Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.627

Differences in the Effectiveness of Storytelling Using Role Playing and Hand Puppet Methods to Increase Knowledge of Early Childhood Prosocial Behavior


Perbedaan Efektivitas Mendongeng Menggunakan Metode Bermain Peran Dan Boneka Tangan Untuk Meningkatkan Pengetahuan Perilaku Prososial Anak Usia Dini

Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya
Indonesia
Storytelling Role Playing Hand Puppets Prosocial Knowledge

Abstract

Prosocial behavior in childhood is a predictor of prosocial behavior in the future. when the child has not been able to perform prosocial behavior, this can lead to some behavior that is not in accordance with social expectations. The purpose of this study was to compare the effectiveness of storytelling using role playing methods and hand puppets in increasing the knowledge of early childhood prosocial behavior. This study used a quasi experimental method involving 34 subjects. The instrument used was a pro-social measurement tool for early childhood in the form of 8 series of picture cards related to the aspects of knowledge of prosocial behavior. There are 3 research hypotheses, each storytelling method, namely role playing and hand puppets, is effective in increasing knowledge of prosocial behavior in early childhood and there are differences in the effectiveness of storytelling using role playing methods and hand puppets to increase knowledge of early childhood prosocial behavior. The results of the paired sample T-test show that storytelling uses the effective role-playing method and storytelling using the hand puppet method is effective in increasing knowledge of early childhood prosocial behavior. The results of the independent sample T-test showed that there was no difference in the effectiveness of storytelling using role playing methods and hand puppets in increasing the knowledge of early childhood prosocial behavior.

Pendahuluan

Anak usia dini adalah anak yang berusia 0 sampai 6 tahun [8]. Pada masa ini terjadi pertumbuhan biologis, psikososial, kognitif dan spiritual yang sangat signifikan.[9] Masa ini merupakan masa yang tepat untuk mempelajari keterampilan tertentu. Keterampilan-keterampilan yang sesuai untuk dipelajari di masa ini tercermin pada tugas perkembangan masa kanak-kanak awal. Salah satu tugas perkembangan pada masa tersebut menurut Hildebrand mengutip pendapat Triyon & Lilienthal adalah kemampuan saling memberi dan berbagi kasih sayang antara anak yang satu dengan anak yang lain untuk dapat hidup bermasyarakat secara aman dan bahagia dalam lingkungan baru di sekolah. Anak diharapkan dapat memahami keadaan orang lain, salah satunya adalah dengan berbagi dan menolong orang lain. Tolong-menolong, kerjasama, dan gotong royong dalam psikologi termasuk bentuk-bentuk perilaku prososial Eisenberg & Mussen [5]. Perilaku prososial didefinisikan tindakan sukarela untuk membantu dan memberikan manfaat ada orang lain Eisenberg & Mussen, [5]. Menurut Jackson & Tisak [10] aspek-aspek perilaku prososial meliputi menolong, berbagi, menghibur dan kerjasama Menolong adalah respon yang diberikan kepada seseorang yang mengalami hal negatif atau yang tidak diinginkan. Berbagi adalah memberikan hak miliknya untuk memberikan keuntungan pada orang lain. Menghibur adalah tindakan untuk meningkatkan suasana hati positiforang lain misalnya menghibur orang yang sedih. Kerjasama adalah bekerja bersama dalam tindakannya untuk mencapai tujuan yang spesifik.

Sebuah penelitian longitudinal mengenai berbagi permen yang melibatkan anak-anak berumur sekitar lima tahun menemukan bahwa anak yang pada tahun-tahun sebelumnya diketahui oleh guru sebagai anak yang mudah bekerja sama, memiliki rasa empati, penuh perhatian, teguh dan murah hati akan membagikan permennya ketika dihadapkan pada situasi dimana ia diminta untuk membagikan permennya. Sebaliknya anak yang diketahui sebagai anak yang agresif dan tidak dapat menunda kepuasan, tidak membagikan permennya. Pola pengukuran yang dilakukan secara independen dan dilakukan dalam waktu yang berbeda ini membuktikan bahwa tindakan prososial cenderung konsisten, umum, dan abadi Eisenberg & Mussen. [5] Konsistensi munculnya perilaku prososial, membuat perilaku ini penting untuk diajarkan sejak dini, karena perilaku prososial dimasa kanak-kanak merupakan prediktor perilaku prososial di masa yang akan datang [6]. Terlebih lagi, ketika anak belum dapat melakukan perilaku prososial, maka hal ini dapat menimbulkan beberapa perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Menurut Eisenberg [6], anak yang berada pada tingkatan penalaran moral prososial yang lebih rendah akan cenderung melakukan diskriminasi dalam menolong seseorang, pemberian bantuan dilakukan berdasarkan seberapa dekat ia dengan orang itu.

Melihat hal tersebut, maka dibutuhkan berbagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan perilaku prososial untuk merangsang anak usia dini dalam melakukan perilaku prososial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendongeng. Dongeng merupakan salah satu metode untuk memberi contoh perilaku kepada anak. Berkowitz & Bier menyebutkan bahwa contoh perilaku (modeling) merupakan salah satu strategi penanaman pendidikan karakter yang efektif [2]. Menurut Moeslichatoen [12] terdapat beberapa macam metode mendongeng yang dapat dipergunakan yaitu, membaca langsung dari buku, menceritakan dongeng (storytelling), menggunakan ilustrasi dari buku gambar, menggunakan papan flanel, menggunakan boneka dan bermain peran dalam suatu dongeng. Salah satu dari metode tersebut adalah mendongeng menggunakan boneka. Peneliti menggunakan boneka tangan sebagai media dalam memberikan dongeng. Boneka tangan adalah boneka yang ukurannya lebih besar dari boneka jari dan bisa dimasukkan ke tangan. Jari tangan bisa dijadikan pendukung gerakan tangan dan kepala boneka [7].

Dongeng menggunakan metode boneka tangan ini tepat untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak, penelitian serupa yang juga menggunakan boneka oleh Winarsih [18] menyatakan bahwa dongeng dengan media Wayang Kancil mampu meningkatkan pengetahuan anak usia dini terhadap perilaku prososial. Selain dongeng menggunakan boneka tangan, metode lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan prososial pada anak usia dini adalah bermain peran dalam suatu cerita. Bermain peran merupakan teknik belajar dengan mendemonstrasikan setiap peran dalam bentuk drama Roestiyah [14]. Studi menunjukkan bermain peran mampu meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini, hasil penelitian oleh Alfiyah & Martani [1] yang menyatakan bahwa implementasi modul bermain peran “Aku Sayang Kawan” dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial pada anak usia dini.

Berdasarkan paparan tersebut, mendongeng menggunakan metode bermain peran dan boneka tangan merupakan metode yang dapat meningkatkan pengetahuan mengenai perilaku prososial. Penelitian Mahdiani [11] meneliti tentang pengaruh dongeng terhadap empati, empati adalah pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah ia mengalaminya sendiri. Empati merupakan salah satu kompetensi sosial yang harus dimiliki anak, empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan. Oleh karena itu, peneliti membandingkan kedua metode yaitu mendongeng menggunakan metode bermain peran dan boneka tangan terhadap pengetahuan prososial anak. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dongeng dengan menggunakan boneka tangan dan bermain peran dapat meningkatkan kompetensi sosial anak, namun skor rata-rata anak yang diberi dongeng dengan boneka tangan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok bermain peran.Penelitian lain mengenai refleksi dari bermain peran yang dilakukan guru menyatakan bahwa pendekatan pengajaran menggunakan bermain peran membuat guru yang belum memiliki pengalaman yang matang dalam mengajar termotivasi dan guru juga sangat senang dengan alat-alat yang harus disiapkan sebelum menerapkan metode ini, alat-alat ini dapat membuat siswa lebih memperhatikan jalannya cerita [16].

Kedua hasil penelitian tersebut menimbulkan kesenjangan, mendongeng dengan boneka tangan terbukti memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan bermain peran dalam hal meningkatkan kompetensi sosial anak. Namun pada kenyataannya menurut penelitian Ting [16] metode bermain peran merupakan metode yang disukai guru untuk diterapkan dalam pengajaran. Untuk itu diperlukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas diantara mendongeng menggunakan bermain peran dan boneka tangan untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini. Penelitian ini berfokus pada ranah pengetahuan mengenai perilaku prososial, karena pada dasarnya untuk memunculkan perilaku yang diharapkan, anak memerlukan pengetahuan mengenai perilaku tersebut. Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan pengetahuan moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior) Dalmeri [4] Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Pengetahuan yang didapat anak mengenai perilaku prososial ini diharapkan dapat membantu mengembangkan perilaku prososial anak [19].

Lickona dalam [3] juga menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak usia dini yang terlebih dahulu adalah dengan memberikan konsep nilai-nilai kebajikan dalam bentuk pengetahuan, yang selanjutnya akan menjadi sikap dalam pemikiran anak. Sikap anak ini selanjutnya dapat berkembang menjadi perilaku melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari anak baik di rumah maupun di sekolah. Maka, melalui pemberian info mengenai perilaku prososial pada anak-anak diharapkan anak dapat menerapkan pengetahuan tersebut di kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas masing-masing metode, yaitu mendongeng menggunakan metode bermain peran dan boneka tangan serta untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara kedua metode tersebut

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan dua kelompok eksperimen yaitu kelompok eksperimen 1 kelompok bermain peran dan kelompok eksperimen 2 yaitu kelompok boneka tangan. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yaitu mendongeng dengan 2 kelompok perlakuan, yaitu (X1) dongeng menggunakan metode bermain peran dan (X2) yaitu dongeng menggunakan metode boneka tangan. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu pengetahuan perilaku prososial. Jumlah partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 34, masing-masing perlakuan terdapat 17 partisipan. Karateristik partisipan adalah adalah anak kelas TK B yang berusia 5-6 tahun. Alat ukur yang digunakan selama pretest adalah alat ukur pengetahuan perilaku prososial anak usia dini yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian Alfiyah & Martani [1] yang berupa 8 seri kartu bergambar yang menggambarkan kehidupan sehari-hari anak yang menyangkut aspek-aspek perilaku prososial .

Figure 1.Alat ukur pengetahuan perilaku prososial

Setelah itu partisipan akan mendapatkan perlakuan selama 8 hari, perlakuan yang diberikan berupa dongeng dengan bermain peran dan dongeng dengan boneka tangan. dongeng tersebut telah dituangkan dalam modul yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori teori perilaku prososial anak usia dini dari Jackson & Tisak [10]. Posttest dilakukan peneliti setelah perlakuan selama 8 hari selesai, alat ukur yang digunakan selama melakukan posttest merupakan alat ukur yang sama dengan pretest. Analisis data menggunakan Paired sample T Test dan Independent Sample T Test. Berikut prosedur eksperimen penelitian ini.

Figure 2.Prosedur eksperimen

Peneliti meminta orang tua partisipan untuk mengisi inform consent sebelum penelitian ini dilaksanakan. Selanjutnya, partisipan mengikuti pretest.

Hasil dan Pembahasan

Uji hipotesis pertama dalam penelitian ini menggunakan Paired Sample T Test untuk melihat adanya pengaruh masing-masing metode, bermain peran dan boneka tangan untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini.

Kelompok Perlakuan Mean T Sig.
Pretest 24,76 -4,644 0,0001P(<0,05)
Posttest 31,06
Table 1. Hasil Uji Paired T Test Kelompok Bermain Peran
Kelompok Perlakuan Mean T Sig.
Pretest 23,41 -7,431 0,0001P(<0,05)
Posttest 30,12
Table 2. Hasil Uji Paired T Test Kelompok Boneka tangan

Hasil uji Paired Sample T Test dongeng menggunakan metode bermain peran untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini menghasilkan koefisien t sebesar -4,644 dengan p sebesar 0, 0001 (p < 0,05). Sehingga hasil ini menyatakan bahwa mendongeng dengan menggunakan bermain peran efektif untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini. Hasil uji hipotesis kedua juga menggunakan Paired Sample T Test, tabel 3 menunjukkan efektifitas dongeng menggunakan metode bermain peran untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini. Uji ini menghasilkan koefisien t sebesar -7,431 dengan p sebesar 0, 0001 (p < 0,05). Sehingga hasil ini menyatakan bahwa mendongeng dengan menggunakan boneka tangan efektif untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini.

Uji hipotesis ketiga menggunakan Independent sample T Test untuk membandingkan efektivitas mendongeng menggunakan metode bermain peran dan boneka tangan untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini.

Kelompok Perlakuan Mean SD Sig.
Bermain peran 30,12 2,643 0,224
Boneka Tangan 31,06 1,676
Table 3. Hasil Uji Independent Sample T Test

Pada tabel 3 telah dipaparkan hasil pengujian hipotesis dengan membandingkan skor pengetahuan perilaku prososial pada kelompok yang diberi dongeng dengan bermain peran dan boneka tangan. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan perilaku prososial yang siginifikan antara kedua kelompok tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan dengan nilai signifikansi sebesar 0,224 yang berarti p> 0,05. Pengujian hipotesis yang pertama dilakukan dengan uji paired T-test yang menunjukkan nilai signifikansi masing-masing metode yaitu bermain peran dan boneka tangan adalah 0,0001 (p < 0,05), Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing metode ini dapat meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini. Terlepas dari metode penyampaiannya, peningkatan tersebut terjadi didukung oleh kesesuaian isi dongeng dengan tahap perkembangan kognitif anak usia dini. Sehingga baik dongeng yang disampaikan dengan bermain peran maupun boneka tangan dapat meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini.

Perkembangan kognitif anak usia dini berada pada tahap praoperasional, karakteristik perkembangan kognitif di masa ini adalah secara bertahap mengembangkan penggunaan simbol-simbol, termasuk bahasa [17]. Dongeng yang disajikan dengan bermain peran dalam penelitian ini menggunakan simbol-simbol melalui bahasa yang ada di dalamnya. Pendongeng menggunakan bahasa, seperti halnya saat menceritakan dongeng berjudul “Buku Cerita Kesukaan Ayam”, fasilitator membantu pendongeng untuk membacakan narasi sebelum dialog diperankan oleh tiga pendongeng, seperti “Pada suatu hari, Ayam dan Gajah sedang membaca buku di kelas sebelum pulang sekolah, mereka membaca buku-buku cerita yang mereka sukai”. Melalui pembacaan narasi, partisipan dapat mengembangkan imajinasinya. Sejalan dengan pendapat Supriyati yang menyatakan bahwa metode bermain peran adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan Roestiyah, [14]. Melalui pengembangan imajinasi, subyek akhirnya dapat memahami isi dari dongeng dan menangkap pengetahuan yang diberikan melalui dongeng tersebut secara utuh.

Selain metode bermain peran, boneka tangan juga mampu menggambarkan perilaku keseharian menggunakan simbol. Metode ini pun menggunakan simbol berupa bahasa yang disajikan dalam bentuk kesatuan cerita, ketika pendongeng menceritakan “Ayo Lomba Lari” pendongeng juga dibantu untuk membacakan narasi oleh fasilitator. Fasilitator membacakan “Pada suatu pagi ayam sedang berjalan menuju sekolah, dengan membawa tas, ia terlihat begitu bersemangat untuk bersekolah hari ini karena hari ini akan ada kelas menghias kue”. Sehingga penyajian dongeng dengan metode ini juga membuat partisipan berimajinasi dan dapat membuat partisipan mengerti dan memahami isi dari dongeng. Selain sesuai dengan perkembangan kognitif anak usia dini, dongeng yang disajikan juga sesuai dengan tahap perkembangan sosioemosional anak.

Perkembangan sosioemosional pada partisipan (anak yang berumur 5-6 tahun) adalah bersikap kooperatif dengan teman Nurmalitasari [13]. Penyajian dongeng yang mengandung konten pengetahuan perilaku prososial, terutama pada dongeng yang bercerita tentang kerjasama sesuai dengan tingkat perkembangan sosiemosional anak, sehingga hal ini juga mendukung terjadinya peningkatan pengetahuan perilaku prososial baik anak-anak yang berada di kelas bermain peran maupun boneka tangan. Selain dapat membuat pengetahuan perilaku prososial partisipan meningkat, kedua metode ini pun dapat menggambarkan perilaku prososial pada anak. Penggambaran perilaku prososial diwujudkan dalam isi dongeng mengenai hal-hal keseharian yang terjadi di sekolah. Salah satu judul dongeng yang disajikan adalah “Yuk Makan Kue Bersama”, dongeng tersebut bercerita mengenai ayam, gajah dan harimau yang makan bersama ketika beristirahat, namun ada salah satu tokoh yaitu harimau yang tidak mempunyai makanan, akhirnya ayam dan gajah membagikan kuenya kepada harimau. Adegan tersebut juga seringkali dialami anak dalam kehidupan nyata di sekolahnya selama mereka beristirahat. Berkowitz & Bier menyebutkan bahwa contoh perilaku (modeling) merupakan salah satu strategi penanaman pendidikan karakter yang efektif [2]. Melalui dongeng yang mengangkat tema-tema keseharian, anak semakin mampu menangkap contoh perilaku yang digambarkan melalui dongeng tersebut, sehingga dongeng yang disampaikan menggunakan kedua metode yang berbeda ini pun diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu strategi penanaman pendidikan karakter yang efektif, utamanya pada anak usia dini.

Uji hipotesis ketiga dilakukan dengan Independent Sample T-test menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,224 yang berarti p> 0,05. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti telah menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua metode mendongeng tersebut. Kedua metode ini memang memiliki perbedaan dari cara penyampaian, namun tetap memiliki unsur-unsur kesamaan. Kesamaan tersebut diantaranya adalah kedua metode ini sama-sama dapat menarik perhatian partisipan, keduanya disajikan oleh tiga pendongeng dan juga menggunakan perlengkapan yang serupa dalam penyampaiannya.

Bermain peran dan boneka tangan dapat menarik perhatian partisipan karena keduanya sama-sama mengandalkan suara dan gerakan dalam menyampaikan cerita. Bermain peran menggunakan suara dan gerakan pendongeng sehingga dapat menarik perhatian anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeslichaton (2004) bahwa metode ini merupakan daya tarik yang bersifat universal. Ketertarikan anak dapat timbul karena melihat gerakan dan suara tokoh, seperti halnya ketika pendongeng yang memerankan Harimau yang merasakan kelaparan dalam dongeng berjudul “Yuk Makan Kue Bersama”, ia menampakkan gerakan yang menunjukkan bahwa dia sedang sedih dengan suara yang sendu dan mengucapkan “Aku malu Yam, Jah”, sambil memegangi perutnya, ia merasa malu jika harus mengatakan kepada Ayam dan Gajah kalau mengungkapkan bahwa dia sedang lapar. Metode ini dapat membuat anak tertarik dengan cerita sehingga anak dapat memahami isi cerita. Sedangkan dongeng yang menggunakan boneka tangan, juga memperlihatkan suara dan gerakan yang serupa dalam adegan itu yang dapat meningkatkan perhatian anak dan suasana menyenangkan dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siswanti [15] bahwa boneka tangan dapat mengembangkan imajinasi anak, mempertinggi keaktifan anak dan suasana gembira. Namun berbeda dengan bermain peran, metode ini memperlihatkan suara dan gerakan yang dimainkan oleh boneka yang digerakkan oleh pendongeng. Boneka Harimau didudukkan di panggung boneka sambil tangan boneka tersebut memegang perutnya, lalu kemudian mengatakan hal yang sama yaitu, “Aku malu Yam, Jah” kepada Ayam dan Gajah. Kedua metode, bermain peran dan boneka tangan sama-sama menggunakan suara dan gerakan untuk mendukung proses penyampaian dongeng kepada partisipan.

Kesamaan lainnya yang ada dalam metode bermain peran dan boneka tangan adalah keduanya disajikan oleh 3 pendongeng yang memerankan tokoh ayam, gajah dan harimau. Metode bermain peran langsung diperankan oleh pendongeng, lain halnya dengan boneka tangan, metode ini menggunakan boneka yang digerakkan atau diperankan oleh pendongeng yang ada di balik panggung. Selain itu, kedua metode ini pun menggunakan perlengkapan yang hampir sama, hanya berbeda ukuran. Sebagai contoh, jika bermain peran menggunakan perlengkapan roti dalam ukuran asli, boneka tangan juga menggunakan roti namun dalam bentuk yang lebih kecil. Ketiga persamaan antara kedua metode ini mendukung hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara kedua metode tersebut. Tidak adanya perbedaan diantara kedua metode ini juga diperkuat oleh usaha yang telah dilakukan peneliti dalam melakukan kontrol. Peneliti telah berusaha untuk mengontrol perlakuan melalui modul yang dibuat peneliti sebelum penelitian dilaksanakan. Modul ini berisi panduan untuk pendongeng dan fasilitator (orang yang membantu pendongeng di kelas) untuk melaksanakan tahapan penelitian dengan benar dan runtut. Fasilitator di dalam kelas, yang berperan untuk membantu pendongeng selama pemberian dongeng, bertugas untuk membuka dan menutup kegiatan pemberian dongeng. Kata-kata dan tahapan dalam membuka dan menutup kegiatan mendongeng tersebut telah kami tuangkan dalam modul, sehingga semua fasilitator di setiap kelas, baik kelas bermain peran maupun kelas boneka tangan memberikan pembukaan dan penutup kegiatan dengan bahasa dan cara yang sama.

Peneliti juga melakukan kontrol perlakuan dari segi isi, tokoh dan waktu pemberian dongeng. Kedua metode, bermain peran dan boneka tangan mengangkat tema yang sama. Tema dongeng yang diangkat adalah hal-hal yang pernah dialami oleh anak dan dongeng juga menggunakan setting sekolah agar anak lebih mudah memahami isi dari dongeng tersebut. Tema yang diangkat disesuaikan dengan dunia anak-anak ini tercermin dari judul dongeng yang disajikan diantaranya adalah Ayo Lomba Lari, Buku Cerita Kesukaan Ayam, Yuk Makan Kue Bersama, Pensil Sekolah, Awas Ada Tawon, Harimau yang Usil, Main Puzzle bersama, Yuk Bersih-Bersih. Sanchez dkk (2009) mengungkapkan kekuatan utama strategi dongeng adalah menghubungkan rangsangan melalui penggambaran karakter. Maka dari itu, peneliti memilih karakter tiga tokoh fabel yaitu ayam, gajah dan harimau. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru yang ada di TK Madinah, partisipan dalam penelitian ini telah mengenal tiga tokoh ini. Dengan demikian, partisipan lebih mampu menangkap isi dari dongeng melalui penggambaran karakter yang memang telah mereka kenali sebelum penelitian ini berlangsung.

Waktu pemberian mendongeng disesuaikan dengan perkembangan kognitif anak, anak-anak bisa duduk dan mendengarkan cerita atau menonton peragaan ilmu pengetahuan yang mendahului kegiatan ringan selama sekitar 10-15 menit. Lebih lama dari itu, mereka akan gelisah, memandang ke sekitar ruang, atau bicara kepada teman (Seefeldt & Wasik, 2008). Sehingga pada saat pelaksanaan eksperimen, peneliti membatasi waktu pemberian dongeng selama 10-15 menit. Selama 8 hari, durasi pemberian dongeng berkisar diantara 10 menit. Dongeng diberikan selama 8 hari berturut-turut untuk menanamkan pengetahuan perilaku prososial pada anak usia dini. Hal ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan secara bertahap. Sesuai dengan pernyataan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 2008) bahwa belajar adalah inkremental (bertahap), dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam. Peneliti tidak memberikan dongeng hanya dalam satu hari, yang hanya bercerita mengenai pengetahuan prososial secara utuh. Namun dongeng diberikan secara bertahap sesuai dengan dimensi dari pengetahuan perilaku prososial anak, yaitu menolong, berbagi, menghibur dan kerjasama. Peneliti telah melakukan berbagai macam kontrol dan hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara mendongeng dengan menggunakan bermain peran dan boneka tangan untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini, hal ini berarti bahwa hasil tersebut dapat dipercaya kesahihannya karena peneliti telah melakukan kontrol perlakuan semaksimal mungkin.

Kesimpulan

Peneliti menguji efektivitas dari masing-masing metode menggunakan paired t-test, nilai rata-rata pretest kelas bermain peran adalah 24,76 kemudian meningkat menjadi 31,06. Sedangkan nilai rata-rata pretest kelas boneka tangan adalah 23,41 kemudian meningkat menjadi 30,14. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua metode mendongeng, bermain peran dan boneka tangan masing-masing efektif untuk meningkatkan pengetahuan perilaku prososial anak usia dini. Uji hipotesis yang ketiga dilakukan dengan menggunakan Independent sample t-test, nilai signifikansi dari perbandingan kedua metode tersebut sebesar 0,224 yang berarti lebih besar dari 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mendongeng dengan menggunakan bermain peran dan boneka tangan.

Ucapan Terimakasih

Penulis menyadari bahwa penyusunan penelitian ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada Ibu Ari Pratiwi, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen yang telah memberi banyak masukan, perbaikan, dan bimbingan kepada penulis dan Ibu Ulifa Rahma, S.Psi., M. Psi. yang juga telah membantu memberikan saran dan bimbingannya kepada penulis untuk menyelesaikan laporan penelitian ini. Mama dan Papa, orangtua penulis yang selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Proses penyusunan penelitian ini tentunya memiliki beberapa kekurangan, baik dari segi penulisan, bahasa dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pihak demi kesempurnaan penelitian ini.

References

  1. Alfiyah, Sita & Martani, Wisjnu. (2015). Validasi Modul Bermain Peran “Aku Sayang Kawan” untuk Meningkatkan Pengetahuan tentang Perilaku Prososial Pada Anak Usia Dini. Gadjah Mada Journal Of Professional Psychology. Vol. 1. No. 2 Agustus 2015: 120 – 137.
  2. Berkowitz, M.W., & Bier, M.C. (2007). What works in character education. Journal of Research in Character Education. 5(1), 29-48.
  3. Borba, M. (2001). Building Moral Intelligence. The Seven Essential Virtues That Teach Kids to Do the Right Thing. San Francisco: Jossey-Bass.
  4. Dalmeri. (2014). Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character). Jurnal Al Ulum. Vol. 14 No. 1, 269-288.
  5. Eisenberg, N. & Mussen, P.H., (2003), The Roots of Prosocial Behavior in Children. New York. Cambridge University Press
  6. Eisenberg, N., Fabes, R.A., & Spinrad, T. (2006). Prosocial Development. In N. Eisenberg (Vol. Ed.), W. Damon & R.M. Lerner (Series Eds.). Handbook of child psychology: Vol. 3. Social, emotional and personality development (6th ed., pp. 646-718). New Jersey: John Willey & Sons, Inc.
  7. Gunarti, W. (2010). Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.
  8. Hurlock, B.E. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Ed 5. Jakarta. Erlangga
  9. Imaniah, M.D. (2013). Perbedaan Pencapaian Tugas Perkembangan Anak Usia Prasekolah pada Ibu Yang Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Jember.
  10. Jackson, M. & Tisak, M.S. (2001). Is prosocial behavior a good things? Developmental changes in children’s evaluation of helping, sharing, cooperating and comforting. British Journal of Developmental Psychology. 19, 349-367.
  11. Mahdiani, Treni Fitri. (2012). Pengaruh Dongeng dan Bermain Peran dalam Mengembangkan Empati pada Anak Usia Dini. Artikel Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
  12. Moeslichatoen R. 2004. Metode Pengajaran Di Taman Kanak –Kanak. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
  13. Nurmalitasari, Femmi. (2015). perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah. Buletin Psikologi. Universitas Gadjah Mada. Vol 23. No. 2,103-111.
  14. Roestiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta
  15. Siswanti, Ari, W.A, Suwarto & Djaelani. (2012). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara dengan Menggunakan Media Boneka Tangan pada Anak Kelompok B TK Pembina Cawas Kabupaten Klaten Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Penelitian, ISSN: 2338-008X.
  16. Ting, Kuang-Yun. (2013). Reflection on a teacher-in-role approach in the classroom. Asian social sciences, Vol 9 No 15.
  17. Upton, Penney. (2012). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
  18. Winarsih, Tri. (2014). Dongeng Menggunakan Wayang Kancil Untuk Meningkatkan Pengetahuan Tentang Perilaku Prososial Anak Usia Dini. Tesis. Fakultas Psikologi. Universitas Gajah Mada.
  19. Zubaedi. (2011). Pendidikan Karakter: Konsep Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.