Articles

The Psychological Dynamics of Coastal Society: Between Personality And Psychological Well-being


Dinamika Psikologis Masyarakat Pesisir: Antara Kepribadian Dan Kesejahteraan Psikologis

Universitas Brawijaya, Malang
Indonesia
Personality Psychological Well-Being Coastal Society

Abstract

Indonesia is known as a maritime country, so it is not surprising that so many people live on the coast. This study aims to determine the role of personality on psychological well-being. 105 coastal communities were the subjects in this study. The instruments used were the Big Five Inventory (BFI) and The Ryff Scale Of Psychological Well-Being. Based on the results of data analysis using multiple regression, it was found that personality played a role in the psychological well-being of coastal communities where the direction of the positive relationship was found in agreeableness and neuroticism, while the direction of the negative relationship was found in conscientiousness and openness to experience. Future researchers are expected to consider the role of demography on the psychological well-being of coastal communities.

Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesian merupakan daerah yang dikelilingi oleh lautan. Makanya tidaklah heran jika Indonesia dikenal dengan negara maritim. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak sekali masyarakat yang tinggal di pesisir. Masyarakat pesisir merupakan sekumpulan orang yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah perbatasan antara daratan dan lautan. Umumnya sebagian besar masyarakat pesisir bergantung kepada hasil lautan. Di daerah Pesisisr Jawa Barat, sebagian besar bekerja sebagai nelayan [5]. Untuk menghindari konflik antar nelayan, mereka juga memberlakukan batasan-batasan dalam menangkap ikan [6]. Bagaimana ritual-ritual dan perilaku yang dialami oleh masyarakat pesisir dan bagaimana mereka menerima kondisinya bisa memengaruhi kesejahteraan psikologis mereka

Kesejahteraan psikologis merupakan kemampuan pada individu agar bisa menerima diri sendiri secara apa adanya, membentuk hubungan hangat dengan orang lain, memiliki rasa mandiri dalam menghadapi lingkungannya, mampu mengontrol lingkungan luarl, menetapkan tujuan dalam hidupnya, dan merealisasikan potensi dirinya secara kontinu [9]. Beberapa penelitian menemukan bahwa demografi memiliki peran terhadap kesejahteraan psikologi. [9] menemukan bahwa latar belakang berdasarkan budaya serta status social memengaruhi kessejahteraan psikologis., penelitian yang lain juga ditemukan di mana status ekonomi dan tingkat pendidikan dapat memprediksi kesejahteraan diri individu [9]. Orang yang tinggi skor kesejahteraan psikologisnya terhindar dari perilaku menunda [11] Untuk mengetahui kesejahteraan psikologis dapat dilihat dari kepribadian yang dimiliki. Diri manusia tidak lepas dari yang dinamakan kepribadian [1]. mempertegas asumsi peneliti di mana kepribadian berhubungan dengan kepribadian terutama pada kepribadian ekstraversi, neurotis dan conscientiousness. Kepribadian juga dapat mengakibatkan prokrastinasi [12].

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis korelasional. Di mana dalam penelitian ini berusaha menggabungkan variable X (kepribadian) dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menggunakan 105 responden dengan karakteristik masyarakat yang tinggal pesisir yang berada dalam tahap perkembangan minimal remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja umumnya seseorang sudah mengetahui identitas dirinya. Teknik sampling yang digunakan berupa pusposif sampling. Peneliti mendapatkan responden dari grup media sosial whatsapp yang anggotanya mayoritas tinggal di daerah pesisir dan mengikuti grup beberapa komunitas masyarakat pesisir di facebook

The Ryff Scale Of Psychological Well-Being

Innstrumen yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan psikologis dari Rydff yang telah diadaptasi oleh [11] sesuai dengan teori yang diuraikan yang terdiri dari enam unsur, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hiduo dan pengembangan pribadi. Psychological well-being dinilai menggunakan the Ryff Scale of Psychological well-being. Skala ini terdiri dari 29 aitem dengan rentang skala likert 1-5 point

Big Five Inventory (BFI)

Kepribadian big five terdiri dari lima dimensi kepribadian yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness,neuroticism, openness to experience. Penelitian ini menggunakan Big Five Personality (BFI) dikembangkan oleh Oliver P. John (2007) yang erdapat 44 aitem dan sudah diadaptasi oleh [12].

Analisi data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan regresi berganda. Hal ini dikarenakan dalam kepribadian terdapat lima faktor jepribadian yang tidak bisa diskor total, antara lain kepribadian extraversion, agreeableness, conscientiousness,neuroticism, openness to experience yang dihubungkan dengan kesejahteraan psikologis. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan software JASP versi 0.13.1

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N Percent
Laki-laki 62 59.048
Perempuan 43 40.952
Total 105 100.000
Table 1.Deskripsi Subyek

Berdasarkan table di atas ditemukan mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki dengan presentasi 59.048%

Deskripsi Variabel
- N Mean SD SE
PWB 105 86.762 6.014 0.587
BF1 105 23.581 2.564 0.250
BF2 105 26.543 2.561 0.250
BF3 105 26.495 2.410 0.235
BF4 105 18.581 3.351 0.327
BF5 105 27.924 2.762 0.270
Table 2.Deskripsi Variabel

Keterangan:

PWB: kesejahteraan psikologis

BF1: Ekstraversion

BF2: Agreeableness

BF3 : Concientiousness

BF4: Neuroticism

BF5: Opennes to Experience

Dari table diketahui mayoritas subyek memiliki kepribadian openness to experience dengan mean 27.924 dan paling rendah memiliki kepribadian neurotisme.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan regresi berganda ditemukan nilai R Square .678 dengan RMSE 3.498, F 41.680 dan p <.01. Temuan ini sesuai dengan hipotesis penelitian ini di mana terdapat peran kepribadian dengan kesejahteraan psikologis. Untuk melihat masing-masing kepribadian yang dapat memprediksi kesejahteraan psikologis dapat dilihat pada table di bawah ini.

Figure 1.Koefisien variable kepribadian

Dari table di atas ditemukan bahwa hanya kepribadian ekstraversi yang tidak dapat memprediksi kesejahteraan psikologis. Untuk kepribadian agreeablesnesss dan neurotisime memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan psikologis, sedangkan conscientiousness dan openness to experience memiliki hubungan negatif. Penelitian ini juga menguji peran jenis kelamin terhadap kepribadian dan ksejahteraan psikologis yang dapat dilihat pada table di bawah ini

Figure 2.Deskripsi Independent Sample T-Test Dengan Jenis Kelamin

Masyarakat pesisir hidup dan tinggal di lingkungan dengan kondisi masih dipengaruhi oleh pantai. Letak demografi yang berdekatan dengan pantai dan sebagian masyarakatnya mengandalkan kondisi laut, tentunya menarik untuk dilihat kesejahteraan psikologisnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kesejahteraan psikologis pada masyarakat pesisir tergolong baik. Banyak asumsi yang peneliti temukan untuk memprediksi hal ini, salah satunya karena norma sosial, interaksi dan dukungan sosial berjalan dengan massif dan penuh guyub. Modal-modal sosial ini yang mendukung kenapa kesejahteraan psikologis masayarakat pesisir. Psychological capital (modal sosial) memengaruhi tinggi rendahnya kesejahteraan psikologis [10]. Kesejahteraan psikologis juga dipengaruhi oleh kepuasan hidup [3]. Seseorang yang merasakan kepuasan dengan hidupnya, menganggap segala sesuatu yang ia alami secara positif membuatnya semakin sejahtera secara psikologis.

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian di mana ditemukan kepribadian mempengaruhi kesejahteraan psikologis. [4] memperkuat temuan peneliti. Dari hasil penelitiannya mereka menemukan bahwa seseorang yang level neurotisnya rendah dan ekstravert memengaruhi kesejahteraan psikologisnya, begitu juga orang dengan conscientiousness, openness dan agreeableness berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Peran perbedaan individual terutama kepribadian menentukan kesejahteraan individu. [7] menguji 212 orang dan ingin melihat bagaimana persepsi mereka terhadap pengalaman mereka sehari-hari. Seseorang yang menganggap dirinya dicintai menunjukkan kesejahteraan psikologis yang baik. Ciri-ciri tersebut ternyata muncul pada orang dengan kepribadian ekstrovert. Hal sebaliknya terjadi pada kepribadian neurotisme [13].

Berdasarkan hasil independent t-test juga ditemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kepribadian, terutama pada agreeableness dan openness to experience di mana laki-laki lebih memiliki kepribadian agreeableness (ramah, mudah percaya, murah hati, pengalah, dan memiliki perilaku yang baik) dan openness to experience (kreatif, imajinatif, penuh rasa penasaran, terbuka dan suka variasi) dibandingkan perempuan. Hal ini berarti, pada kepribadian yang lain, baik laki-laki maupun perempuan tidak jauh berbeda. Temuan ini diperkuat dari hasil penelitian [2] di mana laki-laki cenderung lebih agreeableness dan openness t0 experience. Menurut hasil penelitian longitudinal [14] pada 192 laki-laki dan 211 perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih agreeableness, conscientiousness dan openness pada umur 16, sedangkan pada laki-laki skornya akan meningkat pada aspek yang berkaitan dengan stabilitas emosi, sedangkan pada perempuan cenderung konsisten. Pada umur 16-19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan skor conscientiousness dan openness akan meningkat, sebaliknya ekstraversi tetap stabil. Untuk agreeableness pada laki-laki akan meningkat, sedangkan pada perempuan skornya meningkat dan kemudian menurun seiring waktu.

Pada variable kesejahteraan psikologis, jenis kelamin juga memiliki peran terutama pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri. wanita lebih memiliki skor kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan pola pikir perempuan dalam melakukan strategi koping dan aktivitas sosial yang dilakukan, makanya tidak heran wanita lebih memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki [8].

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat peran kepribadian terhadap kesejahteraan psikologis dan hanya pada kepribadian ekstraversi yang tidak memiliki peran terhadap kesejahteraan psikologis, selebihnya seluruh kepribadian yang lain dapat memprediksi kesejahteraan psikologis.

References

  1. Grant, S., Langan-Fox, J., & Anglim, J. (2009). The big five traits as predictors of subjective and psychological well-being. Psychological Reports, 105(1), 205–231. https://doi.org/10.2466/PR0.105.1.205-231
  2. Ismatullina, V., & Voronin, I. (2017). Gender Differences in the Relationships Between Big Five Personality Traits and Intelligence. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 237(June 2016), 638–642. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2017.02.031
  3. Kim, M., Kim, Y. Do, & Lee, H. W. (2020). It is time to consider athletes’ well-being and performance satisfaction: The roles of authentic leadership and psychological capital. Sport Management Review. https://doi.org/10.1016/j.smr.2019.12.008
  4. Kokko, K., Tolvanen, A., & Pulkkinen, L. (2013). Associations between personality traits and psychological well-being across time in middle adulthood. Journal of Research in Personality, 47(6), 748–756. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2013.07.002
  5. Muflikhati, I., Sumarwan, U., Fahrudin, A., & Puspitawati, H. (2010). KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA: KASUS DI WILAYAH PESISIR JAWA BARAT Socio-economic Factors and Family Welfare: The Case of Coastal Area in West Java. Jur. Ilm. Kel. & Kons, 3(1), 1–10. http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/jikk/v3n1/1.pdf
  6. Nopianti, H., Hanum, S. H., & Widiono, S. (2019). Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Pesisir Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Pesisir Di Kota Bengkulu. Jurnal Sosiologi Nusantara, 1(1), 38–47. https://doi.org/10.33369/jsn.1.1.38-47
  7. Oravecz, Z., Dirsmith, J., Heshmati, S., Vandekerckhove, J., & Brick, T. R. (2020). Psychological well-being and personality traits are associated with experiencing love in everyday life. Personality and Individual Differences, 153(February 2019), 109620. https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.109620
  8. Roothman, B., Kirsten, D. K., & Wissing, M. P. (2003). Gender differences in aspects of psychological well-being. South African Journal of Psychology, 33(4), 212–218. https://doi.org/10.1177/008124630303300403
  9. Ryff, C. D. (1995). Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science, 4(4), 99–104. https://doi.org/10.1111/1467-8721.ep10772395
  10. Sabot, D. L., & Hicks, R. E. (2020). Does psychological capital mediate the impact of dysfunctional sleep beliefs on well-being? Heliyon, 6(6), e04314. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e04314
  11. Sarirah, T. (2017). Apakah Prokrastinator Sejahtera Psikologisnya? Studi Pada Dosen Di Universitas X Malang. INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 1(2), 134. https://doi.org/10.20473/jpkm.v1i22016.134-140
  12. Sarirah, T., & Rahayu, Y. P. (2019). The Relationship of Personality and Avoidance Procrastination Among University Students. Hasil Penelitian Jurnal Psibernetika, 12(1), 12–19. https://doi.org/10.30813/psibernetika.v12i1.1583
  13. Twenge, J. M., & Martin, G. N. (2020). Gender differences in associations between digital media use and psychological well-being: Evidence from three large datasets. Journal of Adolescence, 79(November 2018), 91–102. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2019.12.018
  14. Vecchione, M., Alessandri, G., Barbaranelli, C., & Caprara, G. (2012). Gender differences in the Big Five personality development: A longitudinal investigation from late adolescence to emerging adulthood. Personality and Individual Differences, 53(6), 740–746. https://doi.org/10.1016/j.paid.2012.05.033