The Covid-19 pandemic has had a negative impact on some people in Samarinda City, but several other people have been able to get up and live their lives well. Such people are known as resilient individuals. Qualitatively different responses from one resident to another become interesting to study in the form of quantitative research. This study aims to describe the resilience of the people of Samarinda in the initial and current conditions of the Covid-19 pandemic and to investigate the factors that are thought to affect the level of resilience. This research is a descriptive and exploratory study with cross sectional design. The sample of this research is 100 people who live in Samarinda. The research instrument used was a modified resilience questionnaire from Connor & Davidson and Ginting (ɑ = 0.886). Furthermore, the data were analyzed descriptively (frequency distribution tables and graphs) and inferential (pairwise difference test and ANOVA test). The resilience of the Samarinda community in facing Covid-19 is classified as very high, namely 96% of respondents are in the very high category and 4% are in the high category with an average of 125.26. There was a significant increase in resilience between baseline and current conditions (p-value = 0.033). Demographic factors have a significant impact on community resilience (p-value = 0.003), namely the highest resilience is in Sambutan sub-district and the lowest is in Samarinda Kota sub-district. Qualitatively, most respondents have principles / values to be resilient in facing a pandemic. The principle / value is mostly taken from the value of religiosity
Situasi pandemi Covid 19 bukanlah situasi yang menyenangkan dan cenderung memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kesejahteraan hidup individu hingga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek spiritual, aspek sosial, aspek finansial, aspek keluarga, aspek mental dan emosional (Basaria, 2020). Dampak yang begitu luas di masyarakat memerlukan intervensi dari pemerintah dalam menanganinya. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani dampak pandemi ini akan secara langsung memengaruhi kapasitas pemulihan suatu masyarakat. Kebijakan yang tepat dan cepat akan mendorong masyarakat untuk beradaptasi dengan pandemi dan mencoba bangkit. Sebaliknya, kekeliruan atau keterlambatan dalam mengambil kebijakan diprediksikan akan membuat masyarakat mudah menyerah di masa mendatang (Trump & Linkov, 2020).
Hasil riset menemukan bahwa pandemi Covid-19 dapat membahayakan kesehatan mental dan berdampak pada hopelessness dan helplessness (Shaw, 2020), membuat masyarakat panik yang berdampak pada panic buying (Afendi & Nurkholis, 2020; Masrul dkk, 2020), dan menyebabkan individu terjangkit psikosomatis (Zulva, 2020). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap warga kota samarinda, ditemukan bahwa dampak negatif dari pandemi ini telah dirasakan oleh sebagian warga, sebagaimana pernyataan subjek NE (57), salah satu warga samarinda, pensiunan pegawai yang mengaku mengurung diri di rumah selama pandemi.
“ Sudah 3 bulan saya mengurung diri di dalam rumah, saya takut kalau keluar, pernah t anpa sengaja saya mengucek mata saya, sesaat setelah saya memegang uang kembalian dari warung. Saya ketakutan setengah mati, seakan-akan saya sudah terkena covid-19, nafas saya sesak, padahal saya tidak punya riwayat asma sebelumnya.”
Hal senada disampaikan oleh Subjek AR (37), salah satu warga samarinda yang mengaku merasa putus asa selama masa pandemi Covid-19
“Ya Allah...saya Cuma bisa menangis dengan kondisi seperti ini Mas, saya di PHK dari perusahaan, perusahaan gak kuat gaji, beberapa karyawan di PHK. Sekarang saya gak ada lagi gaji, terpaksa Istri bantu bantu kerja cari penghasilan. Setiap hari saya berpikir gimana kalau saya bunuh diri aja, kebayang tali gantungan terus....tapi saya teringat anak-anak, kasihan masih kecil.”
Berdasarkan beberapa kutipan wawancara di atas, subjek NE mengaku mengalami kecemasan dan kurang mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi, sedangkan Subjek AR mengaku merasa tidak berdaya, dan putus asa menghadapi kondisi pandemi covid-19. Hal ini dapat difahami bahwa kondisi pandemi Covid-19 di dirasakan begitu sulit untuk sebagian warga Kota Samarinda. Masalah yang semakin rumit adalah sifat jangka panjang dari tantangan pandemi ini. Trump & Linkov (2020) menjelaskan bahwa pandemi tetap akan ada dan bergema selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, memaksa para masyarakat dalam kondisi penuh tekanan yang cukup besar dalam waktu yang lama. Di tengah krisis ini, pemerintah, perusahaan, lembaga pendidikan dan masyarakat sipil harus berkolaborasi dan menjawab tantangan pandemi secara kolektif. Membangun resiliensi dalam diri masiyarakat sangat penting dalam mengatasi pandemi Covid-19 saat ini dan masa depan (Linkov & Trump 2019). Hasil-hasil riset telah menyebutkan bahwa resiliensi sangat dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid-19 (Lau dkk, 2020; Pragholapati, 2020; Quigley dkk, 2020; Samuelsson dkk, 2020; Sari dkk, 2020).
Raisa & Ediati (2017) menjelaskan bahwa resiliensi kemampuan individu dalam menghadapi dan mengatasi penderitaan atau kesulitan. Connor & Davidson (2003) menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan dalam mengatasi stres. Goodman dkk (2020) mendefinisikan resiliensi sebagai proses interaktif dan dinamis dari adaptasi, pengelolaan dan negosiasi kesulitan. Wagnild & Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, proses tetap berjuang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, serta belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya meskipun didapatkan melalui resiko-resiko berat. Resiliensi juga merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan yang dialami dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi membuat hidup seseorang menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat dalam dunia saat ini (Desmita, 2005). Dari beberapa definisi tersebut disimpulkan bahwa resiliensi adalah indikator berkelanjutan kehidupan seseorang yang hidup di dalam situasi yang menyulitkan. Ketika seseorang berada pada situasi yang sulit seseorang cenderung tertekan dan berada pada masa kritis.
Berdasarkan studi pendahuluan, beberapa masyarakat Samarinda berputus asa di tengah kondisi pandemi, namun beberapa masyarakat dapat bangkit dan menerima keadaan diri dan lingkungannya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai individu resilien. Beberapa masyarakat samarinda tetap memilih untuk tetap beraktivitas seperti biasa, seperti berdagang, membuka toko, membuka warung makan, bekerja dan melakukan kegiatan produktif. Sebagaimana wawancara peneliti dengan Subjek MR (32) seorang pedagang yang tetap menjalankan aktivitas selama pandemi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Ya mau tidak mau kita harus mampu beradaptasi ya dengan kondisi pandemi ini. Ya kalau dibilang merasa takut, ya saya merasa takut ya, siapa yang tidak takut ketularan Covid 19, tapi kalau saya gak jualan, saya dapat pendapatan dari mana? Yang penting kita keluar dari rumah baca doa dulu, dan jangan lupa disiplin menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak. Yang penting ikut protokol lah, InshaaAllah aman, Bismillah...”
Berdasarkan wawancara tersebut, meskipun pada awalnya merasa takut, Subjek MR tetap berupaya berfikir secara logis, bahwa virus Covid-19 tidak akan semudah itu menular, selama seseorang menerapkan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Pragholapati (2020) bahwa individu yang resilien dalam menghadapi pandemi merupakan individu yang tetap mampu berfikir secara logis dan beradaptasi dengan menerapkan protokol kesehatan.
Selain Subjek MR, Peneliti juga melakukan wawancara dengan Subjek FB (34) seorang karyawan yang mengalami PHK, sebagaimana Subjek AR. “Sudah satu bulan ini saya di PHK, tapi saya sudah terima sih Mas, rezeki Allah yang ngatur, saya juga sudah bilang ke keluarga, istri..anak...Alhamdulillah semua maklumi..Sekarang saya masih berusaha cari cari kerjaan, sambil bantu istri jualan. Kalau kecewa sih enggak Mas, dijalanin aja hidup gimana baiknya. Saya pasrah aja sudah. Alhamdulillah ada tabungan...”
Hal senada juga diungkap salah satu subjek ND (28) salah seorang warga Kota Samarinda yang berprofesi sebagai trainer dan merasakan imbas pandemi Covid-19. “Biasanya kalau sebelum pandemi, tiap berapa hari sekali bisa ada training, tiap pekan bisa ada outbond, tapi selama pandemi ini, sudah 3 bulan gak ada job Pak. Kan training atau outbdond itu kan tatap muka langsung. Tentu ya tidak ada pemasukan. Jadi ya mau gak mau kita cari uangnya banting stir, jualan apa aja. bantu jualan dagangan teman, makanan beku, kripik, dan lain –lain. Lumayan lah, tetap ada pemasukan walau sedikit”
Berdasarkan wawancara tersebut, menarik untuk dikaji bahwa apa yang dialami Subjek AR dan FB adalah sama-sama kehilangan pekerjaan, namun keduanya merespon dengan cara yang berbeda. Nampak pula bahwa Subjek ND merespon imbas pandemi dengan kemampuan adaptasi yang baik, dan segera mencari alternatif dalam mencari uang. Subjek FB dan ND tidak merasa panik dan putus asa, melainkan tetap tenang dan berjuang untuk tetap mempertahankan hidup. Menurut Desmita (2009), pribadi resiliens akan berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan dengan tekanan yang hebat, dan mampu merespon suatu situasi sesulit apapun secara fleksibel dalam mengubah kebutuhan situasional (Purnomo, 2014), serta berusaha tetap berjuang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup (Wagnild & Young, 1993).
Selain Subjek ND dan FB, peneliti juga melakukan wawancara dengan Subjek DW (26) dan DM (26) keduanya adalah mahasiswa di sebuah universitas yang membagi waktu dengan bekerja di sebuah lembaga pendidikan, namun memberanikan diri melangsungkan pernikahan di tengah kondisi pandemi. Keduanya mengaku bahwa merasa khawatir dengan kondisi pandemi, namun masih mampu berfikir secara realistis bahwa penularan Covid-19 tidaklah mudah terjadi selama individu tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan keduanya juga menegaskan bahwa kondisi pandemi tidak menjadi penghalang mereka untuk melangsungkan pernikahan. Sebagaimana dituturkan Subjek DW (26): “Hal ini tentu tidak mudah bagi kami keluarga baru, tapi pelan pelan saya mencoba bangkit Pak, dan saya akan berusaya semaksimal mungkin saya bisa”
Respon yang berbeda secara kualitatif antara satu warga Samarinda dengan warga lainnya terhadap dampak pandemi Covid-19 menjadi menarik untuk dikaji dalam bentuk penelitian kuantitatif. Pertanyaan yang diajukan antara lain bagaimana kondisi resiliensi warga Kota Samarinda terhadap dampak pandemi Covid-19, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya resiliensi tersebut. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran karakteristik resiliensi masyarakat samarinda selama pandemi Covid 19 terjadi, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan komparatif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini berupaya menggambarkan dan membandingkan resiliensi masyarakat Samarinda selama pandemi Covid-19 dalam beberapa faktor. Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di Kota Samarinda, provinsi Kalimantan Timur. Penduduk Samarinda berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2019 sebanyak 872.768 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2020). Karena ukuran populasi yang sangat besar, ukuran sampel penelitian ditentukan berdasarkan prinsip dasar dari penelitian kuantitatif, yaitu 100 sampel (Gall, Gall, & Borg, 2003).
Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner Connor-Davidson Resilience Scale yang diadopsi dari penelitian Ginting (2019). Kuesioner terdiri dari 32 item pernyataan yang dikembangkan dari lima dimensi. Respon terhadap item pernyataan menggunakan skala Likert berupa tingkat persetujuan. Setelah dilakukan uji coba instrumen, terdapat satu item yang tidak valid sehingga tidak digunakan untuk pengambilan data. Reliabilitas instrumen sebesar 0,886. Distribusi item pernyataan berdasarkan lima dimensi disajikan pada Tabel 1. Contoh pernyataan item pernyataan yang digunakan adalah “Ketika yang saya rencanakan tidak berjalan sesuai harapan karena wabah, saya akan mencari alternatif rencana lain”. Semakin tinggi skor yang diperoleh responden pada instrumen ini menunjukkan tingkat resiliensi yang semakin tinggi.
No | Aspek | Favorable | Unfavorable | Total |
1. | Kompetensi personal, standar tinggi dan keuletan | 3, 6, 8, 10, 16 | 22, 28, 29 | 8 |
2. | Percaya diri, toleransi terhadap afeksi negatif dan kuat menghadapi stress | 2, 9, 11, 17 | 12, 25, 26, 30 | 8 |
3. | Penerimaan positif terhadap perubahan dan memiliki hubungan yang aman dengan orang lain | 1, 4, 7, 13, 24 | 20, 21, 23, 32 | 9 |
4. | Kontrol diri | 14, 15 | 19, 27 | 4 |
5. | Spiritual | 31 | 18 | 2 |
- | Total | 17 | 15 | 31 |
Selain item pertanyaan dengan respon skala Likert, instrumen penelitian juga mengeksplorasi nilai-nilai budaya atau religius yang dipegang oleh masyarakat Samarinda melalui pertanyaan terbuka. Kuesioner dibagikan kepada responden dalam bentuk google form. Responden mengisi kuesioner dua kali namun menggambarkan rentang waktu yang berbeda, yakni saat awal pandemi (Maret 2020) dan kondisi terkini (Mei 2020). Data penelitian berupa respon terhadap item kuesioner dan pertanyaan terbuka. Respon terhadap item kuesioner selanjutnya diberi skor 1-5 lalu ditotal berdasarkan masing-masing rentang waktu. Perolehan skor disajikan dalam bentuk statistik deskriptif dan didistribusikan berdasarkan interval skor pada Tabel 2. Skor resiliensi di awal pandemi dan terkini dibandingkan menggunakan uji t berpasangan. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi masyarakat Samarinda, digunakan uji Anova satu arah.
Profil demografi masyarakat Samarinda yang menjadi sampel penelitian tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, sampel penelitian sebagian besar pada usia sekolah/kuliah. Secara gender, proporsi laki-laki dan perempuan relatif imbang. Selain itu, sebagian besar sampel penelitian berlatar belakang sarjana (S1), belum menikah, dan tidak memiliki posisi strategis di masyarakat. Adapun pekerjaan sebagian besar sampel penelitian adalah pengajar dan pelajar. Warga Samarinda yang menjadi sampel penelitian tersebar di 10 wilayah kecamatan dengan beragam suku yang berbeda seperti Jawa, Banjar, Bugis, Kutai, Madura, dan Aceh.
No | Data Demografi | % | No | Data Demografi | % | ||
1 | Usia | 6 | Pekerjaan | ||||
- | a. | 12 – 26 | 56 | - | a. | IRT | 4 |
- | b. | 25-45 | 3 | - | b. | Pengajar | 39 |
- | c. | > 45 | 41 | - | c. | Pedagang | 3 |
2 | Jenis Kelamin | - | d. | Pelajar | 29 | ||
- | a. | Laki-laki | 59 | - | e. | Pegawai | 12 |
- | b. | Perempuan | 41 | - | f. | Driver Online | 1 |
3 | Pendidikan Terakhir | - | 7 | Suku | - | ||
- | a. | SMA | 28 | - | a. | Jawa | 47 |
- | b. | Diploma | 7 | - | b. | Banjar | 27 |
- | c. | Strata 1 | 50 | - | c. | Bugis | 15 |
- | d. | Strata 2 | 13 | - | d. | Kutai | 8 |
- | e. | Strata 3 | 2 | - | e. | Madura | 2 |
4 | Status Pernikahan | - | - | f. | Aceh | 1 | |
- | a. | Belum menikah | 54 | 8 | Status Sosial | ||
- | b. | Menikah | 13 | - | a. | Masyarakat Biasa | 75 |
- | c. | Duda | 1 | - | b. | Tokoh Berpendidikan | 3 |
5 | Kecamatan | - | c. | Aktivis Sosial Masyarakat | 6 | ||
- | a. | Palaran | 4 | - | d. | Aktivis Profesi dan Keilmuan | 7 |
- | b. | Loa Janan Ilir | 9 | - | e. | Aktivis Minat Bakat | 4 |
- | c. | Samarinda Seberang | 3 | - | - | - | - |
- | d. | Sungai Kunjang | 13 | - | - | - | - |
- | e. | Samarinda Ulu | 26 | - | - | - | - |
- | f. | Samarinda Utara | 16 | - | - | - | - |
- | g. | Sungai Pinang | 9 | - | - | - | - |
- | h. | Samarinda Kota | 4 | - | - | - | - |
- | i. | Sambutan | 3 | - | - | - | - |
- | j. | Samarinda Ilir | 10 | - | - | - | - |
Deskripsi resiliensi masyarakat Samarinda secara statisik ditunjukkan pada Tabel 4 berikut. Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 1, resiliensi masyarakat Samarinda dalam menghadapi pandemi Covid-19 tergolong sangat tinggi, baik di awal pandemi (Maret 2020) maupun pada bulan Mei 2020. Distribusi masyarakat Samarinda berdasarkan kriteria resiliensi disajikan pada Gambar 1 berikut.
Ukuran | Awal Pandemi | Terkini (Mei 2020) |
Rerata | 123,43 | 125,26 |
Simpangan Baku | 13,04 | 14,75 |
Skor Tertinggi | 146 | 147 |
Skor Terendah | 85 | 84 |
Berdasarkan Gambar 1, 96% responden memiliki resiliensi yang termasuk kategori sangat tinggi dan 4% termasuk kategori tinggi pada Mei 2020. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh masyarakat Samarinda yang menjadi sampel penelitian memiliki tingkat resiliensi yang sangat baik dalam menghadapi pandemi Covid-19. Melalui uji t berpasangan (Tabel 5), terjadi peningkatan resiliensi pada masyarakat Samarinda yang menjadi sampel secara signifikan dalam rentang waktu Maret-Mei 2020. Selanjutnya dilakukan uji anova untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi masyarakat Samarinda, yang disajikan pada Tabel 6.
-- | Mean | Awal – Akhir | t stat | p-value |
Awal (Maret 2020) | 123,43 | -1,83 | -2,1603 | 0,033 |
Mei 2020 | 125,26 | -- | -- | -- |
Faktor | P-value | Kesimpulan |
Gender | 0,084 | Tidak signifikan |
Usia | 0,537 | Tidak signifikan |
Demografi | 0,003 | Signifikan |
Pendidikan Formal | 0,690 | Tidak signifikan |
Status Pernikahan | 0,507 | Tidak signifikan |
Suku | 0,215 | Tidak signifikan |
Pekerjaan | 0,198 | Tidak signifikan |
Posisi di Masyarakat | 0,780 | Tidak signifikan |
Tabel 6 menunjukkan bahwa faktor demografi berdampak signifikan terhadap resiliensi warga (p-value = 0,003), yakni resiliensi tertinggi berada pada kecamatan Sambutan dan terendah pada kecamatan Samarinda Kota. Sedangkan faktor jenis kelamin, usia, pendidikan, status pernikahan, suku, pekerjaan dan aktivitas sosial tidak berdampak signifikan terhadap resiliensi.
Aspek | Frekuensi |
Religius | 26 |
Budaya (Suku) | 5 |
Lainnya | 12 |
Total | 43 |
Tabel 7 menunjukkan bahwa secara kualitatif, sebagian besar responden memiliki prinsip/nilai yang dipegang agar tangguh dalam menghadapi pandemi Covid-19. Prinsip/nilai tersebut sebagian besar diambil dari nilai religious. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan resiliensi masyarakat Samarinda pada kondisi awal dan terkini serta menginvestigasi faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat resiliensi tersebut. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi masyarakat Samarinda dalam menghadapi Covid-19 tergolong sangat tinggi, yakni 96% responden termasuk kategori sangat tinggi dan 4% termasuk kategori tinggi dengan rata-rata sebesar 125,26. Terjadi peningkatan resiliensi yang signifikan antara kondisi awal dan terkini (p-value = 0,033). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Samarinda memiliki modal besar berupa resiliensi yang harus terus dipertahankan dalam menghadapi situasi sesulit apapun, khususnya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mengingat bahwa kedudukan resiliensi sangat penting dan dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid-19 (Lau dkk, 2020; Pragholapati, 2020; Quigley dkk, 2020; Samuelsson dkk, 2020; Sari dkk, 2020).
Peneliti juga menemukan bahwa faktor demografi berdampak signifikan terhadap resiliensi warga (p-value = 0,003). Faktor demografi erat kaitannya dengan wilayah Kota Samarinda yang sering mengalami bencana banjir. Hal ini senada dengan penelitian Hartini (2017) yang menemukan bahwa warga yang tinggal di daerah rawan bencana seperti banjir telah mengembangkan resiliensi. Bencana banjir di Samarinda, terjadi hampir setiap tahun ketika musim hujan. Bencana banjir dipersepsi warga Samarinda secara wajar dan netral. Masyarakat Samarinda bahkan sudah “berdamai” dengan bencana banjir. Istilah “berdamai dengan bencana”, secara psikologis dikenal dengan ‘resiliensi’. Masyarakat Samarinda telah memiliki daya antisipasi terhadap bencana. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga Samarinda memiliki strategi koping yang positif dan mampu mencapai resiliensi. Warga mampu menghadapi kesulitan secara positif dan mengubah kesulitan menjadi tantangan.
Secara kualitatif, sebagian besar responden memiliki prinsip/nilai yang dipegang agar tangguh dalam menghadapi pandemi Covid-19. Prinsip/nilai tersebut sebagian besar diambil dari nilai religiusitas. Hasil-hasil riset menunjukkan bahwa tingginya tingkat religiusitas berpengaruh secara signifikan pada resiliensi seseorang (Aisha, 2014; Hasanah, 2019; Octaryani, 2017; Santoso, 2019; Suprapto, 2020; Suryaman dkk, 2018). Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensinya, sehingga dapat dikatakan bahwa religiustas termasuk faktor yang berpengaruh terhadap tingginya tingkat resiliensi warga Samarinda dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hal ini tentu memperkuat dugaan peneliti bahwa tingginya resiliensi masyarakat Samarinda berkaitan dengan peranan nilai-nilai agama di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya edukasi, khususnya dari tokoh agama agar masyarakat tetap memiliki resiliensi yang baik di masa pandemi Covid-19.
Pemerintah Kota Samarinda dan warga Samarinda harus menyadari bahwa mereka memiliki modal psikologis yang kuat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Penelitian menunjukkan bahwa resiliensi telah secara nyata menjadi kekuatan bagi warga Samarinda untuk bangkit dari berbagai keterpurukan, sehingga perlu dipikirkan terkait langkah yang perlu dilakukan guna memanfaatkan dan mengembangkan resiliensi tersebut.
Penting pula untuk mempertimbangkan bahwa dengan begitu banyak ketidakpastian seputar pandemi Covid-19, pemerintah membutuhkan sumber data yang terpercaya dan holistik untuk mengeluarkan keputusan secara bijak, sementara masyarakat yang lebih luas membutuhkan pesan yang jelas dan pasti (Merad dan Trump 2020), sehingga berita hoax adalah suatu hal yang sangat disayangkan, karena dapat mengganggu stabilitas dan resiliensi warga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi masyarakat Samarinda dalam menghadapi Covid-19 tergolong sangat tinggi, yakni 96% responden termasuk kategori sangat tinggi dan 4% termasuk kategori tinggi dengan rata-rata sebesar 125,26. Terjadi peningkatan resiliensi yang signifikan antara kondisi awal dan terkini (p-value = 0,033). Saran peneliti untuk masyarakat Samarinda, guna memelihara dan meningkatkan resiliensi dalam menghadapi pandemi Covid-19, penting bagi masyarakat untuk memiliki nilai religiusitas yang tinggi dengan cara meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, melalui menjalankan ritual-ritual keagamaan, baik ibadah wajib maupun sunnah, serta mengikuti kajian Islam serta mengikuti kegiatan-kegiatan yang bernilai positif.
Peneliti juga berharap bahwa penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang mendukung resiliensi masyarakat. Penting juga bagi pemerintah untuk memberikan pelatihan jangka pendek untuk mempertahankan dan meningkatkan resiliensi bagi pegawai maupun masyarakat Samarinda. Pertimbangan utama untuk setiap kebijakan pemerintah adalah bagaimana hal itu membentuk dan mendukung resiliensi masyarakat samarinda untuk bangkit kembali dari berbagai dampak yang mempengaruhi kesehatan masyarakat, ekonomi, keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Peneliti berharap penelitian ini memberikan perspektif yang berguna dan tepat waktu dalam menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat Samarinda saat ini.
Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah bahwa penting untuk mempertimbangkan faktor demografi, sebagai faktor yang dalam penelitian ini ternyata sangat signifikan memberikan pengaruh pada resiliensi warga Samarinda, dengan menggali karakteristik demografi sebagai faktor protektif lingkungan yang mendukung resiliensi warga Samarinda. Dalam hal ini karakteristik warga dan lingkungan kecamatan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan harus digali. Hal ini tentunya dapat menjawab pertanyaan, kenapa resiliensi tertinggi berada pada warga di kecamatan Sambutan dan terendah pada kecamatan Samarinda Kota.
Mengingat pentingnya peran religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi resiliensi warga Samarinda dalam menghadapi pandemi Covid-19, penting untuk melakukan penelitian-penelitian lanjutan terkait pengaruh religiusitas terhadap resiliensi warga dalam menghadapi pandemi Covid-19. Religiusitas dalam ditempatkan sebagai variabel bebas atau variabel mediator. Penting juga untuk mempertimbangkan dalam menambah variabel-variabel lain seperti spritualitas, kesejahteraan psikologis, optimisme, dan intensitas beribadah. Atau dapat juga menambahkan variabel moderasi maupun perpaduan antara moderasi dan mediasi.
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan bimbingannya, serta selalu memberikan kemudahan bagi peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Guru sekaligus Mentor bagi peneliti yaitu Dr. H. Fuad Nashori, M.Si, Psikolog yang dengan penuh kesabaran membimbing peneliti hingga saat ini, dan tak lupa para warga samarinda yang telah berkontribusi dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini memberikan banyak manfaat.
Aisha, D, L. (2014). Hubungan Antara Religiusitas Dengan Resiliensi Pada Remaja di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Tesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Austin, Z., & Gregory, P. (2020). Resilience in the time of pandemic: The experience of community pharmacists in Ontario during COVID-19. Research in Social and Administrative Pharmacy. https://doi.org
Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. (2020). Kota Samarinda Dalam Angka. Retrieved from https://samarindakota.bps.go.id/publication/2020/04/27/4f263d1ab55ba7b650c25f14/kota-samarinda-dalam-angka-2020.html
Basaria, B. (2020, 5 April). Menjadi Pribadi yang Resilien di Tengah Pandemik Covid 19. kompas.com (on-line). Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020 dari
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82.
Denkova, E., Zanesco, A. P., Rogers, S., & Jha, A. P. (2020). Is resilience trainable? An initial study comparing mindfulness and relaxation training in firefighters. Psychiatry Research, 285, [112794].
Desmita, D. (2009). Mengembangkan resiliensi remaja dalam upaya mengatasi stres sekolah. Ta'dib, 12 (1).
Desmita, D. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.
Ebel, R. L., & Frisbie, D. A. (1991). Essentials of educational measurement. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W. R. (2003). Educational research: An introduction (7th ed.). Boston, MA: A & B Publications.
Ginting, F. (2019). Hubungan Self Esteem dengan Resiliensi pada Penderita HIV di Puskesmas Kabupaten Karo (Universitas Sumatera Utara). Retrieved from
Goodman D.J., Saunders E.C., Wolff K.B. In their own words: a qualitative study of factors promoting resilience and recovery among postpartum women with opioid use disorders. BMC Pregnancy Childbirth. 2020;20(1):178.
Hartini, N. (2017). Resiliensi warga di wilayah rawan banjir di Bojonegoro. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 30(2), 114-120.
Hasanah, M. (2019, July). Hubungan antara religiusitas dengan resiliensi santri penghafal al-qu’ran di pondok pesantren. In Proceeding National Conference Psikologi UMG 2018 (Vol. 1, No. 1, pp. 84-94).
Lau, B. H., Chan, C. L., & Ng, S. M. (2020). Resilience of Hong Kong people in the COVID-19 pandemic: lessons learned from a survey at the peak of the pandemic in Spring 2020. Asia Pacific Journal of Social Work and Development, 1-10.
Linkov I., & Trump B,D. (2019) The science and practice of resilience. Springer, Amsterdam.
Masrul, M., Tasnim, J. S., Daud Oris Krianto Sulaiman, C. P., Purnomo, A., Febrianty, D. H. S., Purba, D. W., & Ramadhani, Y. R. (2020). Pandemik COVID-19: Persoalan dan Refleksi di Indonesia. Medan: Yayasan Kita Menulis. https://lldikti1.ristekdikti.go.id/details/apps/2244
Merad M, & Trump BD. (2020). Expertise under scrutiny. Springer, Cham
Octaryani, M. (2017). Pengaruh dukungan sosial dan religiusitas terhadap resiliensi pada petugas pemadam kebakaran DKI Jakarta (Bachelor's thesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Psikologi,
Oldfield J., Stevenson A., Ortiz E. Promoting resilience in street connected young people in Guatemala: the role of psychological and educational protective factors. J. Community Psychol. 2020;48(2):590–604.
Pragholapati, A. (2020). New Normal "Indonesia" After Covid-19 Pandemic.
Pragholapati, A. (2020). Resiliensi pada Kondisi Wabah Covid-19.
Purnomo, N. A. S. (2014). Resiliensi pada pasien stroke ringan ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(2), 241-262.
Quigley, H. L., Garcia, J. T, Campos V, R., Sanchez, M. G., Muntaner, C., McKee, M. (2020). The Resilience of The Spanish Health System Against The Covid-19 Pandemic. The Lancet Public Health, 5 (5), 252-252.
Raisa, R., & Ediati, A. (2017). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Resiliensi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita Semarang. Empati, 5(3), 537-542.
Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resiliensi factors. 7 essential skill for overcoming life’s inevitable obstacle. New York : Random House, Inc.
Samuelsson, K., Barthel, S., Colding, J., Macassa, G., & Giusti, M. (2020). Urban nature as a source of resilience during social distancing amidst the coronavirus pandemic.
Santoso, R. (2019). Pengaruh religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap resiliensi pada korban tsunami selat Sunda (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Sari, S., Aryansah, J., & Sari, K. (2020). Resiliensi Mahasiswa dalam Menghadapi Pandemi Covid 19 dan Implikasinya terhadap Proses Pembelajaran. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 9(1), 17-22.
Shaw, S. C. (2020). Hopelessness, helplessness and resilience: The importance of safeguarding our trainees' mental wellbeing during the COVID-19 pandemic. Nurse Education in Practice, 44, 102780. https://doi.org/
Suprapto, S. A. P. (2020). Pengaruh Religiusitas terhadap Resiliensi pada Santri Pondok Pesantren. Cognicia, 8(1). http://eprints.umsida.ac.id/3255/1/Jurnal%20Prosedia%20UMM%20.pdf
Suryaman, M. A., Stanislaus, S., & Mabruri, M. I. (2018). Pengaruh religiusitas terhadap resiliensi pada pasien rehabilitasi narkoba yayasan rumah damai semarang. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah, 6(2), 98-103.
Trump, B.D., Linkov, I. (2020). Risk and resilience in the time of the COVID-19 crisis. Environ Syst Decis 40, 171–173.
Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1 (2), 165-178. https://ucdavis.pure.elsevier.com/en/publications/development-and-psychometric-evaluation-of-the-resilience-scale
Zulva. (2020). Covid-19 dan Kecenderungan Psikosomatis. J. Chem. Inf. Model, 1-4. https://www.academia.edu/42352261/COVID_1
9_dan_Kecenderungan_Psikosomatis