebagai akibat dari pandemik Covid-19 [12].
Shigemura dan Kurosawa [21] mengemukakan bahwa orang yang terkena covid, mendapat stigma sebagai pesakitan dan berdampak dijauhi dan mendapat diskriminasi. Hal ini sangat mempengaruhi kesehatan mental orang-orang dengan profesi yang dekat dengan virus corona. Kyodo Shigemura dan Kurosawa [21] melaporkan bahwa kematian pertama di Jepang akibat pandemik bukan karena terinveksi virus corona namun, karena pekerjaan. Seorang pegawai pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengembalikan warga dari Wuhan meninggal karena bunuh diri pada 1 Februari. Blanc, Keseph, Louis dan Louis [4] mengemukakan bahwa dampak covid-19 mengancam jiwa karena mengganggu rutinitas sehari-hari, kehilangan pekerjaan, stres yang meningkat, dan meningkatnya ketidakpastian. Hal ini menimbulkan pertimbangan bahwa covid-19 sebagai peristiwa yang berpotensi trauma. Paper ini akan membahas dan memaparkan kajian literatur terkait dampak Covid dalam dunia pendidikan dan grit sebagai variabel well-being dalam psikologi yang dapat menjadi solusi untuk menanggulangi penyebab yang ditimbulkan.
Dampak Covid -19 dalam dunia pendidikan
Covid yang menyerang dunia memaksa setiap jengkal kehidupan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan aktivitas yang berfokus di rumah, utamanya dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang awalnya dilaksanakan dengan tatap muka secara langsung di sekolah/kampus dialihkan secara daring. Hal ini menimbulkan beragam reaksi dengan perlunya pelajar beradaptasi dengan sistem belajar baru, menggunakan perangkat lunak laptop dan dukungan jaringan yang memadai agar proses memberi dan menerima ilmu berjalan efektif. [1] memaparkan empat dampak pandemik covid dalam bidang pendidikan, yaitu:
Jaringan internet belum merata di pelosok negeri. Sekalipun telah tersedia jaringan internet masih memiliki gangguan, sehingga menghambat proses belajar-mengajar.
Berdasarkan hasil penelitian Moawad [15] menunjukkan bahwa stresor tertinggi yang mempengaruhi pelajar pada minggu pertama setelah berubah dari belajar konvensional ke online adalah ketidakpastian yang dirasakan mengenai ujian, akhir semester, dan sistem baru penilaian. [7] mengemukakan bahwa peningkatan jumlah stres akademik akan menurunkan kemampuan akademik yang berpengaruh terhadap indeks prestasi. Beban yang dianggap terlalu berat dapat memicu gangguan memori, konsentrasi, penurunan kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan akademik. Stresor kedua tertinggi dari hasil riset Moawad [15] yaitu, masalah internet dan sinyal lemah juga menjadi sumber stresor yang dihadapi oleh sebagian pelajar. Tuntutan tugas yang lebih banyak terkhusus masalah internet dan sinyal lemah dapat mengakibatkan resiko mengidap depresi. Pembelajaran yang dilaksanakan di rumah menyebabkan siswa tidak dapat mengakses buku, komputer dan koneksi internet kecepatan tinggi [20]. Berdsarkan studi literatur tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran melalui online menjadi mudah karena dapat dilaksanakan dimana saja termasuk di rumah. Namun, hal tersebut tetap menjadi beban karena beberapa kendala yang tidak dapat diprediksi menjadi sumber stres, seperti halnya jaringan yang tidak stabil, gadget yang digunakan mendadak hang, dan situasi lain yang dihadapi ketika pembelajaran dilaksanakan dirumah. Situasi-situasi yang dihadapi oleh pelajar tersebut memunculkan kecemasan dan akhirnya berujung stres akademik.
Grit dan stres akademik
Stres adalah situasi dimana individu menilai jika kemampuan yang ia miliki tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan sehingga menimbulkan tekanan dalam diri individu tersebut [13]. Tuntutan akademik yang melebihi kemampuan pada diri individu disebut sebagai stres akademik [11]. Stres akademik disebabkan oleh (Perceived academic failure) persepsi akan kegagalan akademik.Peningkatan jumlah stres akademik akan menurunkan kemampuan akademik yang berpengaruh terhadap indeks prestasi [14]. Hernawati, dkk [2] mengemukakan bahwa individu yang mengalami stres akademik menunjukkan gejala emosional dan fisik. Gejala emosional yang ditunjukkan yaitu, gelisah atau merasa cemas, sedih dan depresi karena tuntutan akademik. Individu merasa harga dirinya menurun karena tidak merasa mampu untuk melaksanakan tuntutan akademik. Gejala fisik yang ditunjukkan yaitu, sakit kepala, jantung berdebar, perubahan pola makan, lemas, sering buang air kecil, dan sulit menelan.
Salah satu sumberdaya psikologik yang dilaporkan dapat mempengaruhi penilaian pelajar terhadap stresor akademk adalah grit[14]. Studi Lee, [14] menemukan bahwa grit berkorelasi negatif dengan stres akademik. Temuan Lee mengungkapkan bahwa stres akademik disebabkan oleh (Perceived academic failure) persepsi akan kegagalan akademik. Artinya, semakin pelajar takut untuk gagal, maka pelajar tersebut berpotensi untuk stres ataupun stres yang dialaminya tinggi.[14]. Grit adalah ketekunan dan hasrat pada tujuan, dimana individu mempertahankan minat, berupayah, dan bertahan pada tugas dalam waktu yang lama [5]. Muenks, Wigfield, Yang, O’Neal [15] mengemukakan bahwa grit mendorong individu untuk memiliki kesadaran diri terkait tugas, sehingga individu dengan grit mampu tetap konsisten mengerjakan tugas sekalipun tugas yang dikerjakan sulit dan membosankan.
Duckworth [5] mengemukakan bahwa grit terdiri dari dua dimensi, yaitu konsisten pada minat dan ketekunan terhadap usaha. Konsistensi pada minat, yaitu kemampuan siswa/mahasiswa untuk mempertahankan level minat pada titik yang sama dalam jangka panjang ketika mengerjakan suatu tugas. Kedua, ketekunan pada usaha, yaitu kemampuan siswa/mahasiswa untuk mengeluarkan usaha yang bertahan lama (durable effort) untuk mengatasi tekanan atau hambatan ketika mengerjakan tugas akademik. Akbağ dan Ümmet dalam [19] mengemukakan bahwa grit mendorong individu untuk terus melakukan perilaku yang berorientasi pada tujuan, meskipun dalam prosesnya menemui hambatan, kesulitan, dan keputusasaan. Individu dengan kecenderungan grit yang tinggi tidak akan mudah bosan. Mereka semakin terpacu untuk mengatasi setiap hambatan yang ada, bahkan ketika individu lain lebih memilih untuk menyerah. Hal ini bisa menjadi solusi untuk menangani stres akademik dengan terpacu untuk mengatasi hambatan dan tidak mudah berputus asa selama belajar masih berlangsung dirumah.
Berdasarkan pemaparan diatas diketahui grit yang tinggi membuat individu mampu bekerja keras untuk fokus pada tugas dan berusaha semaksimal mungkin sekalipun menghadapi tantangan, kegagalan, dan hambatan. Hal ini dapat diterapkan pada pelajar dalam beradaptasi dengan sistem baru akibat pandemik covid. Individu dengan grit yang tinggi juga memiliki sikap positif tentang diri, kehidupan dan dunia (Rosyadi & Laksmiwati, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa stres akademik yang dirasakan oleh pelajar dapat menurun apabila memiliki grit yang tinggi, karena mampu mengafirmasi positif diri sendiri untuk tetap semangat menghadapi ketidakpastian dalam proses belajar selama pandemik. Lalu bagaimana membedakan gritdengan variabel lain yang memiliki irisan makna yang hampir sama seperti, resiliensi, adversity question dan motivasi? [8] mengemukakan bahwa adversity question merupakan strategi atau kecerdasan individu dalam menghadapi kesulitan. Variabel ini berfokus pada kapasitas dan kecerdasan individu dan peningkatan kecerdasan baru tersebut, sedangkan resiliensi lebih menekankan pada proses koping dan adaptasi individu dalam menghadapi kesulitan. Kemudian perbedaan grit dan motivasi yaitu, keduanya tidak bisa dipisahkan karena motivasi menjadi salah satu yang mendasari terbentuknya grit pada individu. Grit hadir untuk mempertahankan motivasi terhadap minat dan ketekunan terhadap tugas. Secara umum irisan yang paling mendasari perbedaan grit dengan variabel lain adalah grit berfokus pada aktivitas tertentu, sehingga ruang lingkup grit terbatas hanya pada lima aktivitas yaitu, akademik, sosial, kesehatan, ekstrakulikuler dan emosional [3].
Kaitan dengan Psikologi isla m
Menyikapi pandemik covid, sebagai seorang muslim hendaklah kita kembali kepada ajaran-ajaran agama kita. Berikut ini beberapa kiat-kiat yang dapat kita tempuh sebagai seorang muslim dalam menyikapi wabah virus corona yang sedang mewabah saat ini. Pada kondisi yang tidak menentu saat ini dibutuhkan keadaan mental dan psikis yang kuat agar seorang bisa bertahan dalam kondisi apapun ketika mendapat masalah dan tantangan. Allah SWT mengajarkan umatnya untuk mempunyai mental yang kuat dan semangat yang tinggi walaupun mengalami kegagalan dan penderitaan, Al- Qur’an menyatakan bahwa
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (QS: Al-Imran [3]:139).
Sebenarnya Allah SWT tidak akan menguji umatnya melebih kemampuannya. Ada individu yang tidak dapat bertahan secara psikologis dan fisik dalam menghadapi stres ketika menghadapi situasi yang menekan, namun ada pula individu yang begitu tegar, optimistis dan memandang tekanan hidup sebagai tantangan yang dapat dihadapi. Ujian dan cobaan datang bukan untuk menyakiti, melainkan karena kasih sayang Allah kepada kita [10].
Perintah untuk bersungguh dan pantang menyerah
Temuan Duckworth [5] menjelaskan bahwa pencapaian tujuan tidak hanya memerlukan bakat, tetapi juga konsisten dari waktu ke waktu. Juga individu diarahkan untuk mendorong usaha maksimal yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan salah satu pepatah arab yang terkenal, yaitu:
مَنْ جَدَّ وَجَدَ
Siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil atau sukses
Arti dari pepatah Arab tersebut bisa dimaknai bahwa, orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh, pasti akan mencapai tujuannya, dalam artian dia akan berhasil meraih hal yang diusahakan. Sama halnya dengan grit yang memiliki definisi bahwa individu yang berusaha keras pantang menyerah dan berupayah dengan kesungguhan maka mereka mendapatkan hasil yang memuaaskan. Karena yang menuntukan kesuksesan bukan IQ namun kerja keras [5].
Situasi pandemik Covid-19 yang menyerang seluruh dunia saat ini membuat kita terbatas dalam segala hal aktivitas, termasuk dalam proses belajar yang dialihkan melalui daring. Segala hambatan yang ditemui seharusnya tidak membuat kita menjadi putus asa dan berlarut meratapi nasib. Kita mampu untuk bangkit secara fisik dan psikologis. Sesuai dengan firman Allah pada (QS. Ar-Ra’d [13]: 11) yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”
Pada ayat tersebut Allah menegaskan bahwa situasi yang kita hadapi tidak akan berubah kecuali kita berinisiatif sendiri untuk bangkit dan pantang menyerah menghadapi cobaan. Kita tidak bisa menunggu dan berharap pandemik covid segera berlalu, tapi kita bisa memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia untuk kembali semangat belajar sekalipun menemui banyak tantangan dan kendala.
Pandemik Covid-19 memberikan berbagai dampak dalam setiap bagian kehidupan, terkhusus dalam dunia pendidikan. Penerapan sistem belajar yang dialihkan dari konvensional menjadi online menyebabkan stres akademik pada pelajar. Hal ini diakibatkan karena pelajar butuh beradaptasi pada metode pengajaran, sistem penilaian, dan sistem ujian semester secara online. Belum cukup beradaptasi dengan sistem baru, pelajar dihadapkan pada kendala jaringan internet yang buruk, dimana hal ini semakin menambah kekhawatiran pada pelajar ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Penambahan tugas dari tenaga pengajar pun semakin bertambah karena keterbatasan pertemuan tatap muka, sehingga guru memaksimalkan pada tugas. Grit sebagai variabel psikologi yang diyakini mampu menurunkan stres akademik melalui ketekunan dan konsisten pada tugas. Apabila pelajar memiliki Grit yang tinggi mereka mampu mengatasi berbagai situasi dalam proses belajar karena grit mampu mendorong individu untuk berorientasi pada tugas sekalipun menghadapi kendalam dalam prosesnya.
Sebagaimana tujuan penelitian ini, melalui riview literatur dicapai beberapa kesimpulan ditemukan bahwa stres akademik berkolerasi dengan grit. Grit dianggap mampu menjadi solusi terhadap pelajar selama penerapan sistem belajar online, karena grit mendorong kesadaran diri dalam pengerjaan tugas, sehingga stres akademik bisa diminimlisir dan pembelajaran secara online dapat berjalan efektif.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Libbie Annatagia, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Ibu Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan Bapak Nur Widiasmara, S.Psi., M.Psi., Psikolog yang telah membimbing dan mendukung penulis dalam proses pembuatan paper ini. Ucapan terima kasih pula kepada Fakultas Psikologi UII yang membantu penulis dalam mendanai paper ini untuk diikutkan dalam seminar UIICP.