Articles
DOI: 10.21070/iiucp.v1i1.634

Increasing Mental Health Literacy in Families as Preventive Efforts to Increase Cases of Mental Disorders


Peningkatan Literasi Kesehatan Mental pada Keluarga sebagai Upaya Preventif Peningkatan Kasus Gangguan Mental

Universitas Airlangga, Surabaya
Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya
Indonesia
Mental Health Literacy Family Cases of Mental Disorders

Abstract

Gunung Anyar Health Center has the problem of the high number of patients with early symptoms of mental disorders but the lack of resources available to treat these patients. The problems faced by this puskesmas will be resolved if the community, especially starting from the family, has more knowledge about mental disorders that may occur, making it easier to work with. The aim of the program is to increase the knowledge of health cadres about mental health. The method of implementing psychoeducation and mentoring for health cadres is done online by utilizing online communication media. Measurement of mental health literacy is carried out using the Mental Health Literacy Scale. The results of the analysis show that there is no significant difference between the pre-test and post-test scores, so there is no increase in literacy after the intervention. This is partly due to the participants 'barriers to using gadgets and the participants' inactivity during activities.

Pendahuluan

Peningkatan jumlah penderita gangguan mental pun terjadi di Surabaya. Pada 2010, sebanyak 10 sampai 20 pasien yang mendapatkan perawatan di Instalasi Rawat Inap Jiwa Rumah Sakit Umum (RSU) dr Soetomo tiap bulannya. Pada tahun 2011 sebanyak 20 sampai 30 pasien yang mendapat perawatan tiap bulannya. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Instalasi Rawat Inap Jiwa RSU dr Soetomo, Didi Aryani Budiyono bahwa pasien gangguan mental mengalami peningkatan 80 hingga 90 persen. Dari jumlah tersebut, kebanyakan pasien menderita skizofrenia atau gangguan mental berat. Selain skizofrenia, terdapat pula pasien yang menderita gangguan mental ringan seperti insomnia atau sulit tidur dengan penyebab terlalu banyak beban pikiran (Savitri, 2011 dalam Republika Online).

Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah pasien skizofrenia yang datang ke rumah sakit tersebut berjumlah 6894 orang. Dari total jumlah tersebut sebanyak 257 orang (sekitar 3.7%) ditangani melalui Unit Gawat Darurat dan 441 orang (sekitar 6.4%) ditangani melalui rawat inap. Sedangkan sejumlah 6196 orang (sekitar 89.9%) hanya rawat jalan. RSJ Menur sendiri mengatakan bahwa persoalan yang sedang mereka hadapi adalah jumlah tempat tidur yang lebih sedikit daripada jumlah penderita sehingga tidak semua penderita dapat terlayani. Jumlah pasien rawat jalan di RSJ Menur sebanyak 7075 dan 87,80 % adalah pasien dengan diagnosis skizofrenia (RSJ Menur Provinsi Jawa Timur). Pasien yang berkunjung di RSJ Menur kurang lebih 70% adalah pasien miskin. (RSJ Menur Provinsi Jawa Timur).

Peningkatan jumlah penderita gangguan mental juga dideteksi oleh Puskesmas di Surabaya. Pasien yang datang dengan keluhan fisik biasanya setelah ditangani juga mengeluhkan permasalahan psikologis dengan gejala yang muncul pada gangguan psikologis seperti stres, depresi ataupun skizofrenia. Biasanya gejala tersebut telah muncul dalam jangka waktu yang panjang dan dibiarkan oleh penderita maupun keluarga. Hal inilah yang akan memperparah gejala yang muncul sehingga akhirnya pasien tersebut jatuh pada kondisi gangguan mental.

Meningkatnya kasus gangguan mental salah satunya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat khususnya keluarga, mengenai gangguan mental itu sendiri. Gejala yang muncul pada penderita biasanya sudah tampak sebelum penderita didiagnosis menderita gangguan mental. Apabila keluarga dan masyarakat memiliki pengetahuan maka mereka akan peka terhadap gejala awal dari sebuah gangguan mental, sehingga penanganan yang lebih awal dapat diberikan. Kader merupakan salah satu agen perubahan yang dapat memfasilitasi peningkatan pengetahuan keluarga dan masyarakat di lingkungan mereka. Peningkatan pengetahuan kader Kesehatan akan memudahkan mereka melakukan sosialisasi kepada keluarga dan masyarakat.

Metode Penelitian

Program ini dilakukan ini metode psikoedukasi dengan model Interaction. (Bäuml, J., Froböse, T., Kraemer, S., Rentrop, M., & Pitschel-Walz, G., 2006). Psikoedukasi dengan model ini diberikan pada kader kesehatan Puskesmas Gunung Anyar. Metode pelaksanaan psikoedukasi dan pendampinga \nterhadap kader kesehatan dilakukan secara daring dengan memanfaatkan media komunikasi daring. Psikoedukasi dilakukan dalam 5 sesi sesuai dengan materi yang diberikan dan waktu untuk sesi diskusi. Pengukuran akan literasi kesehatan mental dilakukan dengan menggunakan Mental Health Literacy Scale. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Teknik analisis paired sample t-test.

Hasil dan Pembahasan

Program kelas literasi mental untuk kader kesehatan puskesmas sebagai upaya preventif gangguan jiwa di masyarakat dihadiri oleh kader kesehatan dari puskesmas di Surabaya. Sebanyak 5 orang kader kesehatan berpartisipasi dalam mengisi pre-test dengan usia kader mulai dari 28 tahun hingga 54 tahun. Terdapat 3 orang kader berpendidikan Strata 1, 1 orang berpendidikan SMA, dan 1 orang berpendidikan SMP. Mayoritas partisipan telah bertugas sebagai kader kesehatan selama 4 tahun lebih dan hanya ada 1 orang yang bertugas sebagai kader kesehatan selama 2-3 tahun. Proses pengisian post-test memiliki kendala karena 1 dari 5 peserta yang mengisi pre-test

Proses evaluasi program ini menggunakan pre-test dan post-test. Pre-test dan post-test digunakan untuk mengukur perubahan literasi kesehatan mental kader kesehatan. Skala yang digunakan pada proses pre-test dan post-test adalah Mental Health Literacy Scale (Cronbach’s Alpha=0.71). (Tavakol, M., & Dennick, R., 2011).

Cronbach's Alpha N of Items
.710 34
Table 1. Reliabilitas Skala MHLS

Analisis uji normalitas Saphiro-Wilk (Tabel 2) menunjukkan distribusi data yang normal baik pada pre-test (p=0,918) maupun post-test (p=0,389). Berdasarkan hasil uji tersebut, maka perubahan literasi kesehatan mental diolah menggunakan Teknik analisis paired sample t-test.

Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Pre_MHL .983 4 .918
Post_MHL .891 4 .389
Table 2. Uji Normalitas
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_MHL & Post_MHL 4 .389 .611
Table 3. Paired Samples Correlation
- Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_ MHL - Post_MHL -8.75000 12.60622 6.30311 -28.80930 11.30930 -1.388 3 .259
Table 4. Paired Sample Test

Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan hasil pre dan post pada peserta. Hal ini terjadi, karena data terlalu sedikit karena dari 21 orang yang mau mengisi kuisioner hanya 6 orang, sehingga tidak tergambar dengan jelas peningkatan pengetahuan dari peserta. Selain itu, psikoedukasi akan efektif jika peserta aktif dalam mengkuti materi dan mengolah pengetahuan yang diberikan melalui psikoedukasi. Faktor lain yang ikut memperngaruhi adalah usia peserta dan kemampuan mengggunakan teknologi dengan terampil. Karena pelaksanaan kegiatan ini melalui daring maka kemampuan peserta mengikuti materi juga ditentukan oleh keterampilan mereka menggunakan teknologi seperti mengakses kuisioner melalui link yang diberikan.

Kesimpulan

Tingkat pendidikan peserta mempengaruhi keaktifan mereka di dalam mengikuti psikoedukasi. Kelemahan dalam pelaksanaan psikoedukasi ini terkait metode daring, sehingga sulit mengecek pemahaman peserta terutama peserta yang pasif. Selain itu, peserta juga tidak berkenan mengikuti psikoedukasi melalui metode webminar, menjadikan metode psikoedukasi didesain dengan perkuliahan melalui whatapp. Metode ini sangat mengandalkan kemauan dan keaktifan perserta untuk membaca secara mandiri materi yang telah disampaikan. Selain itu keaktifan peserta selama proses penyampaian materi juga diperlukan. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan kegiatan tindak lanjut untuk meningkatkan literasi peserta. Jika memungkinkan dalam bentuk kegiatan secara langsung setelah pandemi selesai. Selain itu, menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui studi kasus dan secara langsung di lapangan agar peserta lebih terampil

Ucapan Terima Kasih

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Dr. Achmad Chusairi, MA.

References

  1. Ambarini, Tri Kurniati.(2006). Program Peningkatan Keterampilan Sosial Bagi Penderita Skizofrenia Melalui Teknik Modelling. Thesis.Tidak diterbitkan.
  2. Ambarini, Tri Kurniati.(2011). Kualitas Hidup Penderita Skizofrenia. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan
  3. Amaresha & Venkatasubramanian.(2012). Expressed Emotion in Schizophrenia: An Overview. Indian J Psychol Med. 2012 Jan-Mar; 34(1): 12–20.
  4. Bäuml, J., Froböse, T., Kraemer, S., Rentrop, M., & Pitschel-Walz, G. (2006). Psychoeducation: a basic psychotherapeutic intervention for patients with schizophrenia and their families. Schizophrenia bulletin, 32 Suppl 1(Suppl 1), S1–S9. https://doi.org/10.1093/schbul/sbl017
  5. Furnham, Adrian & Swami, Viren. (2018). Mental health literacy: A review of what it is and why it matters. International Perspectives in Psychology: Research, Practice, Consultation. 7. 10.1037/ipp0000094.
  6. RSJ Menur Provinsi Jawa Timur .(2011).Pelayan Rawat Inap. Diakses Senin, 19 Desember 2011. www.pusatdata.jatimprov.go.id
  7. Savitri, A.R., (2011). Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Alami Peningkatan.Republika Online. Diakses Senin, 19 Desember 2011. www.republika.co.id
  8. Tavakol, M., & Dennick, R. (2011). Making sense of Cronbach's alpha. International journal of medical education, 2, 53–55. https://doi.org/10.5116/ijme.4dfb.8df